Iblis di Sisiku
Oleh : Titik Koma
Kesadaranku telah timbul-tenggelam. Namun, kupaksakan tubuh ini untuk merangkak ke luar kamar. Hawa dingin telah menyelimuti sekujur tubuhku yang berlumuran darah. Sebilah pisau masih menancap di dalam perutku. Setiap kali menarik napas, saraf-saraf yang terluka ikut tertarik dan bergetar bersama daging tubuhku yang berlubang akibat tikaman berkali-kali pada bagian perut. Aku sadar, nyawa ini sudah tak bisa diselamatkan.
Pasokan udara yang masuk ke dadaku makin menipis. Sementara tubuhku sudah tak mampu lagi bergerak. Aku tak bisa menyelamatkan nyawa orang-orang yang kusayangi. Tak jauh dari tempatku, kedua putriku mengerang dan menggelepar seperti ikan di atas daratan.
“Betapa malangnya nasib peri kecilku.”
Mereka kini terbaring kaku di lantai lorong panjang yang menghubungkan kamarku dan kamar anak-anak. Mata mereka erat terpejam. Kaki keduanya telah berhenti bergerak. Kulit yang dulu semerah tomat, kini berubah membiru gelap. Mulut keduanya berbusa akibat dicekoki racun. Anak-anakku seakan hama yang harus dilenyapkankan dari bumi ini.
“Dasar Monster biadab! Tega sekali pada anak-anakku.”
Aku tak bisa membayangkan rasa sakit dari kematian yang menguliti keduanya. Tremor pada setiap inci daging dan rasa pedih hingga menusuk tulang. Mungkin sama seperti yang sedang kurasakan kini.
“Maafkan ibu, Nak!”
Aku menangis sekuat tenaga. Segala rasa sakitku mendadak hilang. Cahaya perlahan menjauh. Hanya tersisa suara-suara dari masa lalu.
***
Aku tak bisa mengerti, bagaimana takdir mengerikan ini menimpa kehidupan kami yang sempurna.
Aku cantik, pintar, dan mandiri. Tuhan telah memberkahiku dengan kebahagiaan. Suami baik, tampan, dan mapan, juga dua orang putri yang lucu menggemaskan. Hubungan kedua keluarga besar kami pun baik dan saling perhatian. Bahkan, karierku berjalan mulus. Setiap hari tak henti kuucapkan syukur pada Tuhan. Berdoa semoga kebahagiaan ini tak ditelan waktu.
Menginjak usia pernikahan yang kedelapan tahun, aku merasa ada yang berubah. Ada sesuatu yang disembunyikan oleh suamiku. Mendadak perasaan curiga berubah menjadi ketakutan yang berlebihan.
Memiliki perasaan dikhianati saat usia hampir empat puluh tahun membuatku kembali depresi. Setiap malam aku tak bisa tidur dengan tenang, kadang menyalahkan diri sendiri. Mungkin, karena aku tak bisa menjadi pendamping atau ibu yang baik bagi anak-anak.
Beruntung, aku memiliki seorang adik yang selalu siap mendengarkan keluh kesahku. Mila bahkan kerap membantu menjaga anak-anak saat aku dalam perjalanan bisnis. Saat sedih pun Mila akan merasakan kesedihan yang sama, begitulah keluarga. Tidak akan membiarkan saudaranya sedih seorang diri, mereka selalu ada untukku. Meskipun keluarga selalu mendukung, tetapi perasaan putus asa kerap muncul menggempur kelemahanku.
Aku selalu menyalahkan diri sendiri. Mungkin karena pekerjaan, hingga aku tak bisa sepenuhnya mengurus keluarga. Sempat terpikir untuk berhenti bekerja saja, tapi Mas Daffa tak terlihat terganggu dengan kesibukanku dalam dunia kerja. Lagipula, kami butuh biaya banyak untuk menunjang pengeluaran keluarga dengan dua anak yang mulai bersekolah.
“Mas Daffa, kok nggak ngasih kabar kalau mau pulang terlambat?”
Masih kuingat jelas malam Januari tahun lalu, tepat sehari setelah pesta perayaan kembang api. Mas Daffa pulang dalam keadaan mabuk. Dia terlihat sangat kacau, tatapannya tajam penuh amarah dengan bola mata memerah.
“Memangnya aku wajib selalu mengabarimu?!” bentaknya padaku. Aku seperti sedang berhadapan dengan orang lain. Wajahnya kukenal, tetapi tidak dengan sikapnya yang tak seperti biasa.
Mas Daffa yang kukenal sangat lembut dan penyabar. Orang yang memasuki kamar kami saat itu terlihat menakutkan. Dia meninggalkanku dan membanting pintu tanpa rasa bersalah.
Paginya, Mas Daffa bersikap seolah kejadian semalam tidak pernah diingatnya. Aku sendiri tak mau memperpanjang. Mungkin dia sedang ada masalah di kantor.
Hari-hari berikutnya kurasakan perubahan sikap suamiku semakin terlihat. Ada gelagat aneh yang berusaha ditutupinya. Perasaan dan pikiranku jadi tak karuan.
“Mas selingkuh di belakangku, kan?!” tuduhku suatu ketika.
Aku tak mampu mengendalikan kecewa. Saat itu aku merasa menjadi pihak yang paling benar. Apa pun jawaban dan penjelasan Mas Daffa tak bisa kuterima.
“Halusinasimu setiap hari makin tambah parah! Lama-lama kau makin mirip orang gila!” Nada suara Mas Daffa tak kalah tinggi. Jari telunjuknya mengarah pada wajahku.
Hatiku semakin dikuasai amarah, kulayangkan tanganku pada wajahnya.
Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi kanannya.
Kulihat ia menggeram menahan amarahnya yang menggelegak. Tangannya terkepal kuat. Aku mencoba tetap tegar berdiri di hadapan lelaki yang memiliki kekuatan lebih besar dariku. Kalau mau, dia bisa dengan mudah melukaiku. Namun yang terjadi saat itu, dia meninggalkanku sendirian. Tak sedetik pun menoleh ke arahku yang mulai pecah tangis.
Aku merasa sangat bodoh dan egois. Mungkin aku memang tak waras. Menuduh suami selingkuh tanpa bukti nyata. Perasaan takut tak bisa memberikan kebahagiaan yang cukup untuk keluarga membuatku tak bisa berpikir jernih. Apalagi belakangan ini, aku merasa Mas Daffa tak terlihat bahagia bersamaku ataupun bersama anak-anak.
Pernah ia kutinggalkan selama tiga hari bersama anak-anak untuk perjalanan bisnis, ketika kembali kulihat ada segaris gurat lelah di wajah Mas Daffa.
Sejak kelahiran anak pertama kami, Mas Daffa memang jarang sekali berinteraksi dengan anak-anak. Dia beralasan tak cukup ahli dalam menangani anak kecil. Pertengkaran kami sering terjadi bukan karena orang ketiga, tetapi lebih banyak ribut dalam urusan anak. Setiap kali gilirannya mengajak bermain, dia selalu punya alasan untuk tetap bersama berkas kerjanya.
Kadang, dia lebih memilih pergi lembur di kantor pada hari libur. Ketidakbahagiaannya semakin kentara saat aku mengatakan tengah hamil anak ketiga kami. Di hadapanku dia terlihat senang menyambut kabar gembira ini. Namun, perubahan sikapnya tak mencerminkan ada kebahagiaan dalam hatinya. Malah, seperti ada tambahan beban dalam dunianya.
Mungkin, aku dan anak-anak hanyalah sumber penderitaan Mas Daffa. Aku takut kelak kami akan ditinggalkan. Jika hari itu benar-benar terjadi. Aku lebih baik mati daripada keluarga ini hancur berantakan. Apa pun akan kulakukan agar hubungan kami tetap utuh. Dan tak akan kubiarkan kebahagiaan meninggalkan para malaikat kecilku.
Lili dan Liana yang baru berusia lima dan tujuh tahun masih terlalu kecil untuk mengerti kondisi pelik orang tuanya. Hati mereka masih sangat rapuh jika harus menghadapi penderitaan yang disuguhi orang dewasa.
Sore itu kami kembali bertengkar hebat, aku merasa seolah ada api yang mengunyah-ngunyah isi dadaku. Kesal dan kecewa membuat serba salah. Apa ingin menangis atau marah? Atau keduanya?
Aku seharusnya tak dikuasai oleh amarah yang berlebihan. Takkan kubiarkan diri ini lepas kendali lagi? Aku tidak boleh menyakiti diri sendiri, apalagi kini sudah memiliki dua orang anak yang harus dilindungi, ah … sekarang tiga! Dengan bayi yang berada dalam rahimku.
Sekuat tenaga menahan erangan tangis, tapi air mataku tak pernah bisa dibendung. Menetes begitu derasnya. Kuusap perut bagian bawah sambil dalam hati merapalkan maaf pada janin yang harus ikut merasakan kesedihan yang kini kurasakan.
Tergesa-gesa mengayunkan tungkai kakiku menuju kamar, mencari obat penenang yang masih tersimpan di laci meja rias. Sudah beberapa minggu ini, aku kembali rutin meminum obat yang diresepkan oleh psikiater.
Dulu sebelum menikah, aku pernah menderita depresi akut. Semenjak menikah dengan Mas Daffa, aku telah menghentikan pengobatan. Lagipula aku merasa tak membutuhkan obat-obatan tersebut, kondisi jiwaku sudah sangat stabil.
Setelah menelan beberapa butir valium, kondisiku mulai lebih baik. Aku mengantuk. Tidur akan segera memulihkan hati dan mental.
Malam ini, aku hanya ingin memejamkan mata tanpa memikirkan apa pun. Aku sudah terlalu lelah dan akan membiarkan keheningan mendekapku lembut. Hingga kurasakan sebuah bantal membekap wajah, lalu sebuah benda menusuk perut berkali-kali.
Pikiranku masih terasa begitu kosong. Mungkin karena kaget, ngeri, dan sakit yang teramat telah merenggut semua kata-kata dalam pikiranku.
Napasku terasa pendek-pendek. Tiba-tiba, aku merindukan wajah Lili dan Liana, juga wajah orangtuaku.
Suara napas seseorang menggeram kasar di dekatku. Dia masih mengimpitku sekuat tenaga. Mungkin, dia ingin aku segera mati. Namun, aku masih bertahan dengan deru napasku yang seperti binatang sekarat.
Sekali lagi dia menghunjam perutku sekuat tenaga dan membiarkan benda itu menancap di antara organku yang telah rusak. Perlahan dia menyingkirkan bantal yang menutupi wajahku.
“Mm ihh—” Mulutku kelu, sulit untuk bisa mengucap satu nama. Air mataku mulai merembes, membuat pandangan mataku buram. “La ….”
Kutatap wajahnya dengan perasaan tak percaya. “Ke-na-pa?” tanyaku terbata-bata.
“Seharusnya kau dengarkan saranku!” teriaknya di depan wajahku. “Setiap kali kalian bertengkar, Mas Daffa selalu datang padaku untuk meminta putus. Aku tak mau berpisah dengannya! Kenapa bukan kau saja yang pergi dari kehidupan kami?!” Ekspresi wanita di hadapanku seperti iblis.
Suara tangisan kedua anakku sayup-sayup terdengar, makin lama suaranya terdengar kian jelas. “Li-li? Li-an! Kau … apa-kan?”
Dia mengusap rambut panjangnya dengan tangan yang berlumuran darah. Dia tampak lebih gila dariku. “Jika kalian tak ada, aku akan bahagia.”
Tak kusangka, adik perempuanku telah menjadi pengkhianat dalam hidupku. Dia orang yang kupercaya sekaligus kusayangi telah menjadi monster yang merenggut kebahagiaan keluargaku.
Wanita yang selama ini mengadukan perselingkuhan suamiku dengan seseorang. Padahal, mungkin dialah orang itu. Dia yang selalu menyarankan untuk tegar dan berpisah dengan pria yang hanya bisa menyakiti saja.
Dia yang kukira menyayangiku ternyata tak segan membunuh kedua anakku dan aku, kakak kandungnya sendiri. Ternyata, aku telah tumbuh bersama sesosok monster.(*)
Titik Koma. Penulis sangat menyukai rebahan, dan Han Seojun. Mari berkenalan lebih dekat di akun FB Titik Koma.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata