Ia yang Saya Temui
Oleh : Ning Kurniati
Hari menjelang petang ketika saya tiba. Rumah-rumah meski pintunya terbuka, tak ada manusia yang merumpun. Di jalanan hanya ada satu dua kendaraan.
Tak banyak yang berubah di desa ini. Beberapa masih sama, bahkan cat di rumah-rumah yang pernah saya datangi dahulu seolah-olah tidak pernah diganti. Saya jadi berpikir apa berkunjung ke sini adalah pilihan yang baik atau tidak. Saya tidak tahu. Begitu saja tempat ini terpikir ketika beberapa bulan yang lalu pikiran untuk meninggalkan kota itu ada untuk waktu yang cukup lama. Kalau dikatakan sesuatu memanggil atau sesuatunya memang begitu saya harus ke sini, terlalu absurd. Saya tidak menganggapnya begitu. Biasa saja.
Tahu diri sebagai pendatang, setelah kedatangan selama empat belas hari kemudian saya mengisolasi diri di rumah. Terkait kebutuhan makanan saya sudah siapkan sejak awal jauh hari sebelum keberangkatan.
Dan tibalah hari ini untuk saya keluar menikmati udara dan sengat hangat matahari.
***
Rumah yang saya tempati adalah rumah yang kami—saya dan orangtua—tinggalkan empat belas tahun yang lalu. Kepindahan kami dikarenakan kepindahan Bapak bekerja yang merupakan hal yang dinanti-nantinya selama ini. Sejak saya kecil Bapak sudah berencana untuk pindah, lantaran tempat ini dianggapnya tempat yang tidak cukup baik untuk bisa maju.
“Lihat saja, untuk ke pusat kabupaten kamu harus menunggu dulu bermenit-menit, bagus kalau tidak sampai berjam-jam. Parahnya bisa saja kamu cuma menanti tak jadi-jadi pergi,” kata Bapak pada Ibu.
“Tapi di sini kita lebih membawa manfaat ke orang-orang ketimbang hidup di kota. Yah, memang enak hidup di sana, segala-galanya mudah.”
“Nah, itu! Segala-galanya mudah.”
Pada akhirnya kami pindah bertansformasi menjadi masyarakat urban yang sebelumnya rural. Namun, bukan hanya berubah tempat tinggal kami juga berubah kehidupan. Tak lama sesampainya menghabiskan siang dan malam di tempat baru, Bapak minggat. Dan tinggallah saya dan Ibu yang hidup berdua hingga beliau meninggalkan saya enam tahun yang lalu.
***
“Maya?”
“Eh?” seseorang menyapa, ia memiliki rambut panjang yang lurus tergerai sampai ke paha. Sekarang, ia mengamati saya lebih seksama.
“Iya saya.”
“Kamu berubah? Eh, maaf!”
“Iya,” ia menjawab dan tersenyum setelahnya.
“Rumah tidak pindah ‘kan?”
“Tidak.”
“Boleh saya berkunjung?”
“Kenapa tidak?”
Kunjungan pertama di hari pertama yang saya lakukan setelah isolasi mandiri. Meski yakin bukan pembawa virus, tetap saja saya lakukan, perintah adalah perintah dan perintah itu bukan sekadar kalimat yang beberapa orang saat ini masih menganggap pandemi tak seserius itu.
“Kapan datang?”
“Lima belas hari yang lalu.”
“Loh! Sudah lama?”
“Iya. Kamu bisa temani saya melapor ke pemerintah setempat?”
“Bisa dong, nanti sore, ya. Kamu enggak kena virus itu ‘kan?”
“Enggak, in sya Allah. Saya sudah mengisolasi diri, kok.”
“Eh, iya. Kamu tadi sudah bilang datang empat belas hari yang lalu,” ucapnya diringi tawa yang renyah.
Walau tubuhnya mengalami perubahan yang drastis, tetapi senyum dan cara bicaranya masih sama. Waktu tidak begitu saja bisa mengubah karakter seseorang dan saya kira persahabatan itu masih ada, walau selama ini tak pernah ada komunikasi. Kepergian saya rasanya boleh disebut hilang lenyap di telan bumi.
Saya mengamati perabot-perabot yang ada di rumahnya, banyak yang berubah, banyak pernak-pernik warna-warni di sana-sini. Kemudian, ia mengulurkan makanan, setoples biskuit dari lemari kue di ruang tamunya. Bentuknya bulat dengan ukiran yang mengelingi tepinya. Ada kata ‘MARIE’ di tengah-tengah biskuit itu.
“Masih ingat?”
“Masih. Saya pikir biskuit ini sudah tidak ada.”
“Tidak semua tempat menjualnya. Ketika masuk di minimarket ketika ke kota, saya juga tidak menemukannya padahal sedang mencarinya.”
“Saya lupa kapan terakhir makan ini,” timpal saya sembari mengangkat biskuit itu ke depan mukanya.
***
Malamnya kami menginap bersama di rumahnya. Saya cuma pulang mengganti pakaian dan mengambil barang-barang yang sekiranya sewaktu-waktu saya perlukan: sikat gigi dan pastanya, facial wash, minyak kayu putih—maklum saya mudah sekali masuk angin—dan mukena tentunya. Entah kenapa saya ragu ia punya mukena.
Kami berbagi banyak hal, tentunya tentang kehidupan dan yang paling membikin saya penasaran tentang keputusannya untuk tampil seperti sekarang. Mudah, ia menceritakan semuanya tanpa saya memancing atau terus terang bertanya. Mulanya hanya karena desakan ekonomi ia mulai ikut-ikutan, cuma bantu-bantu membereskan dekorasi sehabis pesta pernikahan orang-orang, membawa hal-hal yang dibutuhkan, semacam asisten, dan lama kelamaan ia menikmati—nyaman dan karena dari dulu tidak pernah mendapat pujian seringnya cemohan, ia tidak peduli perkataan orang. Menjadi fenomena seolah makhluk yang tak wajar sudah ia alami sejak ia tumbuh bahkan dari keluarga sendiri.
“Ibu mati di tangan Bapak,” ucapnya di sela kebungkaman kami dalam jeda pembicaraan.
Saya yang mendengar itu, tidak tahu harus memberi tanggapan apa. Toh, setiap orang memiliki kisah orangtuanya masing-masing. Jadi, saya biarkan saja ia bicara terus menerus, tanpa ada tanggapan, hanya anggukan dan tatapan mata saya yang tidak berpindah dari mukanya yang dengan itu saya ingin menyiratkan bahwa saya paham, saya prihatin dan saya peduli. Ia duduk bersandar di lemarinya yang tiga pintu dan saya di sisi ranjang kayunya.
“Sebenarnya tidak bisa juga dikatakan begitu. Cuma bagaimana lagi, kamu tahu ‘kan kelakukan bapak saya itu. Pulangnya jarang sekali, kalau pun pulang ngasih uangnya cuma sedikit, yang banyak marahnya, mukul Ibu sampai ia tersedu-sedu menangis. Dua tahun setelah kepergian kalian, Bapak saya juga pergi, tidak pulang-pulang, saya kira bakal selamanya. Tapi, di shubuh hari di hari lebaran, begitu saja ia muncul di ruang tamu dengan suara salam yang harusnya ia ucapkan sebelum memasuki rumah. Dan, kamu tahu, Maya, dua bulan setelah itu, Ibu memeriksakan diri ke puskesmas, ia pulang dengan berseri-seri membawa kabar menagtakan saya bakal punya saudara.
“Musibah, Bapak kalap memukuli Ibu. Badan Ibu merah-merah, bengkak di sana-sini. Ia tidak suka istrinya hamil, bawa masalah katanya. Itu ada hubungannya dengan saya yang selalu ia anggap tidak beres. Anak tidak wajar. Kamu tahu bagaimana Bapak saya, ia selalu memandang … seperti saya bukan anaknya. Siang itu, ia pergi dan tak balik-balik lagi hingga ketika ia memeluk saya dari belakang di suatu malam di pasar malam. Ia kira saya perempuan betulan.” Ha-ha-ha.
Tersenyum miris, saya menanggapi ceritanya.
“Kamu tahu betapa senangnya saya, tapi ya, di sisi lain saya sedih juga karena kami benar-benar keluarga tidak beres, tidak wajar. Sejak dulu sampai sekarang pun saya bingung, kenapa ia selalu meletakkan kesalahan itu pada saya—tidak beres, tidak wajar. Apa saya salah? Sedangkan saya ini ada ya, karena ia dan Ibu berbuat. Tanggung jawab itu tidak pada saya, tapi pada ia, pemimpin ‘kan? Dan, karena kejadian itu, bukannya berubah saya malah yakin, haqqul yakin, kata orang-orang sekarang. Saya anggap ini untuk balas dendam Ibu yang mati bersama saudara saya yang tidak pernah saya lihat wajahnya itu. Bikin Bapak malu. Semua orang tahu cerita pasar malam itu dan menggungjingkannya ke sana-kemari.”
“Kamu ingin orang menganggap begitu atau kamu saja yang menganggapnya begitu, atau … kamu ingin keduanya—kamu dan orang-orang. Anggapan balas dendam …bikin malu itu, kamu baik-baik saja? Tidak terganggu sama sekali?”
Ia tidak menjawab. Lama kami dalam keadaan seperti mengambang, tidak jelas, terperangkap dalam kebungkaman. Seingat saya kami mengakhiri malam dengan tidur tanpa ada pembicaran lagi. Saya yang di ranjang dan ia di depan lemari di sisi ranjang. Tidak tahu kapan ia menggelar matras, bantal dan mengambil selimut, ketika saya terbangun ia pulas dalam tidurnya dengan rambut yang cepak. Membelalak, saya hampir berteriak, tapi syukurnya berhasil menahan diri. Ia tampak berbeda. Benar-benar beda.
Saya meninggalkan rumahnya ketika matahari belum seutuhnya tampak. Ia masih pulas dalam tidurnya. Dan, sesudah hari itu saya tidak bertemu lagi dengannya selama empat hari. Tidak di jalan tidak juga ia menemui saya di rumah. Rikuh karena ingatan kepala cepak itu, saya membiarkan situasi kami.
***
Jalan-jalan di pagi atau sore hari dan membaca buku, tidak ada aktivitas tambahan yang saya lakukan. Bila ini di kota, mungkin saya akan bosan, tetapi anehnya sedikitpun tidak ada kebosanan. Saya menikmatinya, tumbuhan hijau yang memagari jalanan benar-benar membawa suasana berbeda.
Dan, untuk ketiga kalinya dalam lima hari ini saya melewati rumah panggung dengan cat warna cokelatnya. Pintunya tetap terbuka pertanda ada orang di dalam. Namun, tidak ada bunyi apa pun yang terdengar. Sebetulnya saya ingin singgah, sekadar menyapa. Rasanya tidak etis bila baru saja ada keakraban, kemudian menjadi tiada tanpa sebab-musabab yang jelas.
Memberanikan diri, akhirnya saya mengetuk pintunya dengan salam sebagai pengiring. Terdengar jawaban dari dalam dengan nada kemayu. Mendadak saya menjadi degdegan dan mendadak pula saya menyadari bahwa saya merasa bersalah atas tanggapan saya, atas penglihatan saya pada kepalanya waktu itu, atas kepulangan saya yang tanpa pamit dan … saya takut ia jadi berpikir macam-macam, padahal saya tidak berpikir macam-macam. Saya bisa menerima semuanya.
Ia keluar, tersenyum seperti ia dalam ingatan saya di masa lalu. Kepala cepak dan tidak ada pulasan di wajah. Terbengong, ia menjetikkan jari di hadapan saya. Saya makin bingung, makin merasa bersalah, dan kalau boleh meminta satu keinginan, saya ingin lenyap.
“Kamu baik-baik saja?”
“Em-mmm-anu ….”
“Ada yang salah, ya?”
“Tidak, kamu? Eh, maksud saya tidak begitu.”
“Tidak apa-apa kok, Ya.” Ya, panggilan masa kecil saya. Ia kenapa?
“Terima kasih, Ya.”
“Untuk?”
“Untuk segalanya.”
Masih belum sepenuhnya lepas dari momen terbengong-bengong, kali ini saya ia biarkan, tidak ada jentikkan jari. Perubahan seratus delapan puluh derajat. Oh, betapa mudahnya manusia bertransformasi dari bentuk ke bentuk. Ia yang saya temui kembali menjadi orang yang berbeda. (*)
12 April 2020
Ning Kurnati, Perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata