Ia Memanggul Dua Ransel
Oleh: Inet Wijaya
Terbaik 7 Lomba Cerpen Autofiksi
Aku menyebutnya rahasia ‘kenakalan’. Itu terjadi beberapa tahun yang lalu, tepatnya saat aku masih duduk di bangku perkuliahan. Berbagi rahasia selalu menimbulkan debar aneh. Debar yang ditimbulkan dari berjuta tanya bagaimana respon orang lain terhadap rahasia kita. Apakah tersenyum? Men-judge? Tak peduli? Pokoknya banyak kekhawatiran yang pada akhirnya aku akan memilih menyimpannya dalam rak-rak berantakan di dalam dada.
Tapi kali ini aku akan menceritakannya. Kejadiannya sudah beberapa tahun yang lalu, tepatnya tahun 2015, jadi tidak mengapa untuk membagikan kisah itu sekarang. Tapi tetap, hatiku agak berdebar.
Dia adalah seorang teman lama yang tiba-tiba muncul di laman Facebook-ku. Kami kerap bertukar komentar di postingan. Aku suka mengomentari momen-momen indah di puncak gunung yang sering kali ia bagikan. Dia sering mengomentari foto selfie-ku—yang jika dilihat dari sudut pandang masa kini akan terlihat alay. Lalu, kami berlanjut bertukar nomor Whatsapp.
Pada suatu kali yang tiba-tiba, dia menawariku naik gunung. Pada tahun-tahun itu efek novel dan film 5 cm masih begitu kuat. Banyak orang menjadi berhobi naik gunung. Aku yang begitu ngefans sama Zafran, Genta, dan Riani tentu saja sangat menginginkan naik gunung. Mendaki, melewati jalan berkelok, melihat jurang di tepi jalan setapak, menyaksikan sunset dan sunrise. Pokoknya perasaan itu begitu membuncah.
Setelah memikirkan dari sudut pandang mana pun, aku tidak sudi menolak tawaran naik gunung. Dia bilang dekat, Gunung Prau terletak di Dieng. Gunung yang diperuntukkan bagi pemula yang ingin belajar naik gunung. Tingginya hanya 2.565 mdpl. Dia juga mau meminjamkan ransel hiking, semua perlengkapan sudah tersedia. Aku tinggal ikut berangkat. Bagaimana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan emas ini? Merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh di 5 cm.
Masalahnya adalah bagaimana caraku meminta izin pada ibuku? Ia adalah tipe ibu-ibu overthinking yang sukar memberi izin. Berpikir. Berpikir. Terus berpikir. Akhirnya Aku memutuskan untuk tetap izin. Tapi, izinnya pergi ke luar kota bersama teman-teman Ormawa (Organisasi Mahasiswa). Jika menyangkut dengan dunia perkuliahan, ia selalu memberi izin meski dengan ceramah, “Jaga diri, jangan aneh-aneh. Hati-hati di sana, jangan misah dari rombongan.”
Aku berani bersumpah, hanya sekali itu saja aku memanfaatkan kepercayaan Ibu pada dunia organisasiku saat di perkuliahan. Hanya sekali itu. Aku tidak pernah mengulanginya. Tidak berani.
Pada hari H, aku dijemput olehnya. Dengan takzim aku menyalami Ibu sebelum berangkat. Sesaat, terbersit rasa bersalah di batinku. Tapi,kan tinggal berangkat saja. Sekarang banget. Ya sudah, aku menguatkan hatiku.
Ia sudah bilang sebelumnya, kami tidak hanya berdua, melainkan berlima. Makanya aku mau ikut. Kalau berdua saja kan bahaya, yang ketiga setan! Ada tiga laki-laki dan dua perempuan. Sebelum berangkat, kami saling berkenalan dulu. Ada aku dan dia, sepasang kekasih bernama Rita dan Wawan, serta seorang lelaki bernama Farid. Kami seumuran, hanya Farid yang tampaknya lebih tua beberapa tahun. Oh ya, kami naik motor berboncengan, kecuali Farid.
Setelah beberapa jam melewati jalan menanjak yang berkelak-kelok bagai ular raksasa yang kanan kirinya ditumbuhi pepohonan lebat, akhirnya kami tiba di Dieng. Kurasakan dingin menusuk tulang meski jaket bomber membungkus tubuh. Sebelum naik, kami mengisi perut terlebih dahulu sambil menunggu Asar. Selepas Asar kami mulai naik. Jantungku berdebar, bagai ada yang meletup-letup di dalam dada.
Pada awalnya pendakian berjalan lancar dan menyenangkan. Mula-mula kami melewati jalan setapak yang masih landai dan sedikit berkelok. Di satu sisi terdapat tanah liat yang menjulang bagai tembok, di sisi lain terdapat pagar bumi dari bambu setinggi lutut, tumbuhan rambat dengan sulur-sulur daun dan bunga menghiasi. Lalu perbukitan berselimut pepohonan hijau dengan awan yang berarak di atasnya memanjakan mataku. Indah, batinku.
Tiga puluh menit perjalanan, jalanan mulai menanjak dan agak licin. Batu-batu menonjol di sana-sini, jurang tampak mengancam di satu sisi. Melihatku tampak kesusahan mendaki, ia memberiku ranting yang dapat kugunakan sebagai pegangan. Napasku memburu, bulir keringat mulai muncul, ransel di bahuku semakin terasa berat. Tak lama kami telah sampai di Pos 1. Kami beristirahat. Begitu melepas tas ranselku, separuh beban hidupku seakan ikut terlepas. Di dalam dada sana aku menjerit kelelahan. Napasku sudah satu-satu, udara dingin menambah beratnya bernapas, bahuku sakit dan kebas.
“Kamu, nggak papa?” tanyanya.
“Nggak papa,” jawabku dengan napas seperti orang yang baru berlari maraton. Bulir-bulir keringat muncul di dahiku.
Ia tersenyum, “Ayo duduk dulu, minum yang banyak.”
Aku mengangguk menuruti tawarannya.
Baru saja jantungku berdetak dengan normal. Farid mengajak melanjutkan perjalanan. Aku tidak hanya menguatkan fisik, tetapi juga hati, karena sedari tadi jeritan menyerah menggema di dada. Sampai-sampai terbayang, andaikata aku tidak ikut naik gunung, saat ini tentu aku sedang rebahan sambil main hape. Ingin sekali aku melambaikan bendera putih. Tapi kulihat yang lain masih dalam keadaan prima. Rita pun masih baik-baik saja. Detik itu aku mengutuki diriku yang tak pernah berolahraga, bahkan sekadar lari pagi pun tidak pernah. Selalu hanya wacana.
Perjalanan berlanjut, medannya terkadang landai, tetapi lebih sering menanjak dan berkelak-kelok. Baru sebentar jalan, napasku sudah satu dua. Bahuku kembali kebas, bahkan sekarang kakiku juga terasa berat untuk melangkah. Langkahku kian lambat dan agak bungkuk bertopang ranting. Sampai pada titik aku berhenti melangkah.
Dia membantuku melepas ransel. Membantuku mengatur napas, dan tampak mengkhawatirkanku. Dadaku terasa memanas, air mata menuntut ingin meluber. Sekuat mungkin kutahan. Jangan. Jangan keluar. Atau aku akan tampak lebih lemah. Entah bagaimana aku berhasil menahannya.
Sesaat setelah aku membaik, dia bertanya, “Sudah siap lanjut?”
Aku mengangguk dan tersenyum. Meraih tangan yang dia tawarkanpadaku, Lalu membantuku bangkit.
Ketika ransel akan kuambil, dia sudah lebih dulu mengambil ranselku. Lalu memanggul tasku di depan dadanya tanpa suatu kata. Ia memanggul dua ransel, di depan dan belakang badannya. Padahal ranselnya lebih besar dari ranselku. Aku terperanjat, bingung sekaligus merasa lega. Harus bagaimana perasaanku? Di satu sisi aku merasa menjadi beban, di sisi lain aku merasa lega, setengah bebanku terlepas.
Ditengah gemingku, dia berkata, “Tidak apa-apa. Kamu pasti bisa.” Seolah tahu apa yang berkecamuk dalam dadaku.
Sungguh aku tidak ingin menjadi beban, tapi daripada aku memaksakan diri dan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan, lebih baik aku jujur dengan keadaan diriku. Aku pun sama sekali tidak menyangka dan berharap ia akan memanggul ranselku. Rita, Wawan, dan Farid pun tak ada yang memandangku rendah. Mereka turut menguatkanku. Bahkan Farid mau berganti memanggul ranselku. Dia dan Farid saling bergantian memanggul dua ransel hingga kami mencapai puncak. Aku bersyukur, bertemu mereka, orang-orang baik.
Mentari sebentar lagi ditelan malam. Semburat jingga menerpa wajahku yang terasa memanas. Aku tak menyangka bisa sampai di puncak. Dalam hati aku bilang cukup sekali ini. Cukup sekali ini aku merasa menjadi beban dan cukup sekali ini aku naik gunung. Sejenak terbersit satu pikiran, inikah akibatnya berbohong kepada Ibu?
“Melamun?” katanya. Dia duduk di sebelahku.
Aku tersenyum, “Enggak, lihat air yang sebentar lagi mendidih.”
“Tendanya sudah jadi. Katanya mau lihat.”
Aku mengangguk. Ada sesuatu yang ingin kuucapkan, namun urung. Dia begitu antusias ingin menunjukkan tendanya.
Pekalongan, 29 Desember 2024
Inet Wijaya, seorang ibu dari seorang putra yang berusaha merajut mimpi-mimpinya.
__
Komentar Juri, Inu Yana:
Memiliki orangtua yang overprotective terkadang memang tidak menyenangkan. Anak menjadi tidak leluasa dalam bergerak dan bersikap karena takut dimarahi oleh ayah atau ibu mereka. Hal inilah yang membuat anak-anak, terutama usia remaja, rawan untuk berbuat nakal.
Siapa, sih, yang nggak pernah nakal sewaktu remaja? Mungkin ada yang tidak, tapi pasti lebih banyak yang melakukan kenakalan seperti di dalam cerita. Rasa ingin tahu yang besar, juga darah muda yang selalu merasa tertantang dengan sesuatu yang baru membuatnya berbohong pada ibunya. Hal-hal semacam ini pasti bukan penulis saja yang alami, bukan?
Dan pastinya, momen kenakalan ini tidak akan pernah terlupakan sepanjang hidup.
Kisah ini juga memberi pelajaran kepada pembaca untuk lebih bijak lagi menjadi orang tua, dan sebagai anak harus tetap patuh kepada orang tua mereka. Selamat, Kak Inet.