Hypnosis

Hypnosis

Hypnosis

Oleh: Titik Koma

 

Seberkas cahaya putih menyergap mata Vio, bulu matanya yang panjang dan berwarna cokelat kemerahan bergetar dalam pejam. Tremor menguasai seluruh tubuh. Vio berusaha mengatur udara yang masuk ke bilik paru-parunya. Mereka masuk terlalu cepat. Sama cepat dengan detak jantungnya.

Kreet, kreet, kreet.

Suara benda berderit memenuhi isi kepala Vio. Mendadak, napasnya mulai melambat. Perlahan ia membuka mata. Pandangannya menangkap sosok anak perempuan bergaun malaikat sedang berayun-ayun.

Vio tengah berdiri di halaman belakang rumahnya. Perbukitan rumput di sekitarnya terlihat hijau dan terhampar luas. Rumah Vio memang jauh dari para tetangga. Lahir dalam keluarga petani di Selandia Baru membuatnya tak banyak memiliki teman bermain.

Vio mengingat masa kecilnya yang bahagia: bermain bersama kakak satu-satunya; melihat domba yang melahirkan; menonton gerombolan sapi yang berbaris dengan lonceng di leher. Kemudian, ia kembali memusatkan padangannya pada anak perempuan yang berayun makin kencang. Bunyi gesekan rantai membuat pendengaran Vio ngilu. Rasa ngilu yang persis diderita hatinya.

Tungkai panjang perempuan enam belas tahun itu bergerak perlahan. Vio ingin mendekat, dan melihatnya lebih jelas. Ia merasa tak asing dengan bocah itu. Mata mereka saling bersirobok. Wajah yang mulanya terlihat rata itu mulai terlihat jelas.

Anak dengan senyum paling manis, meskipun gigi depannya sudah pernah tanggal, dan baru mulai tumbuh. Kulitnya putih pucat dengan bintik-bintik hitam di sekitar hidung dan bawah mata, tapi itu sama sekali tak mengurangi kecantikan alaminya. Vio sangat mengenalnya. ia Ave. Bocah malang yang telah ditinggalkan seluruh keluarganya.

“Vio … sedang apa kau di sini?” Suara berat dan dalam mengagetkannya dari balik punggung.

Dengan refleks cepat, ia berbalik. Suara jantungnya kembali bergemuruh seperti badai.

“Hey, rileks, Beb. This is me.” Pria berambut merah bata itu memberikan senyuman paling menawan. Begitu memikat, hampir-hampir hatinya terperangkap.

“Kau … bagaimana mungkin? Kau sudah mati, Jade. Mati!” teriaknya.

Vio ingat betul saat lelaki muda itu menjemput kematiannya. Gemericik air mengalir deras dari shower. Lantai penuh dengan genangan air berwarna merah. Sementara, Jade berada dalam jacuzzi dengan kepala terkulai.

Mata lelaki yang genap berusia dua puluh tahun itu terbuka. Iris sewarna hijau giok itu tampak kosong. Bibir pink-nya lenyap digantikan warna plum pucat. Wajah tampannya berubah mengerikan. Vio tak percaya itu Jade. Pria itu tidak boleh meninggalkannya.

“Kau bicara aneh lagi. Mana mungkin aku mati …,” Jemari Jade menyentuh rambut panjang Vio yang kini berwarna hitam, “dan tak mengajakmu?”

Jade tertawa renyah. Suaranya begitu khas seperti guyonan yang kerap ia lontarkan.

“Tidak lucu, Jade!” Vio menatap Jade tajam. Ia tak mengerti mengapa Jade bangkit dari kematiannya.

“Aku serius, Violet. Aku hidup dan saat ini kau yang menghidupkanku kembali.”

Jade beranjak meninggalkan Vio yang berusaha menguasai pikiran ganjilnya.

Lelaki bertubuh tegap itu menghampiri Ave, ia menghentikan laju ayunan yang bergerak kencang. Senyum Jade merekah indah, sorot matanya penuh kasih sayang seorang kakak pada adiknya.

Jade mengelus rambut merah Ave, lalu mengajak anak perempuan itu menghampiri Vio. Tangan mereka saling bertautan, senyum di wajah keduanya membuat perasaan Vio gelisah. Sejenak perasaan cemburu menghampirinya.

Mengapa mereka tak menyisakan kebahagiaan untukku? batin Vio mengeluh, tatapannya menyendu.

“Kau suka sekali melamun, ya?” Suara khas anak perempuan menyapa telinga. Vio menatap wajah polosnya.

“Ayo, kita main! Kau suka main hide and seek, bukan?” Anak itu memiringkan kepala dan menatapnya dengan sorot mata yang tak pernah Vio sukai.

“Aku suka bersembunyi di dalam gudang. Kau suka aku bersembunyi, bukan? Kalau perlu selamanya tak muncul kembali.” Bocah itu terkikik.

Vio juga tak menyukai suara tawanya. Segala yang melekat pada anak perempuan itu, ia sangat membencinya. Mengapa kebahagiaan hanya untuk Ave?

“Berhenti menggodanya, Ave, kalau tidak, ia akan mengurungmu lagi.” Jade memperingati dengan nada serius.

“Dia selalu berusaha melenyapkanku. Padahal kukira ia sangat menyayangiku. Kenapa kau tak ikut mati saja bersama, Jade? Dan malah memaksa hidup bersama kami! Kau tumbuh menjadi wanita serakah, yang hidup dengan memunculkan banyak identitas. Dasar perempuan bodoh! Kau tak membiarkanku tumbuh dewasa dan terus mengurungku dalam usia ini!”

Ave terus merajuk dengan suara tinggi.

“Hentikan, Ave! Kau menakutinya.” Jade berkata dingin, terdengar tak berperasaan.

“Semua ini gara-gara kau, Jade! Pria berengsek!” Ave menghentak genggaman tangan Jade, lalu berlari meninggalkan mereka.

Vio tak pernah mengalihkan matanya dari Jade. Ia tahu selama ini pria di hadapannya sangat berbahaya.

“Langitnya bergerak!” Jade menengadah.

Langit di atas kepala mereka bergeser seperti layar yang terlipat dan menampilkan gemerlap kecil cahaya bintang. Sangat kecil seperti cahaya kunang-kunang yang sekarat. Tak ada bulan yang terlihat. Hanya malam yang gelap, dengan aroma kesepian yang pekat.

Tiba-tiba rumput  yang Vio injak berubah mejadi keramik putih yang mengkilap. Ia bahkan bisa berkaca. Sosoknya yang kurus terlihat jelas, rambut lurus berponi, dan ia memegang pisau daging yang meneteskan likuid berbau amis.

Jade masih di hadapannya, menatap dengan senyuman khasnya yang memikat. Keramik di sekitar mereka mendadak terlihat kotor dan penuh dengan serakan benda-benda pecah belah.

“Lavender! Kau apakan adikmu, Anak Sialan?!” Seorang wanita setengah baya berlari ke arahnya, matanya melotot, dengan suara yang menggelegar sekeras dentuman dinamit yang meleburkan gunung berbatu.

Tubuh Vio menegang. Pisau di tangannya terjatuh. Ia menggeleng-gelengkan kepala.

Bukan, bukan, aku! sangkalnya dalam hati. Ia merasakan kengerian yang luar biasa, sampai-sampai tak mampu bersuara.

Di dekatnya, seorang anak barusia lima tahun tergolek berlumuran darah, lehernya rusak akibat tergorok secara brutal.

Wanita tua itu menampar wajahnya berkali-kali, silih berganti kiri dan kanan. Tubuh Vio limbung, kakinya terselip hingga membuatnya jatuh ke dalam genangan darah.

Setelah puas menampar wajahnya, wanita tua itu pun menangis menggerung-gerung, seperti kerasukan.

Vio ingin menangis, tapi rasa terkejut lebih menguasainya. Ia menatap Jade yang berdiri di tempat yang sama—tak bergeser seinci pun—dengan ekspresi dingin yang mengerikan.

“Kau yang membunuhnya, Jade,” ucap Vio penuh keyakinan. “Kau takut anak itu mengadukan perbuatan bejat kalian. Kau dan Lavender bercinta seperti binatang. Anak malang itu melihat kalian,” suara Vio berdesis seperti ular yang berhadapan dengan elang yang akan memangsanya.

Jade tak bersuara. Ia hanya berdiri dan menatap Vio penuh perasaan cinta. Tatapan yang menjijikan. Setiap kali Jade menatapnya penuh perasaan, Vio ingin sekali mencongkel mata hijau itu. Lalu mengepal bola mata itu kuat-kuat hingga pecah.

“Jangan diam saja, Jade!” Vio frustrasi. “Katakan, kau yang melakukannya. Iya, kan?!” Vio ingin berteriak, tapi tak kuat.

Lelaki itu kukuh dalam diam.

Vio melihat wanita tua itu menguasai tangisnya, ia berpaling, dan berjalan sempoyongan ke ruangan lain.

“Aku melakukannya demi kita. Apa kau ingin aku membunuhnya juga?” Jade melirik keberadaan wanita yang masuk ke ruangan sebelah.

Dengan langkah lebar, Jade menyusul wanita itu.

Vio menggeleng, ia mencoba bangkit, tapi tubuhnya terasa berat seperti tertahan berton-ton gravitasi. Jatuh bangun Vio mencoba berdiri.

“Aaaaargh!” Hanya dengan satu pekikan panjang yang menyayat, isakan wanita tua itu pun terhenti.

Jade keluar dengan wajah terluka. Darah mengalir dari pipi ke lehernya. Kemeja hitam yang dipakai Jade penuh dengan percikan darah.

“Sekarang kita tinggal menunggunya pulang,” ucap Jade.

Bibir Vio bergetar, air matanya berlomba-lomba keluar. Jade berjongkok tepat di depannya. Jemari Jade yang terbungkus darah menyingkirkan air mata yang mengalir di pipi Vio. Wajah putih itu malah berlumur darah.

“Kau cantik, jika semua ini selesai kita akan hidup berdua saja. Tidak perlu ada siapa pun. Hanya kita berdua. Begitu kan permintaanmu, Lavender?”

“Aku … bukan Lavender,” suaranya terdengar begitu lirih, ada kegeraman yang ingin meledak.

“Ssst …. Aku akan mewujudkan semua keinginanmu, Sayang. Tidak akan ada orang yang menghalangi cinta kita lagi.”

Jade memeluk tubuh Vio erat, sangat kuat sampai terasa sesak.

Suara kunci berputar, diikuti ayunan daun pintu terdengar dari kejauhan. Vio meremas dan mencengkeram kemeja Jade kuat-kuat.

“Kumohon … hentikan, Kak! Tolong … jangan bunuh Ayah,” katanya putus asa.

Suara ketukan sepatu boots semakin mendekat.

“Tidak, Jade. Tidak!”

Violet terbangun dengan deru napas yang cepat. Air mata menghiasi wajah pucatnya.

“Tenanglah, Ave.” Seseorang menyebut nama resminya berulang kali. Ave adalah host, rumah para jiwa terbentuk dan berkumpul.

“Kuasai dirimu. Kau aman di sini,” ucap wanita berkaca mata yang menjadi dokter ahli hipnosis sekaligus ahli kejiwaannya. Ia diberi wewenang untuk menangani Ave Mary yang terindikasi menderita DID.

“Aku melihat mereka. Mereka ….”

“Ceritakan pelan-pelan Ave, kita masih punya banyak waktu.”

Violet menatap mata abu-abu itu, mata yang menyejukan seperti air danau di balik bukit rumahnya. “Aku juga bertemu dengannya. Kakakku, Jade, yang telah mati bunuh diri.

“Selama ini, aku menyembunyikan Ave kecil dalam sebuah ruangan terkunci, agar ia tak melihat kekejian Jade. Setelah semua pembunuhan itu, aku mengambil alih tubuh Ave dari sosok Lavender yang mencintai Jade. Mereka berdua menjadi gila karena cinta terlarang.  Diriku yang lain, Lavender, telah menghasut Jade membunuh seluruh keluarga kami. Aku … telah membunuh semua orang.

“Hahahaha ….”

Suara tawa yang terdengar ganjil menggema dalam ruangan berbau aroma terapi itu, sebuah kamera menyala, merekam semua pengakuan Ave yang terlibat kasus pembunuhan keluarganya sendiri.

Lavender membantu Jade menguburkan mayat-mayat keluarga mereka di halaman belakang rumah. Setelah beberapa bulan hidup berdua saja, Jade merasa tertekan dengan kemunculan Violet dalam diri Ave. Sosok itu melupakan semua pengorbanan Jade. Bahkan, ia melupakan kisah cinta mereka. Kadang, Ave kecil datang dengan lugunya di hadapan Jade. Ave kecil yang tak pernah ingat apa-apa, bahwa dulu Jade pernah menyetubuhinya berkali-kali, hingga muncul sosok Lavender yang membalas cintanya.

Jade menyesal telah mencintai adik kandungnya sendiri. Perasaan bersalah karena telah membunuh seluruh keluarga, dan kekecewaan atas hadirnya Violet yang tak pernah mencintainya, semua itu membuat Jade tak tahan dan memutuskan bunuh diri.

Melihat kematian kekasihnya, sosok Lavender kembali berkuasa, ia muncul dengan kemarahan yang meluap-luap. Dibakarnya rumah peninggalan orang tuanya itu, dengan tubuh Jade masih di dalamnya.

Jade telah lebur menjadi abu, seharusnya semua penderitaannya pun berakhir. Namun, kenyataannya ini awal segala kutukan. Tanpa Jade, ia hanya seorang diri merasakan penderitaan ini.

Seandainya ia menerobos kobaran api yang melahap tubuh Jade dan rumahnya. Mungkin penderitaan Lavender ikut hangus dan melebur.

Kepulan asap naik dan menyebar di langit hitam tanpa rembulan. Suara lonceng sapi terdengar di kejauhan. Semesta bergerak lambat. Selambat kesadaran Violet yang kembali memegang kendali tubuh Ave. (*)

 

Penulis sangat suka membaca dan memikirkan hal tidak penting.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply