Hurt-Beat (Part 2)

Hurt-Beat (Part 2)

Hurt-Beat

Oleh: Vianda Alshafaq

Part 2: One Night Tell

Kadang-kadang, aku begitu bodoh. Harusnya aku tidak perlu mengingat-ingat kenangan masa lalu itu. Semuanya sudah selesai. Sudah usai. Dan, tidak perlu ada yang berderai lagi. Harusnya, luka yang sudah tertutup itu tidak boleh terbuka kembali. Setidaknya, aku harusnya tidak mengkhianati usahaku yang sudah mati-matian untuk terlihat sembuh. Ya, benar. Hanya untuk terlihat sembuh. Tidak benar-benar sembuh. Dan, itulah kesalahan terbesarku.

-Mila

Mila menuliskan kalimat itu dalam diari berwarna ivory bergambar New York City miliknya. Ia menutup buku itu rapat-rapat dan menaruhya kembali ke dalam lemari. Setelah itu, Mila hanya memainkan telepon genggamnya sembari menunggu Dinda yang sedang menggoreng telur di dapur. Ia menunggu Dinda untuk makan malam bersama.

Tak lama, Dinda masuk dengan sebuah piring berisi telur mata sapi. Mila berdiri, mengambil nasi yang masih berada di tempatnya–di samping rak kecil untuk meletakkan piring dan alat-alat lainnya.

Makan bersama adalah agenda rutin untuk mereka berdua. Tidak pernah sekali pun mereka melewatkan makan malam bersama kecuali jika memang salah satu di antara mereka tidak bisa, dengan alasan yang jelas dan tentu saja harus masuk akal. Bagi mereka, Mila dan Dinda, makan malam bersama adalah waktu yang paling pas untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian di kota itu. Sekalipun jauh dari keluarga, mereka masih bisa merasakan yang namanya makan malam bersama.

“Wi-Fi lagi mati, ya?” tanya Mila di sela-sela makan.

“Masa’? Tadi gua masih pake, kok.”

Mila meraih telepon genggamnya yang ada di atas kasur. Lalu memperlihatkannya ke Dinda, membuktikan bahwa Wi-Fi mereka memang sedang mati. Melihat tidak ada satu pun sinyal Wi-Fi yang tersambung di telepon genggam Mila, Dinda juga meraih ponselnya. Dan, benar, tidak ada Wi-Fi yang tersambung.

“Padahal gua mau maraton nonton anime malam ini. Mumpung besok libur. Eh, nggak rejeki banget.”

One night tell ajalah, yok. Udah lama enggak. Kebetulan gua juga pengen cerita, hehe ….”

One night tell adalah sebuah sesi yang mereka ciptakan untuk saling berbagi sesuatu yang mereka pendam atau sesuatu yang mereka rahasiakan selama ini. Sejak tinggal bersama, mereka sudah beberapa kali melakukannya. Mereka bercerita semalam suntuk. Sejak selesai makan malam hingga subuh menjelang. Saat-saat seperti itu membuat mereka menjadi lebih dekat dan lebih memahami satu sama lain.

“Bolehlah. Gua juga kepo lo kenapa selama dua hari ini.”

“Kelarin makan dulu kalau gitu.”

Pernah suatu kali, ketika mereka melakukan one night tell–waktu itu belum mereka beri nama—untuk pertama kalinya, Mila tidak jadi makan. Mereka bercerita sambil makan. Alhasil, nafsu makan Mila hilang karena mencerikan hal-hal pelik yang pernah dialaminya. Sejak saat itu, mereka memutuskan untuk melakukan one night tell setelah selesai makan.

Suasana malam ini cukup riuh. Di kamar sebelah sedang terputar musik yang cukup keras. Sebenarnya, mereka sedikit terganggu. Hanya saja, mereka juga tidak bisa protes. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menutup pintu dan menebalkan kuping.

Mila dan Dinda sudah selesai makan. Mereka memulai sesi one night tell tanpa mencuci piring atau menaruhnya ke wastafel dulu. Piring kotor itu masih mereka biarkan di tempat tadi.

Mila sudah bersiap-siap untuk bercerita. Dinda juga sudah siap-siap untuk mendengarkan. Mereka sudah mematikan data ponsel sehingga tidak akan ada pesan-pesan yang akan mengganggu kegiatan mereka.

Mila memulai ceritanya, dan begini kisahnya.

***

“Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum ….”

“Salah. Kalau yang pakai ‘telah’ itu ayat (1), Mil. Kalau ayat (5) itu pakai ‘terbukti melakukan’. Ulang lagi.”

Mila menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Sejak pagi tadi ia mencoba menghafal pasal itu, tetapi masih gagal mengingatnya. Selalu saja ada yang tertukar dengan ayat (1) yang memang sangat mirip isinya dengan ayat (5). Dengan memejamkan mata, Mila kembali membaca pasal itu setelah meminta Wirda mengulangi soalnya lagi.

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, rumusan pasal 7B ayat (5) adalah …?”

Sembari memejamkan mata dan menggerak-gerakkan tagannya di samping, Mila menjawab, “Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.”¹

Setalah mengucapkan pasal itu, Mila mengembuskan napas. Ia merasa sedikit sesak napas setelah mengucapkan pasal itu dengan cepat, seperti seorang rapper.

Dengan setengah berani, Mila menunggu nilainya dari Wirda. Salah satu kebiasaan mereka–Mila dan teman-teman satu organisasinya—saat menghafal di waktu luang seperti ini adalah menyebutkan nilai dari jawaban tersebut. Sepuluh untuk jawaban benar, dan minus lima untuk jawaban salah.

“Sepuluh,” ucap Wirda sembari tersenyum.

“Akhirnya. Gereget banget gua.”

“Gantian. Sekarang giliran gua yang jawab,” ucap Wirda.

“Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, rumusan pasal 6A ayat (1) adalah …?”

Dengan segera dan sambil memejamkan mata, Wirda menjawab, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.”

Wirda menegaskan kalimatnya di akhir sebagai pertanda bahwa ia yakin jawabannya benar. Ia menatap Mila lekat-lekat, berharap gadis berseragam hijau kebiru-biruan itu mengucapkan “sepuluh”.

“Minus lima,” ujar Mila dengan nada mengejek. “Dengerin gua. Ini yang bener. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.”²

Hari ini adalah hari Jumat, jadwal mereka latihan. Mila mengikuti sebuah organisasi bernama 4 PILAR di SMA-nya. Dalam organisasi itu, mereka diharuskan menghafal seluruh pasal dalam UUD 1945 dengan benar dan tanpa kesalahan meskipun hanya kehilangan satu kata. Jangankan kehilangan satu kata, tertukar dengan kata yang maknanya sama saja tidak boleh. Mereka harus menghafalnya sama persis seperti yang tertulis dalam naskah UUD 1945.

Tidak hanya UUD 1945, mereka juga harus menghafal TAP MPR RI, pencipta lagu nasional, asal lagu daerah, asal pahlawan nasional, dan banyak lainnya. Setidaknya begitu yang Mila dengar ketika pertemuan pertama kali dalam organisasi itu.

Saat ini, Mila dan kawan-kawannya sedang berada di Lapau³ Ibu. Lapau Ibu adalah salah satu kantin di sekolahnya. Hanya saja, karena mereka memangil pemilik kantin itu dengan sebutan Ibu, jadi nama kantin itu menjadi “Lapau Ibu”.

“Gua laper. Makan dulu, yok,” ajak Nadia, salah satu anggota 4 PILAR juga.

Mereka semua setuju untuk makan lebih dulu, baru nanti melanjutkan kegiatannya: mengulangi hafalan sebelum diuji ketika jadwal latihan nanti. Mereka akan selalu diuji setiap pertemuan. Setiap pertemuan akan ada poinnya. Dan, mereka semua harus berusaha menjadi yang terbaik agar bisa menjadi tim inti yang akan bertanding di perlombaan nanti.

Tim inti hanya terdiri dari sepuluh orang, sedangkan mereka saat itu berjumlah tiga belas orang setelah seleksi alam selama beberapa bulan. Oleh sebab itu, agar masuk menjadi tim inti, mereka harus memberikan yang terbaik, dibuktikan dengan hafalan dan kecepatan mereka saat menekan bel selama latihan.

Meskipun berada dalam kompetisi, Mila dan teman-temannya tetap saling membantu dalam menghafal. Bagi mereka, kompetisi hanya berlaku saat mereka diuji. Selain saat itu, yang ada adalah persahabatan dan saling membantu.

Bersambung ….

¹ Dikutip sama persis dengan UUD 1945 pasal 7B ayat (5) dalam satu naskah, terbitan Sekretaris Jenderal MPR RI tahun 2016.

² Dikutip sama persis dengan UUD 1945 pasal 6A ayat (1) dalam satu naskah, terbitan Sekretaris Jenderal MPR RI tahun 2016.

³ Kedai dalam bahasa Minang.

Vianda Alshafaq, seseorang yang bukan siapa-siapa.

Editor: Fitri Fatimah

Leave a Reply