Judul : Hukuman
Oleh : Musyrifatun Darwanto
“Sejak kapan, Dik?” Wajah Imron merah padam, kedua tangannya terkepal.
Munawaroh sesenggukan dengan wajah menunduk, tak berani menatap wajah suaminya.
“Jawab, Dik!” Kali ini Imron melayangkan tinju pada dinding batu bata rumah mereka. Buku jarinya berdarah.
“Ma-af, Mas. A-aku khilaf .” Wanita yang duduk memeluk lutut itu akhirnya bersuara. Ia takut menjadi sasaran tinju Imron selanjutnya.
Imron menghela napas panjang, lalu mengembuskannya dengan kasar sebelum berlalu sambil membanting daun pintu.
Tangis Munawaroh kian menjadi-jadi. Ia menjerit sekuat tenaga, seolah menginginkan beban di dalam dadanya ikut lepas bersama suara teriakannya yang lantang.
“Aku istri yang bodoh! Bodoh!” Wanita itu memukul kepalanya sendiri berulang kali.
“Kalau saja aku tidak tergoda dengan Jamil, laki-laki sialan itu, tentu jalan hidupku tak akan pahit seperti ini.” Kali ini Munawaroh menjambak rambutnya sendiri, hingga beberapa helai lepas dan tersangkut di jari-jarinya.
Penyesalan memenuhi kepala dan dada Munawaroh. Kuncup bahagia yang diharapkannya akan mekar sempurna, ternyata berubah menjadi belati yang menusuk dirinya sendiri, berkali-kali.
Semua berawal saat Munawaroh tergoda rayuan Jamil, seorang duda tanpa anak.
Rasa sepi yang kerap kali menyelimuti Munawaroh, digunakan oleh setan untuk membuatnya tersesat pada cinta semu nan durjana. Munawaroh sadar dirinya tergelincir pada lembah nista, tetapi perhatian dan gombalan yang diberikan Jamil, mampu membuat wanita itu melayang, lupa akan dosa.
“Kamu tahu, kenapa abang menceraikan istri abang?” tanya Jamil suatu ketika, saat dua sejoli itu berpeluh keringat selesai mendaki puncak kenikmatan sesat, pada sebuah hotel kelas melati.
“Kenapa?” Munawaroh bergelayut manja pada lengan Jamil.
“Karena abang cintanya cuma sama kamu.”
Munawaroh melayang. Wanita itu terlalu bodoh, percaya saja pada gombalan buaya. Ia memungkiri sudut hatinya yang berbisik, bahwa mulut Jamil bisa saja begitu ringan mengatakan hal serupa kepada selain dirinya.
***
Sore itu, terlalu lelah setelah seharian melepas rindu dengan Jamil, Munawaroh ketiduran. Ia lupa, Imron sudah memberi kabar bahwa dirinya akan tiba di rumah selepas senja.
Seminggu di luar kota, lelaki itu pulang membawa segunung rindu untuk istrinya. Namun, hasrat yang menggebu dalam diri Imron seketika pudar, raib dimakan api cemburu yang menggebu.
Puluhan chat mesra antara Munawaroh dan Jamil terpampang nyata dalam layar gawai istrinya.
Saat sampai di depan rumah, Imron berkali-kali mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Suara azan Magrib memaksa Imron untuk memutar kenop, ternyata tak terkunci.
“Assalamualaikum, Sayang kamu di mana?”
Tak ada jawaban.
Imron masuk ke ruang tengah. Di sana, tampak Munawaroh tertidur di atas sofa, dengan televisi dalam kondisi menyala.
“Bangun, Sayang. Udah azan Magrib.” Imron menepuk pelan pipi merona sang istri. Lalu dengan gemas menciuminya berkali-kali.
Munawaroh yang teramat lelah, tak kunjung terbangun meski Imron berkali-kali mengecup pipi dan keningnya.
Gerakan Imron terhenti saat gawai yang tergeletak di dekat bawah sofa berdering. Diraihnya benda pipih itu, lalu membuka puluhan chat yang belum terbaca. Semuanya berasal dari satu nomor kontak bernama “Tukang Las”.
Mata Imron memanas membaca bait demi bait kalimat yang tertera di layar gawai. Chat mesum beserta foto mesra antara istrinya dengan seorang laki-laki, menumbuhkan gejolak api dalam dada laki-laki itu.
Diambilnya segayung air keran kamar mandi, lalu mengguyurkannya dengan kasar pada wajah Munawaroh yang masih terlelap.
“Astagfirullah .” Munawaroh gelagapan. Wanita itu begitu kaget sampai meloncat dari sofa.
Bertambah kaget saat melihat wajah Imron yang merah padam.
“Mas, ke-kenapa?” tanya Munawaroh ragu-ragu.
Sedetik kemudian, wanita itu tersadar dengan apa yang telah terjadi, saat melihat gawainya ada dalam genggaman Imron.
Dengan kasar, Imron menarik tangan Munawaroh menuju kamar. Wanita itu sesenggukan, antara takut dengan sikap Imron yang berubah 180 derajat, juga menyesali kebodohan serta kecerobohannya.
Selama lima tahun menikah, tak pernah sekali pun Imron berkata kasar atau bersuara dengan nada tinggi kepada Munawaroh. Meskipun laki-laki itu sering meninggalkan istrinya di rumah saat ada keperluan pekerjaan di luar kota, tetapi ia tak pernah luput memberi perhatian lewat pesan singkat dan juga video call.
Sayang, Munawaroh tidak cukup puas dengan itu.
***
“Kami serahkan semua keputusan kepada Nak Imron,” ucap Sodik, bapak Munawaroh, saat Imron mengadukan ulah istrinya.
Wajah lelaki tua itu menyiratkan kesedihan yang mendalam. Bulir-bulir air mata memenuhi kelopak matanya yang keriput.
Sementara Munawaroh, hanya duduk diam sambil terus terisak.
“Maafkan bapak yang gagal mendidik Munawaroh,” ucap Sodik sambil tertunduk. “Semenjak ditinggal mendiang ibunya, bapak berusaha keras untuk menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi Mumun, tapi sekuat apa pun bapak berusaha, tetap tak bisa menggantikan peran seorang ibu. Mungkin karena itu juga dia tumbuh menjadi anak yang kesepian dan kurang kuat pendirian. Sungguh, bapak menyesal, Imron napak minta maaf .”
Imron merengkuh bahu kurus mertuanya.
“Tak ada yang perlu Bapak sesali, ini semua bukan salah Bapak. Saya yakin, Bapak telah mendidik Mumun dengan baik. Sayalah yang bersalah, karena telah gagal mendidiknya sebagai istri,” ucap Imron.
“Kalau setelah ini, kamu ingin mengembalikan Mumun kepada Bapak, Bapak terima, Nak,” ucap Sodik dengan suara parau.
“Mumun akan tetap menjadi istri saya.” Imron berkata pelan.
Munawaroh yang mendengar kalimat Imron, menatap suaminya dengan wajah bertanya-tanya.
“Ya, saya tidak akan menceraikan kamu.” Imron seperti mengerti dengan kebingungan Munawaroh.
“Aku berjanji akan menjadi istri yang taat kepadamu, Mas. Aku nggak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Sungguh, aku janji, Mas.” Munawaroh bersimpuh di kaki Imron. Wanita itu bahagia sekaligus malu kepada suaminya sendiri.
“Tak perlu berjanji, buktikan saja.” Imron berkata sambil menatap lurus ke depan.
***
Setelah kejadian itu, Imron dan Munawaroh memang masih tinggal dalam satu atap. Namun, sikap dan kebiasaan mereka tak pernah sama hangat seperti dulu.
Tak pernah lagi terdengar canda tawa di antara pasangan suami-istri itu. Munawaroh memang tak kehilangan raga Imron, tapi ia kehilangan perhatian dan kasih sayang dari suaminya, dan itu lebih dari cukup membuat Munawaroh terus-menerus dililit rasa bersalah yang membuat dadanya sesak.
Pasangan suami-istri tapi bagaikan dua orang asing. Tak pernah lagi Imron menatap Munawaroh saat wanita itu berbicara kepadanya. Imron sengaja, mengabaikan Munawaroh seperti makhluk tak kasatmata.
“Cukup, Mas. Mau sampai kapan kamu seperti ini?”
Imron bergeming, pandangannya kosong.
Hati Munawaroh pedih, ia sadar bahwa Imron bersikap demikian karena ingin memberi hukuman kepadanya. Bulan-bulan pertama, wanita itu masih maklum dengan perlakuan Imron, ia sadar diri telah melukai hati suaminya itu.
Berbagai cara Munawaroh lakukan agar Imron kembali hangat dan mau memaafkan kesalahannya, tetapi lelaki itu tetap bergeming, memperlakukan istri bagai patung hidup.
“Maafkan aku, Mas.” Wanita muda itu meraih jemari suami di hadapannya, tetapi ditepis.
“Sudah hampir satu tahun Mas memperlakukanku seperti patung. Aku ini manusia, Mas. Aku istrimu!” Munawaroh berujar berapi-api.
“Kenapa kamu tidak menceraikan aku saja. Kenapa Mas?” Wanita itu kian histeris.
Imron tetap diam, lalu melangkah meninggalkan Munawaroh yang berkubang air mata serta pilu dalam dada. (*)
Indragiri hilir, 1 Agustus 2020
Musyrifatun, seorang ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luangnya dengan membaca dan menulis, karena melalui dua hal tersebut ia bisa menambah ilmu, wawasan, dan juga banyak teman. FB : Musyrifatun Darwanto.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata