Hujan yang Menahanmu di Sini

Hujan yang Menahanmu di Sini

Hujan yang Menahanmu di Sini

Oleh: Erien

 

Kamu tetap menemuiku setiap akhir pekan, meski Ibu tiada. Sempat kulihat wajah cemas dan khawatir dengan kesendirianku. Namun, aku meyakinkan bahwa semua baik-baik saja. Kini ada dua sepupu yang tinggal menemaniku. Mereka jauh lebih dewasa dan sudah bekerja.

“Pesan terakhir ibumu, jangan membiarkanmu sendirian.” Itu katamu saat aku bertanya kenapa begitu mencemaskanku. Sudah sebulan berlalu sejak kepergian Ibu. Mendengarmu menyebut wanita yang melahirkanku, seketika hati nelangsa. Mata mulai berkabut.

Besok ujian kelulusan, aku terbiasa belajar ditemani Ibu. Sekarang, tak ada lagi sosoknya. Meski terlihat kuat, nyatanya hatiku masih belum terbiasa.

Ponselmu berbunyi. Kamu sedikit menjauh. Kuperhatikan sosokmu yang sedang berbicara dengan seseorang di sana. Gurat wajah yang semakin jelas, beberapa rambut perak yang mencuat di antara rambut hitam yang tersisir rapi, juga urat-urat di lengan yang semakin menonjol. Baru kusadari tubuhmu sedikit kurus.

“Iya, aku pulang. Tunggu saja … jangan seperti itu. Dia juga sama. Kamu nggak kasihan, apa? Ngerti dikitlah!” Nada gusar terdengar jelas. Wajahmu juga tampak tegang. Sekilas sempat kamu melirikku, dan pandangan kita beradu. Kamu cepat membuang muka, seakan tak ingin aku mendengar semua.

Aku tahu siapa yang meneleponmu. Pasti istrimu di sana. Ibu dari kedua anak yang setiap hari ada di dekatmu. Aku memejamkan mata. Merasa hampa. Baru kurasakan cinta istimewa padamu, berharap sosokmu selalu ada di dekatku. Namun, harus kusadari bahwa orang-orang tercintamu di sana juga mengharapkan hal yang sama. Aku yang sendiri, bisa apa?

Pernah sekali kamu mengajakku ke rumah itu. Tepat seperti dugaanku, istrimu tidak menyukaiku. Begitu pula kedua anakmu di sana. Kita hanya sebentar, aku tahu kamu berusaha menjaga perasaan ini. Sebenarnya aku tidak peduli. Selama kamu menyayangi dan mencintaiku sepenuh hati, sudah cukup bagiku. Tak perlu selalu bersisian, karena sejatinya kita memang akan terpisah oleh keadaan.

Sambungan telepon sudah terputus. Kamu kembali duduk di hadapan, sambil menghela napas panjang. Menatapku tajam, lalu berkata, “Ditinggal dulu, nggak apa-apa, ya? Sabtu depan, kita jalan-jalan, selepas kau selesai ujian.”

Kali ini, entah kenapa, hatiku mendadak dipenuhi amarah. Rasanya kesal, karena posisiku selalu kalah oleh istri dan anakmu di sana. Di luar, cuaca tiba-tiba mendung. Langit berwarna hitam. Sewarna dengan hatiku yang kesal. Mata mulai berkabut, menahan emosi melihatmu bersiap pergi.

Jaket sudah kamu kenakan. Tangan kekarmu mengusap lembut kepalaku. Tanda pamit. Saat sosokmu beranjak mendekati pintu, tanganku bergerak menarik ujung jaket yang belum tertutup.

“Jangan pulang … di sini aja … temenin Kiara ….” Sedu sedan pecah dari bibirku. Gemuruh suara halilintar sudah terdengar, seiring isak tangisku. “Kiara sudah nggak punya siapa-siapa. Temenin Kiara ….” Tak pernah aku merasa sesedih ini. Tangisan ini seakan pernyataan dari hati, bahwa sesungguhnya aku membutuhkanmu.

Rengekan itu membuatmu berhenti, lalu berbalik dan memelukku yang sudah banjir air mata. Aku membalas dengan menyusupkan kepala di dadamu. Saat itu, aku tak mau kau pergi. Jika orang-orang yang mencintaimu di sana bisa membuatmu pulang, maka aku yang mencintaimu di sini, seharusnya bisa juga membuatmu tinggal. Semalam saja.

Hujan mulai turun. Suara titik air yang mengenai genteng rumah sudah mulai ramai terdengar. Bumi akan kembali basah. Akankah kebahagiaanku turun bersamaan dengan rintik ini?

Kudengar hela napas panjang. “Ya … jangan nangis. Kamu nggak akan pernah sendiri, Kiara.” Kata-katamu mengisyaratkan kamu akan tinggal menemaniku. Sedih berganti. Hatiku berpelangi.

“Lagian di luar sudah hujan. Jas hujan ketinggalan. Ya, sudahlah. Tidur sini aja,” katamu sambil tersenyum.

Aku terkekeh sambil mengusap sisa air mata. Kamu melepas kembali jaketmu. Lalu menarikku ke halaman depan. Seketika aku merasa deja vu.

“Ayo, hujan-hujanan kayak dulu waktu kamu masih kecil.” Ajakan itu membuatku tertawa. Kamu lupa telah berjanji untuk tidak mengajakku main hujan lagi.

Kita lalu berdiri di tengah guyuran air penuh berkah itu. Hanya saja, kali ini tidak ada Ibu yang akan memarahi kita. Kamu mengajakku mengirim doa untuknya. Untuk Ibu yang selalu jadi yang kedua. Kemudian kita menangis bersama. Kuharap semua kesedihan tersapu habis oleh aliran air hujan, seiring tangis yang tersamarkan lelehan airnya.

Kisah sedih itu kukenang dengan senyuman. Hujan telah menahanmu di sini, di rumah tempat aku dibesarkan, hanya untukku.

***

Sejenak aku tersadar dari lamunan, saat ketiga bocah lelaki itu berteriak memanggilku.

“Ibu! Ayo hujan-hujanan!”

Aku hanya tersenyum dan menolak. Kusetel lagu kenangan bersamamu, mengiringi tarian ketiga bocah itu. Tiba-tiba ada aroma cokelat panas kesukaanku, diiringi tangan yang memelukku dari belakang.

“Hm … sedang hujan, setel lagu itu. Sedang kangen, ya?” tanya Mas Bian, suamiku.

Aku berbalik lalu memeluk pria yang menggantikanmu menjagaku sejak sepuluh tahun lalu.

“Iya … kangen almarhum Ayah.” (*)

Kotabaru, 13 Mei 2022

Erien. Sibuk dengan anak bukan berarti melupakan olah otak. Menulis adalah salah satunya.

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply