Hujan di Hari Rabu

Hujan di Hari Rabu

Hujan di Hari Rabu

Oleh: Hertiya

Editor: Vianda Alshafaq

 

Bibir pucat itu tampak bergetar. Matanya melirik ke kiri dan kanan. Ia memeluk tubuhnya sendiri yang kedinginan. Tatapannya menerobos deras hujan, berharap ada seseorang di sana. Namun, untuk kesekian kalinya dia harus mendesah lelah. Tubuhnya yang kurus terlonjak karena melihat ada kilat di langit yang pucat. Suara petir berhasil membuatnya terpejam ketakutan.

“Ibu ….” Suaranya melemah.

*

“Panggilan kepada seluruh siswa-siswi kelas XII untuk berkumpul di lapangan!”

Pengumuman dari pengeras suara itu membuat seluruh siswa SMA Putra Bangsa mendadak kaget. Namun, hal itu tak berpengaruh bagi Gita. Ia terlampau santai oleh suara guru BK tersebut.

Seperti siswa lain, dia segera pergi ke tempat yang diperintahkan. Siswa kelas XII angkatannya cukup banyak, ada sekitar dua ratus sebelas siswa. Di lapangan sana sudah ada kepala sekolah dan dewan guru lainnya. Semua tidak tahu apa yang akan terjadi. Gita masuk barisan ketiga. Di sebelah kirinya ada beberapa teman kelas yang berbaris. Kemudian, dia menoleh ke kanan. Matanya langsung membulat.

“Ale?” Nada suaranya terkejut tertahan. Pemuda berambut gondrong seleher itu hanya tersenyum menampakkan giginya. Keduanya tak banyak bicara, fokus dengan suara mikrofon yang terdengar sedang diposisikan oleh kepala sekolah.

“Baiklah, Anak-anak. Hari ini saya akan memberi kabar tentang ….”

“Tadi pagi aku ke rumah kamu, tapi udah sepi,” bisik Ale. Gita berhasil menoleh dengan perasaan mawas.

“Pak Bambang lagi pengumuman. Kamu bisa diem dulu, gak?”

Seketika pemuda itu terdiam.

“Baik. Pemenang lomba menulis puisi tahun ini diraih oleh ….” Pak Bambang membuka amplop putih itu, lalu menyebutkan salah satu siswa berprestasi di sekolahnya. “Selamat kepada Aldebaran Rasyid kelas XII IPS 1.”

Gita mengedipkan matanya berkali-kali. Dia kembali menoleh ke arah pemuda berhidung mancung itu. “Le, itu nama kamu disebut. Kamu pemenangnya, Le,” ucap Gita senang.

Ale hanya terdiam. Dia enggan menerima. Namun, suara kepala sekolah yang terus memanggil namanya berhasil menggerakkan kaki itu ke depan lapangan sana. Ekspresi pemuda tujuh belas tahun itu biasa saja. Tidak seperti sang sahabat yang tersenyum penuh kegembiraan. Bagi Ale, hal ini tak perlu dia terima. Dia mengirimkan puisi itu hanya untuk menuangkan perasaannya saja.

Setelah pengumuman pemenang lomba menulis puisi, ada pengumuman mengenai acara kelulusan. Beberapa siswa ada yang menyimak dengan serius dan tidak. Ale kembali ke barisannya. Gita tampak berseri-seri melihat pemuda itu. Namun, sang juara masih memasang wajah dengan ekspresi yang benar-benar datar.

Ada pertanyaan dalam benak Gita. Namun, melihat Ale yang masih terdiam, dia urung menanyakannya.

Pulang sekolah, Gita tampak sedang duduk di halte sekolah. Dia menunggu angkot sambil terus memainkan ponselnya. “Mau pulang bareng?” tanya seseorang.

Gadis dengan bulu mata yang lentik itu menoleh ke arah suara. “Ale?” Gita bangkit menghampiri Ale yang mematikan mesin motornya.

“Yuk, pulang bareng!” ajaknya.

Gita melongo mendengar ajakan sahabatnya. “Tumben. Ada apa?” tanya gadis itu sambil memicingkan matanya.

“Kok, tumben? Mau aku traktir gak, nih?”

Keduanya tertawa, lalu Gita segera naik ke motor Vespa pemuda pencinta puisi itu, lalu pulang bersama.

Di Jalan Dewi Sartika, Ale menambah kecepatan Vespa-nya. Hal itu membuat Gita terkejut dan refleks memegang pundak pemuda itu, lalu memukulnya. “Jangan ngebut-ngebut, Le. Mau bikin aku jantungan?”

“Mau bikin kamu biar meluk aku!” kata Ale sedikit keras.

Gita cemberut. Dia tahu, ucapan pemuda yang kerap kali menyukai buku-buku sastra itu hanyalah sebuah candaan. Ada harapan dalam hati Gita yang paling dalam. Namun, status persahabatan mereka membuatnya harus mengubur pengharapan yang lebih itu.

Ale menghentikan sepeda motornya tepat di pinggir trotoar. “Kita makan dulu,” ucapnya.

Gita mengikuti langkah sahabatnya. Mereka memilih untuk makan batagor favorit yang biasa dipesan saat pulang sekolah. Ale memesan dua porsi batagor seperti biasa. Mang Ujang, penjual salah satu jajanan khas Kota Kembang itu, dengan sigap menyiapkan pesanan Ale dan Gita.

Setelah ada di depan mata, Gita segera menyuap batagor dengan lahap. Hal itu membuat Ale tertawa melihat cara makan Gita yang seperti anak kecil. Ada saus kacang yang terdapat di sudut bibir merah muda gadis berambut sepinggang itu. Ale menatap lekat Gita, jemarinya bergerak melap saus kacang di sudut bibir sahabatnya.

Gita terkejut dengan perlakuan Ale. Sejenak, mereka saling tatap, dalam. Ada sebuah pengungkapan dari hati masing-masing yang tak bisa diucapkan lewat mulut. “Jangan pergi, Le,” ucap Gita pelan.

Ale menegang. Hatinya seolah-olah diremas. Dia merasa bersalah mendengar permintaan Gita. “Gak akan,” ucapnya menggeleng. “Aku selalu di sini,” lanjutnya.

“Bohong!” sela Gita.

Tiba-tiba, hujan pun turun. Gita panik, dia segera berlari mencari tempat yang teduh. Warung Mang Ujang tak cukup menjadi tempat mereka untuk berteduh. Semakin Gita mencari tempat berteduh, hujan semakin turun dengan deras. Ale pun meraih lengan Gita.

Wajahnya yang khas mojang Kota Kembang, tampak cantik saat diguyur air hujan. “Biarin hujan jatuh di tubuh kita,” ujar Ale, “aku mau kamu bisa rasain hujan, Ta.”

Gita menggeleng. “Aku gak bisa, Le. Aku–”

“Aku gak akan ninggalin kamu, Gita,” pangkas Ale, yakin.

Namun, lagi-lagi Gita menggeleng. Keyakinan bahwa Ale akan meninggalkannya itu sudah jelas dia rasakan sejak satu pekan lalu. Akan tetapi, Gita berusaha menghalau itu semua walau sebenarnya hal itu benar akan terjadi.

Tiba-tiba Ale memeluk Gita. Dia tahu, ini tak akan cukup membuat hati gadis itu tenang. Ketakutan yang ia alami tak akan bisa diusir hanya dengan pelukan di bawah derasnya air hujan.

*

Pandangan gadis yang bibirnya pucat itu kembali ke situasi saat ini. Ingatannya sudah berpendar ke masa di mana sosok Ale memeluk tubuh kurusnya itu untuk terakhir kali.

“Hujan kala itu menyakitkan, Le. Seandainya kamu tahu, perasaanku saat itu. Lebih dari kata sakit, Le. Aku tidak suka hujan. Ibu pergi di saat hujan, begitu juga dengan kamu, Ale. Kamu pergi tanpa alasan saat hujan turun di hari Rabu, meninggalkan aku dengan sejuta rindu.”(*)

Kota Hujan, 15 Juli 2021

Hertiya. Perempuan pencinta kentang, cokelat, minuman dingin, kacang-kacangan, dan makanan pedas.

Leave a Reply