Hujan dan Rindu

Hujan dan Rindu

Hujan dan Rindu
Oleh : Ismail Mony 

Pagi itu, langit tampak hitam. Safik dan Mila berlari menuju sebuah gubuk kecil yang terletak di areal perkebunan milik Pak Sofyan. Mereka lebih suka menyendiri. Mengasingkan diri jauh dari anak-anak seusia mereka. Bermain berdua sudah menjadi kebiasaan meskipun itu dilakukan di tempat sepi. Kemana pun mereka pergi harusnya berdua, ya, itu permintaan Mila, adik kesayangan Safik yang baru berumur tujuh tahun. Sedangkan Safik, dua tahun di atas usia Mila, kurang lebih sembilan tahun. Dua bocah dekil dengan baju lusuh itu memilih menghindar dari setiap ejekkan anak-anak yang lain. Terutama Mila, ia tak kuasa menahan tangis kesalnya bila harus berhadapan dengan anak-anak yang suka mengatai mereka bau dan kotor. Lebih lagi, jika ia melihat anak-anak perempuan bermain di halaman rumah mereka dengan boneka cantik atau naik sepeda berkeliling halaman. Betapa hatinya remuk, iri melihat kebahagiaan yang mereka dapatkan dari orang tua. Air mata dan rasa minder akan ia tumpahkan dalam pelukkan sang kakak, Safik. Kini, gubuk kebun Pak Sofyan, menjadi tempat perlindungan mereka tanpa sepengetahuan Beliau. Ketiadaan rumah sebagai tempat tinggal, dan orang-orang dekat memaksa mereka terlunta-lunta di jalanan. Hanya satu tempat untuk mereka bermain mengisi hari. Di bawah rumpun bambu dekat sungai di belakang kampung. Tanah pasir yang gembur menjadi permainan paforit mereka berdua. Kejar-kejaran di sekitar sungai sambil membawa gumpalan tanah pasir sebagai peluru. Lempar-melempar, berlari, bersembunyi di balik pepohonan.Akan terdengar gelak tawa bila salah satu di antara mereka menyerah. Kemudian membangun rumah-rumah impian mereka dari tanah pasir, setelah itu akan ada perebutan dahsyat untuk saling menghancurkan bangunan itu dengan tawa riang di akhir kekalahan. Kebahagiaan yang dapat merekka rasakan sendiri tanpa kawan ataupun seseorang yang berarti bagi mereka. Dan jika hari sudah petang, gubuk kebun Pak Sofyan menjadi tempat kembali ke peraduan.

Hujan pun berguyur turun dari langit yang pekat. Kedua bocah itu basah kuyup setelah melalui perjalanan cukup panjang menuju kebun Pak Sofyan. Keinginan untuk terasing begitu kuat hingga mampu melenyapkan rasa takut pada kesendirian dan kesepian.

“Kaka, Ade rasa dingin,” keluh Mila, saat mereka telah sampai di gubuk kebun. Kedua tangan mungil memeluk tubuhnya yang gemetar kedinginan. Dari wajah tampak kelesuan dan terlihat pucat. Safik panik dan bingung. Entah apa yang bisa diperbuat.

“Mila, Mila sabar e, nanati kaka biking api. Biar katong bisa ba asar supaya seng rasa dingin.”

Tak lama kemudian, api berkobar. Kehangatan merambat perlahan-lahan. Mila mendekat dan duduk di samping kakaknya.

“Bagimana? Su seng dingin lai toh?” ujar Safik, sembari meletakkan kedua telapak tangan di atas api kemudian mengusapnya ke wajah Mila.

Mila mengangguk.

“Tapi, Ade lapar Kaka,” ucapnya kemudian.

Safik, memperhatikan Mila yang tengah menggeliat menahan lilitan perutnya penuh iba. Ia mendekapnya erat. Sementara itu, hujan masih terus mengguyuri gubuk kecil itu tanpa peduli pada kedua bocah kurus yang berlindung di bawahnya. Sembil mengelus rambut Mila, Safik berpikir keras. Memutar otak demi mendapatkan makanan untuk mereka. Sejak tadi perut  belum juga terisi oleh sesuatu apapun. Matanya melayang keluar gubuk. Di kebun Pak Sofyan, memang tersedia banyak ubi tetapi, sudah beberapa kali ia mengambilnya dan sebanyak itu pula, terdengar Pak Sofyan menyumpahi serta memaki-maki. Selain itu, ucapan Ustaz Nirwan, guru ngaji mereka juga terngiang di telinganya.

“Kalu katong pancuri par katong pung hidop, maka besok-besok katong cuma hidop par pancuri saja.”

Ungkapan nasihat itu terdengar bagai belati yang menghujam dada Safik, tanpa henti. Seolah-olah, Ustaz Nirwan sedang berdiri di sampingnya dan membisikan kalimat bermakna tersebut padanya. Lain sisi, keadaan Mila membentur pikirannya. Tentang adik kesayangan satu-satunya yang kini sedang merintih kelaparan. Haruskah ia menepis nasihat Ustad Nirwan, dan cacian Pak Sofyan? Desakkan-desakkan itu terus menggedor jiwa.

“Kaka…,” lirih Mila.

Sekejap pikiran-pikiran itu buyar. Lirih panggilan Mila, membangunkan Safik, dari lamunan sesaat. Tanpa  pikir panjang ia langsung menerobos hujan dan menyelinap masuk dalam hamparan kebun ubi Pak Sofyan. Ya, meski terselip ketakutan dan keraguan. Langkahnya mengendap-endap dengan sorot mata tajam dan liar. Tak ubahnya seorang bocah perampok berpengalaman sedang mengintai buruan yang lepas. Sekuat tenaga ia berusaha mengambil satu pohon ubi dengan cepat dan akan segera kembali untuk merebusnya.

“Woe! Sapa itu?”

Teriak seorang lelaki paruh baya tiba-tiba lewat di sekitar kebun Pak sofyan. Ia melihat pohon ubi bergerak-gerak, tercerabut dan berserakan. Tentunya itu bukan Pak Sofyan, pemilik kebun. Ia segera masuk ke dalam memastikan siapa pelakunya. Safik, cepat-cepat lari mencari tempat persembunyian di bawah pohon-pohon ubi yang rimbun. Namun, naas lelaki berkumis tebal dengan wajah geram berhasil menemukan dan menangkapnya. Safik, akhirnya diseret bagai binatang. Sangat kajam. Mila menangis menyaksikan kakakya diperlakukan seperti itu. Namun, Safik memberi isyarat agar Mila tetap berada di dalam gubuk.

Rintik hujan masih deras menimpa Bumi dan membentuk genangan-genangan di permukaan tanah. Safik, terus diseret oleh lelaki bermantel coklat melintasi becek menuju perkampungan. Ia bermaksud membawa Safik ke rumah Pak Sofyan, serta membeberkan kejadian yang baru saja terjadi. Tubuh Safik bermandi lumpur, kotor, perih dan sakit.

“Dasar ana seng tau malu! Os pung Mama deng Bapa seng ajar Ose kah? Kacil-kacil lai su balajar pancuri! Nanti basar mau jadi apa? Hah!”

Ucapan kasar seperti itu berkali-kali disemprot oleh lelaki yang menyeret Safik, suaranya keras dan menggelegar. Kaki dan tangan Safik lecet dan luka-luka. Darah segar mengalir dan menyatu bersama tetesan hujan yang menempel di kulitnya. Tampak di hadapannya beberapa rumah mulai membuka pintu atau jendela. Menyaksikan tontonan tragis yang dibuat oleh lelaki bermantel hujan coklat.

“Dia kanapa Bapa Yus?” tanya seorang warga, seraya menggulung sarung yang disematkan dengan erat ke perutnya yang buncit.

“Bapa Mat, ana ini dia pancuri kasbi di Bapa Ofan, pung kabong. Beta tangkap dia ada cabu kasbi di sana,” seloroh Pak Yus.

“Loko pukul dia saja, ajar biasa par kacil-kacil lai su balajar pancuri,” tandas Pak Amat, semakin memperkeruh keadaan.

Safik, merasa diperlakukan serupa binatang. Namun, ia juga tak dapat berbuat apa-apa. Ikhlas. Dari sepasang matanya terbit butiran bening yang disamarkan hujan. Tak ada yang dapat mengerti ungkapan makna air matanya. Terbesit dari hati, ia memang salah tetapi, semua ini ia lakukan dengan terpaksa. Atas dasar kasih sayang pada seorang adik perempuan yang lapar. Ia relakan segala beban menimpanya, sekalipun nyawa harus menjadi taruhan, dan Tuhan murka padanya.

“Beta mau bawa ana ini ka rumah Bapa Sofyan, biar antua yang kasi hukuman yang pas par ana tar tau malu ini,” tukas Pak Yus.

Hujan tak jua reda. Safik, terlihat sangat lemah setelah diseret sepanjang jalan dengan perut kosong. Tubuhnya mulai gemetar, bukan takut menghadap Pak Sofyan. Namun, akibat ia kedinginan. Tatapannya kosong, pikiran itu melambung jauh pada Mila, yang sendirian di gubuk, oh, ia pasti takut jika tak ditemani Safik.

Sampainya di halaman rumah Pak Sofyan. Pak Yus, lelaki berkumis tebal dan ganas itu memanggil-manggil Pak Sofyan dengan nada suara yang dibuat agak panik. Seirama telapak tangannya yang lebar sesekali melayang dan mendarat di pipi Safik, wajah lugu dan polos Safik, tak kuasa menahan sakit. Ia meronta dan menangis. Namun tangan kekar Pak Yus, terlalu kuat mencengkeram tangannya.

Mendengar suara keributan dan kata-kata bernada keras di depan rumahnya, Pak Sofyan keluar dan mendapati Pak Yus, sedang berdiri sambil menggenggam tangan Safik.

“Ada apa ini Bapa Yus? Kanapa baribut deng ana ini? Deng kanapa bawa dia kamari?” tanya Pak Sofyan dengan nada bingung.

“Bagini Bapa Ofan, tadi Beta pulang dari dusun, Beta sangaja lewat Bapa Ofan pung kabong dan Beta lia ada orang cabu Bapa pung kasbi, beta panggel Bapa seng manyao. Akhirnya Beta maso dan Beta dapa ana ini di dalam kabong. Ya, sudah, beta bawa dia kamari supaya Bapa Ofan yang urus dia,” celoteh Pak Yus, membeberkan alur kejadian.

“Oh … jadi ini, orang yang selama ini sering ambel beta pung hasil di kabong ni kah? Oke, Bapa Yus, kastinggal nanti Beta yang urus dia, tarimakasih lai Bapa. Bapa boleh pulang.”

Sementara itu, lelaki berkumis tebal sudah menghilang di kejauhan. Ibu Lastri, istri Pak Sofyan turut hadir bersama mereka. Kini mata Pak Sofyan tertuju ke arah Safik, tatapan itu menyusuri sekujur tubuh Safik yang kotor dan basah kuyup. Serta luka dan lebam yang terlukis di wajahnya akibat tamparan tangan Pak Yus.

“Safik,” ucap Pak Sofyan lembut.

“Saya Bapa,” jawab Safik lirih. tertunduk. Ia menangis.

“Coba Safik, jelaskan par Bapa, kanapa Safik musti ambel Bapa pung kasbi?” Pak Sofyan melanjutkan.

Safik masih tunduk dan diam. Sesekali ia menyeka air mata dengan punggung tangannya.

“Safik, tolong jawab Bapa, Nak,” imbuh Bu Lastri yang tak kalah lembutnya dengan Pak Sofyan. Ia membelai rambut Safik yang basah dan acak-acakan.

“Safik, minta maaf Bapa Ofan, Mama Asti. Safik ambe itu karna Mila lapar,” jawab Safik, singkat.

Mendengar jawaban Safik, Pak Sofyan dan Bu Lastri terkesima. Iba saat tahu Safik dan adiknya Mila sangatlah menderita. Mereka terlunta setelah Ibu mereka meninggal dunia dan Ayah mereka pergi entah kemana bersama istri barunya. Rumah satu-satunya sudah dijual oleh ayah mereka. Tentu situasi itu akan sangat terasa berat oleh anak seusia mereka. Tak ada yang peduli. Mereka terpaksa berehenti sekolah karena tak ada yang membiayai. Ibu Lastri tersentuh dan turut merasakan penderitaan yang merekka alami. Raut wajahnya berubah pilu. Tak terasa, air mata keibuan itu menetes. Membayangkan jika seandainya kisah ini berlaku pada keluarganya. Ia tak dapat membayangkan nasib anak-anaknya kelak.

“Jadi, Safik deng Mila balom makan?”

Safik mengangguk pelan.

“Kalu bagitu, Safik maso mandi, baganti pakeang tu, nanti, Mama Asti ambel makanang e,” ajak Bu Lastri.

“Tarimakasih Mama Asti, tapi jang Safik mandi lai, kasiang, Mila ada tunggu Beta sandiri.”

“Iyo, sudah. Safik tunggu di sini e.”

Bu Lastri bergegas cepat menyiapkan makanan dan beberapa potong pakaian bekas milik anaknya. Sedangkan Pak Sofyan, duduk di samping Safik, membersihkan bercak becek yang menempel di wajahnya seraya menasihati dan membimbing Safik untuk tetap menjadi kakak yang berarti untuk Mila. Anggaplah, ia menggantikan posisi ayah bagi Mila.

Beberapa menit kemudian Bu Lastri, datang membawa dua bungkusan nasi dan lauk yang diletakkan dalam kresek hitam, juga baju yang layak untuk dipakai. Safik tak ingin berlama-lama, ia khawatir pada kondisi adiknya yang kini sendirian di gubuk. Ia kemudian berpamitan dan pergi.

Safik kembali menerobos hujan, berlari sepanjang jalan menuju gubuk kecil di kebun Pak Sofyan. Ia sungguh khawatir pada Mila, yang ditinggal sejak tadi. Bayangan wajah Mila yang pucat terus terpampang di ingatannya. Larinya semakin dipercepat. Namun, di pertengahan jalan, ia menemukan Mila, terbaring lemas ditimpa hujan deras.

“Ade, ade kanapa di sini? Bangun ade..”

Mila, membuka mata perlahan. Sungguh terasa berat dan lemah. Kepalanya berada di pangkuan Safik, yang terlihat sangat cemas.

“Tadi kaka suru ade dudu di rumah kabong sampe kaka bale. Kanapa ade kaluar?”

Safik memeluk tubuh adiknya dengan deraian air mata tak kuat dibendung.

“Kaka, Mila taku sandiri di sana,” suara Mila, hampir tak bisa terdengar.

“Iyo, tapi kaka su janji kaka pasti bale…. Sudah, ini kaka ada bawa makanang, mari kaka gendong. Katong bale ka rumah kabong e.”

Meski lelah menyelimuti tubuhnya, Safik berusaha sekuat tenaga memapah Mila kembali ke gubug. Setibanya di sana, ia segera ganti baju, begitu juga dengan Mila. Rasa bersyukur menyelimuti ke dua bocah itu, bahwa masih ada yang peduli terdahap mereka. Api yang tadinya sudah padam ia nyalakan kembali untuk memberi kehangatan. Selepas itu, barulah mereka makan dengan lahap.

“Itu Kaka pung muka kanapa?” tanya Mila, saat melihat lebam pada wajah Safik.

“Oh, ini tadi Kaka jatoh,”

“Bukang karna tadi Kaka dapa tarek dari Om itu? Mila lia sandiri Om itu tarek Kaka paleng kuat, sampe Mila taku, Mila manangis.”

“Seng… bukang karna itu. Kaka bae-bae saja ni.”

Mila, mengalihkan pandangannya keluar gubuk, rintik hujan kian menetes menerpa daun-daun. Basah. Usianya masih kecil. Namun, keadaan telah memberi pelajaran berharga bagi dirinya tentang arti kehadiran Ibu dan Ayah. Betapa hujan saat ini dan kejadian demi kejadian yang dialami selama ketiadaan orang tua mereka, membuatnya rindu. Kerinduan pada mereka yang amat berarti dalam hidup. Rindu pada dekapan hangat Ayah, rindu pada belaian sayang Ibu. Kenapa? Takdir derita ini harus mereka tanggung sendiri di saat usia mereka belum sanggup menjalani?

Tanpa terasa air mata Mila, mengalir turun ke pipi mungilnya yang manis. Air mata kerinduan yang begitu dalam. Luapan rindu yang tak mampu dibendung. Sekian lama ia melalang bersama kerinduan itu. Sampai kapan rindu ini akan berakhir? Entahlah. Mungkin untuk selamanya.

“Kaka, kalu Mama masih hidop, barangkali katong seng akan tabuang macam bagini. Kaka, Mila paleng inga Mama. Apa tempo Papa pulang lia katong?”

Dua bocah berbalut rindu. Berpelukan. Diiringi air mata pilu. Serupa hujan dan rindu berpadu satu.*

Ambon, Maluku, 1 Maret 2019.

 

Ismail Mony, pecinta sastra, pegiat pena, lahir di Ambon, 17 Maret 1987.

Fb : Ismail Mony

Ig : @ismail_mony

WA : 082399475421

Wattpad : @ismail_mony

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata