Hujan dan Kenangan

Hujan dan Kenangan

Hujan dan Kenangan

Oleh: Jemynarsyh

 

Orang-orang berlari mencari tempat teduh, menghindari hujan yang kian lama bertambah deras. Awan yang semula cerah kini kelabu seperti wajah-wajah yang merindu karena ditinggal kekasih. Shanon bergegas duduk di halte sembari bersedekap memeluk tubuhnya yang dingin.

Sejak awal Mei, hujan sering kali datang, kadang dari pagi sampai siang lanjut malam. Kedatangannya yang beruntun membuat udara sekitar kian dingin dan beberapa jalanan tergenang. Mungkin untuk sebagian orang, hujan-hujan begini lebih nyaman tidur, bergumul dengan selimut, dan menabur mimpi. Tetapi tidak untuk Shanon. Gadis yang rambutnya diikat ekor kuda itu baru saja pulang kerja. Sesekali giginya gemeletuk menahan gigil, ia lupa membawa jaket sedang baju yang dipakainya tidak begitu tebal.

Tiga puluh menit berlalu hujan yang semula deras kini tinggal gerimis. Satu persatu orang beranjak pergi meninggalkan halte dan bergegas pulang agar segera tiba di rumah, bertemu orang tersayang sembari menikmati teh. Sedang Shanon masih menatap lamat pada genangan air di tepi halte. Pantulan wajahnya yang nampak kuyu terlihat jelas di sana. Lingkar hitam di bawah mata dan sorot mata yang sendu membuatnya nampak payah sebab mencoba move on dari mantan kekasih.

Dua Minggu lalu, Shanon baru saja putus dengan Randi. Lelaki yang sudah menjadi pacarnya dua tahun itu akhirnya menyerah karena tak kunjung dapat restu dari sang ibu. Sebetulnya Shanon yang lelah dengan hubungan ini sehingga meminta Randi untuk berhenti. Dan kini saat semuanya selesai seperti apa  yang ia harapkan, perasaannya justru makin kacau dan kosong.

Shanon masih ingat ketika dulu ia berkunjung ke rumah sang pacar. Silaturahmi yang ia harapkan nyatanya tak sesuai dengan apa yang terjadi. Seperti interviu kerja, ibu Randi duduk di sofa single menatap lekat Shanon. Sedang Shanon yang ditatap seperti itu hanya bisa tersenyum kaku dengan kedua tangannya saling menggenggam erat menguatkan. Sungguh suasana menjadi canggung dan tak nyaman.

“Shanon, kerja di mana?” tanya ibu Randi.

“Di toko, sebagai kasir,” jawab Shanon, seraya menghela napas.

Wanita yang tak lagi muda itu mengangguk lalu bertanya, “Kalau orang tua kamu, punya usaha apa?”

Dengan suara tercekat Shanon menjawab, “Petani.”

Maryam, ibu Randi, tertawa miris mendengar jawaban Shanon. “Kasihan Randi, kalau jadi sama kamu!” ucap Maryam seraya beranjak dari kursi. Meninggalkan Shanon seorang diri meresapi ucapannya yang menusuk hati menyesakkan dada.

Shanon tahu, banyaknya perbedaan membuatnya tersisih dari daftar calon menantu. Perbedaan ekonomi yang cukup jauh salah satunya. Tanpa menunggu Randi datang dari toko, Shanon bergegas pergi meninggalkan rumah.

Di taman kota yang tak begitu ramai, Shanon duduk di kursi dekat pohon. Udara yang sejuk dan sepoi angin yang berembus pelan membuat sore itu begitu menenangkan. Randi datang setelah Shanon menghubunginya. Mereka menikmati sore dalam diam.

Shanon termenung memikirkan banyak hal. Sejak kejadian itu hubungannya dengan Randi kian merenggang. Shanon sibuk menata perasaan yang kacau dan Randi yang memohon agar Shanon,  bisa bersabar lagi sampai ia mendapat restu dari sang ibu.

“Shanon… kasih aku waktu sedikit lagi ya, untuk bujuk Mama,” pinta Randi, menatap Shanon yang sedari tadi terdiam.

Gadis yang memakai sweter hijau itu menghela napas panjang. Berharap bisa melegakan dada yang serasa terimpit batu, sesak. Lalu ia menatap Randi yang nampak khawatir dan berucap, “Kenapa, sih, harus ngulur waktu dan terus berusaha kalau sudah tahu akhirnya seperti apa? Sia-sia, Ran.”

Bahu Randi melemas mendengar penuturan Shanon, diusap kasar wajahnya menahan gejolak emosi yang siap tumpah ke permukaan. Ia yang  mati-matian berjuang dan memohon. Tetapi orang yang sedang ia perjuangkan memilih untuk berhenti.

Sejak kejadian itu, hujan bagi Shanon seperti alarm mengenang kenangan. Sekelebat kisah lalu bermunculan membuat dada Shanon nyeri. Berulang kali ia berucap, “Tidak apa-apa, Shanon. Tidak apa-apa. Semuanya akan kembali baik,” sembari menepuk dadanya agar tenang dan baik-baik saja.(*)

Palangka Raya, 15 Mei 2022

 

Jemynarsyh yang masih belajar literasi dan berharap suatu saat nanti bisa menerbitkan novel.

Editor: Inu Yana

Sumber gambar: https://pin.it/4bzFHdI

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply