Hujan
Oleh: Aila Calestyn
Pukul 22.03. Lelaki itu kembali membelah hujan. Melewati lorong sebelah kanan, ia akan berhenti tepat di depan sebuah tong sampah yang isinya luber, berdiam diri di sana selama lima menit, sebelum kembali melangkahkan kaki setelah menarik lebih dalam topi petnya entah untuk melindungi wajah dari terpaan hujan atau dari tatapan orang-orang yang berpapasan dengannya dan berusaha mengamati secara sekilas.
Setelah lelaki itu menghilang dari pandangan, menyisakan rintikan air yang menghasilkan bunyi tak-tak-tak ketika jatuh mengenai penutup tong sampah yang bersandar pada tembok berlumut di belakangnya, kau menutup gorden, menulis pada buku catatanmu tentang apa yang dikenakan lelaki itu. Celana olahraga abu-abu, jaket bomber army, topi hitam, dan tentu saja tanpa payung. Hampir tak ada yang berbeda, kecuali gelang kepang berwarna merah yang tak lagi melingkar di pergelangan tangannya.
Sebetulnya, kau tak tahu kenapa selama tiga bulan belakangan ini kebiasaan mengamati lelaki itu dari balik jendela kamarmu muncul. Pertama melihatnya adalah malam ketika kau keluar dari sebuah taksi. Terlalu malam untukmu berada di luar, tapi kau memiliki urusan yang memaksamu meninggalkan kamar pada pukul 21.17, dan selesai tiga puluh empat menit kemudian, beberapa menit setelah hujan turun. Menunggu hujan reda, yang terjadi malah sebaliknya, sehingga kau memutuskan pulang berkendara taksi—setelah berhasil menolak tawaran untuk bermalam atau menunggu hujan yang entah kapan akan mereda. Saat itulah, ketika beberapa langkah lagi sampai di muka rumah, kau terdiam sejenak kala pandanganmu tanpa sengaja menangkap sosok lelaki yang tengah berdiri menghadap tong sampah di gang dekat rumahmu. Dan kau mendapati lelaki itu pada malam berikutnya, di tempat yang sama dan dalam posisi yang sama, saat hendak merapatkan gorden yang berkibar-kibar dimainkan angin.
Kau membalik lembar buku catatanmu, membuat sebuah tanda tanya besar yang memenuhi satu halamannya, menebalkannya berkali-kali sambil melempar pertanyaan kepada dirimu sendiri.
Kenapa?
Penasaran? Tidak juga. Walau sering mengamatinya, kau tidak merasa penasaran apa alasan lelaki itu selalu melewati jalur yang sama pada waktu yang sama, terlebih hanya pada saat hujan, serta kenapa ia selalu berdiri di depan tong sampah selama lima menit.
Jatuh cinta? Kau mengernyit. Kata itu terlalu berlebihan. Selain kau hanya mengamatinya dari balik jendela kamar, melihatnya pada waktu yang sama di setiap hujan turun, tak ada sedikit pun yang kau tahu tentangnya, termasuk wajahnya. Dan lagi, jatuh cinta … bagimu, jatuh akan selalu berdampingan dengan rasa sakit. Kau tak pernah sudi membiarkan dirimu mengalami hal tersebut. Akan sangat bodoh jika kau harus mengurung diri seharian di kamar dan menangisi pria yang meninggalkanmu, seperti yang dilakukan ibumu ketika lelaki-yang-tak-sudi-kau-panggil-ayah meninggalkannya demi perempuan lain. Bahkan, sampai saat ini, kau tak mengerti kenapa Rea mesti mati.
Kau menghela napas. Berusaha mengenyahkan apa pun tentang Rea. Kenangan tentangnya hanya akan membuat perasaanmu menjadi kacau. Gambaran demi gambaran tentang hujan, jembatan, juga payung ungu yang terlempar ditepak angin bakal memenuhi kepalamu, seperti gas yang dipompa kuat-kuat ke dalam sebuah balon kecil.
“Aku tahu ada yang aneh sama Amar satu tahun ini,” kata Rea sehari setelah pernikahan mantan kekasihnya. “Tapi, gimana bisa Amar minta putus dengan cara murahan kayak gitu? Apa cewek itu hamil? Kenapa mereka buru-buru nikah?”
Beberapa jam sebelum pernikahannya, Amar datang menemui Rea, memberikan sebuah undangan pernikahan bertuliskan namanya dengan perempuan lain, sebagai tanda bahwa hubungan mereka telah berakhir. Rea membuat kesimpulan jika selama mereka berpacaran, Amar ada main serong, dan menghamili selingkuhannya. Kadung ketiban sial karena kecolongan, si selingkuhan memaksanya bertanggung jawab, maka terjadilah pernikahan yang terkesan terburu-buru itu.
Selagi mendengarkan Rea mencerocos sejak tadi, kau berusaha mengingat sedikit saja tentang Amar. Sesuatu yang harusnya lebih kau tahu sebagai seseorang yang sudah dua puluh tiga tahun bertetangga dengan Amar. Mungkin saja ada satu hari di mana kau pernah melihat lelaki itu sedang mojok dengan seorang perempuan, dan untuk memberi efek liar, kau menangkap mereka dalam posisi saling melumat bibir satu sama lain selagi tangan Amar sibuk menelusuri, dan sesekali meremas, tubuh perempuan itu. Atau, banteran, kau mungkin pernah melihat Amar berboncengan motor atau sekadar duduk di bangku taman sambil bergenggaman tangan dengan seorang perempuan, dan tentu saja perempuan itu bukan Rea. Namun sayangnya, kau tak mengingat apa pun, selain Amar selalu menyapamu setiap berangkat sekolah dan menyejajari langkahmu. Ia juga selalu menjadi teman sebangkumu, paling tidak duduk di meja sebelahmu. Pun setelah lulus sekolah, ketika hendak berangkat kuliah maupun kerja, ia rutin meneriaki namamu untuk berpamitan.
“Kamu juga suka dia, kan?” Tiba-tiba saja Rea melemparkan pertanyaan itu kepadamu.
Kau meliriknya sekilas. Tampak Rea tengah mengubah posisinya, dengan bantal yang dipindahkan dari pangkuan ke kasur yang ia duduki dan tubuh yang dicondongkan ke arahmu. Matanya menatap lurus pada matamu, dahinya mengernyit, dan satu lagi, tangannya saling meremas satu sama lain. Sebagai orang terdekatnya, jelas kau tahu Rea tak pernah senang jika mengetahui ada perempuan selain dirinya menyukai Amar. Jadilah terasa aneh ketika Rea bertanya seperti itu.
Memang, kau mengenal Amar, bahkan jauh sebelum Rea berpacaran dengan lelaki itu, tapi tak ada apa pun di antara kalian. Hanya sebatas tetangga yang kebetulan satu kelas sejak SD sampai SMA. Meski, iya, Amar terkadang berlaku sedikit aneh. Jika ada lelaki yang mendekatimu, Amar akan mengajak mereka berbincang, entah membahas apa, kau tak pernah mau tahu. Yang kau tahu, setelah berurusan dengan Amar, para lelaki itu secara otomatis akan berhenti mendekatimu. Untuk yang satu ini kau sangat bersyukur.
Lagi pula, jangankan menyukai lelaki itu, kau bahkan tak tahu apa-apa tentangnya. Jika ada yang kau tahu, tentu itu karena Rea sering menceritakan banyak hal yang bersangkutan dengan Amar. Walau, seandainya Rea bertanya “apa kamu ingat?”, maka kau pasti langsung menggeleng. Dari begitu banyak cerita yang Rea bagi denganmu, kau hanya ingat Rea menyatakan cinta kepada Amar, dan mereka berpacaran setelah Rea mendapat penolakan sebanyak 32 kali.
“Apa Amar pernah bilang kalau dia suka kamu?”
Itu adalah bomnya!
Api yang Rea nyalakan dua menit lalu cukuplah untuk meledakkan amarah yang dipendam gadis itu atas ulah Amar. Dan membuka mulut sama seperti kau menyediakan sumbu untuk dibakarnya. Jawaban apa pun, baik iya maupun tidak, akan tetap meledakkan kemarahan Rea.
Kau—kriiing …. Jam bekermu berbunyi nyaring, membawamu kembali pada ruang tidurmu, juga pada kertas di hadapan yang tergambar tanda tanya besar. Waktu menunjukkan pukul 22.39. Kau kembali menyibak gorden. Melihat ke arah lorong sebelah kanan, di mana lelaki tadi kembali melintas dengan menjinjing dua kantung kresek yang entah berisi apa. Melewati tong sampah, juga melewati rumahmu, berjalan terus menuju jalan besar dan hilang di belokan.
Jika biasanya kau akan kembali menutup gorden, kali ini tidak. Dekat jalan besar, saat satu-dua kendaraan melintas, saat rintik air masih terus menderas, di sana, tepat di depan sebuah kafe yang baru tutup, kau melihat sosok yang tak asing untukmu. Sosok yang tampaknya juga melihat ke arahmu.
(*)
Aila Calestyn, penyuka Totoro dan serentet film animasi Studio Ghibli.
Gambar: Pinterest
Editor: Imas Hanifah N