Hujan

Hujan

Hujan

Oleh: N. Insyirah

 

Aku berdiri di muka rumah sambil merapatkan kardigan merah persik yang kupakai. Angin berembus kencang, dan dari halaman belakang, sambil mengangkat pakaian di jemuran Ibu berteriak, “Sebaiknya kamu jangan pergi ke luar!” dengan suara serak khasnya. Sejak tadi langit memang sudah dipenuhi awan kelabu. Namun, aku harus pergi. Ada janji dengan Sam. Kakak sepupuku itu memintaku membantunya menanam bibit bunga anyelir di kebun baru depan rumahnya.

Setengah berlari kutinggalkan rumah. Aku bahkan tak sempat mengambil si Moni, sepeda ontel kesayanganku yang biasa parkir di samping jemuran; takut Ibu keburu sadar dan melarangku pergi. Sudah lama aku tak bertemu Sam, terakhir sembilan bulan lalu, saat Sam menyelesaikan pendidikan S2-nya dan keluarganya mengadakan acara syukuran. Aku bahkan tak datang, apalagi bertemu Sam, pada acara syukurannya yang diadakan dua bulan kemudian.

Aku terus berlari tanpa mengurangi kecepatan. Di persimpangan aku belok kanan, lalu lurus terus dan menyusuri jalan menanjak. Dan tepat di puncak tanjakan, berjarak kurang lebih tujuh meter, kulihat Sam berdiri menatapku. Dia melambaikan tangan kanannya kepadaku sementara tangan kirinya memegang kantong plastik yang kutebak berisi bibit bunga anyelir. Dia pasti habis pulang berbelanja. Aku mempercepat langkah dan menghampirinya.

“Lama!” katanya. “Sekarang bahkan sudah jam sembilan.”

Kami memang sepakat untuk bertemu pukul delapan di rumah Sam. Namun, ketika aku sudah selesai mematut diri di depan cermin dan melihat jam weker masih menunjukkan pukul tujuh lewat lima puluh menit, mendadak aku ingin merapikan seluruh isi kamarku—yang tak begitu berantakan. Dilanjut mengerjakan beberapa pekerjaan rumah ketika kulihat jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat dua puluh delapan menit.

Belum sempat aku menjawab perkataan atau lebih tepatnya gerutuan dari Sam, tiba-tiba hujan turun. Membuatku terpaksa kembali berlari sebelum rintik air itu jatuh semakin deras. Padahal aku baru saja mengatur napas yang kabur-kaburan. Untungnya rumah Sam tidak terlalu jauh dari sini, jika ditempuh dengan berlari hanya akan memakan waktu tiga menit.

Rintik air terus berjatuhan, membasahi pohon-pohon, bunga-bunga, rumput-rumput, dan jalan setapak yang kami lalui. Suara gemerciknya makin lama makin deras terdengar. Namun anehnya, tiba-tiba aku tak lagi merasakan tetes air hujan membasahi kepalaku. Aku mendongak, dan kudapati jaket biru Sam memayungi kami.

“Nanti sakit,” jelasnya singkat.

Sejak kapan Sam menjelma jadi pria yang peka? Biasanya di saat seperti ini dia akan berlari tak kalah kencang dariku. Takut demam, katanya. Dia memang lama sembuh jika sudah terserang demam. Lalu, zaman dia kuliah dan aku SMA, setiap kali aku membuatkan bekal untuknya, bahkan setelah dia tahu kalau aku sampai harus bangun dini hari untuk itu, dia tetap tidak akan memakannya jika merasa tidak suka. Terlalu asin. Terlalu pedas. Pahit. Rasanya seperti ampas. Dia tak pernah berbasa-basi dan aku tak pernah ambil hati. Apa ini gara-gara Sam menonton drama Korea? Tapi … Sam tidak suka drama Korea. Lebay, katanya. Setahuku dia hanya pernah menontonnya sekali, waktu berkunjung ke rumahku awal tahun lalu ketika kami ada kumpul keluarga—lima bulan sebelum acara syukuran S2-nya. Dia yang bosan mendengar obrolan para orang tua memilih menyelinap ke kamarku dan akhirnya ikut nonton bersama, itu pun hanya sebentar, selebihnya dia habiskan dengan berbaring di lantai berbantalkan tangan dan menatap langit-langit. Ah, jangan-jangan setelah itu dia ketagihan dan diam-diam menonton beberapa serial drama Korea sendiri. Sungguh sulit dibayangkan kalau orang seperti Sam sampai senyam-senyum sendiri dan menangis tersedu-sedu saat menonton drama Korea.

“Kamu kesurupan?” katanya, membuatku tersadar dari lamunan.

Aku menyikut pinggangnya. Setelah lama tak bertemu dan sibuk dengan kehidupan barunya, kukira dia sudah berubah jadi lebih baik, ternyata sama saja. Kuabaikan pertanyaannya, dan kami terus berlari sambil tertawa sampai kami tiba di depan rumahnya.

Pintu terbuka. Seorang wanita berdiri dengan handuk kecil di tangannya. Dia segera membantu Sam mengeringkan tubuh. Selagi mengelap wajah Sam, dia menanyakan kenapa laki-laki itu tidak memilih berteduh dulu sambil menunggu hujan berhenti. Sepertinya dia tak menyadari kehadiranku.

Aku menundukkan kepala dan tatapanku tak lepas dari perut wanita itu, yang berisi janin berusia 5 bulan. Lalu, aku mundur selangkah dari samping Sam. (*)

SU, 13 Mei 2022.

 

N. Insyirah, perempuan yang sedang belajar menulis ini menyukai warna oranye dan buah orange.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Devianart

 

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply