Hujan
Oleh: Wulansari Syauqi
Sepohon bunga merah itu cantik disiram hujan kecil-kecil. Dari jendela ini tampak bergoyang-goyang menikmati siraman rindu sang Hujan. Daun melambai merengkuh cinta bertubi-tubi dari sang Hujan. Batang ranting pun tak kuasa buncahkan letupan rasa pada hujan yang melingkupinya. Aku merasa seperti pohon bunga merah itu. Aku pun begitu menikmati cintamu, mendamba hujan rindumu. Bahkan kukemas semua rinaimu hingga tak bersisa.
Hujan semakin mereda, memberi isyarat berhenti dengan perlahan hingga akhirnya menyisakan rinai kecil nan lembut. Sejenak sepohon bunga merah itu terkesiap, gagap atas perubahan yang terjadi. Tampak segerombol bunga merah mengigil diterpa angin sepoi yang menyadarkan akan kepergian hujan. Ranting pun berderit pelan mengeliatkan rindu. Sedangkan daun tertunduk lesu mengais tetes terakhir dari sang Hujan. Aku pun tergagap akan kepergianmu. Meracau bingung meneriakimu untuk kembali. Berharap semua ini hanya khayal, ilusi belaka. Tapi sayangnya ini nyata. Kepergianmu pelan menyisakan rinai air mata tak berkesudahan serta rindu yang tak berujung.
Tak kusadari malam menjelang, purnama pun menyembul. Indah, semburat keemasannya luar biasa memukau. Belum bundar benar tapi tampak bak senyum lebar. Meninggi perlahan, gagah, anggun, cantik, menebarkan sejuta pesona. Pandanganku benar-benar membatu pada purnama itu. Tapi ekor mataku menangkap sebuah keindahan lain. Dan aku tertegun melihat betapa cantiknya pohon bunga merah itu ditimpa temaram cahaya purnama.
Lihatlah, sepohon bunga merah itu tampak bahagia menikmati siraman cahaya purnama. Daun mendongak bahagia memaparkan wajah di bawah cahaya purnama. Dan … ranting kokoh berwibawa berbalut pendar cahaya purnama. Apakah mereka sudah melupakan hujan tadi sore? Bukankah cinta mereka hanya pada hujan? Kukerjapkan mata tak percaya. Tapi sepohon bunga merah itu tampak semakin cantik, dan lihatlah pohon itu bahkan bergoyang gembira menimpali godaan purnama. Benar-benar pemandangan yang istimewa, sepohon bunga merah tampak perkasa namun, berbalut kelembutan bahkan menyebarkan aroma yang teramat syahdu. Sungguh tak bisa kupercaya. Pohon bunga merah itu mendesahkan Cinta. Apakah cinta sepohon bunga merah itu mendua? Malam melarut aku semakin tidak sanggup melihat pengkhianatan pohon bunga merah itu. Kututup jendela dan masuk dengan hati penuh tanya. Bisa-bisanya dia berpaling. Tidakkah lebih baik memilih setia? Seperti aku yang tetap merindui hujan.
***
Matahari sudah tampak ketika kubuka jendela di lantai dua ini. Malas kupandang pohon bunga merah itu. Lihatlah, lagunya tak merasa salah sedikit pun. Bahkan kini pun dia nampak ganjen menyambut mentari pagi. Daun-daun memicingkan mata, berlagak malu-malu, menggoda. Sedangkan ranting pohon perkasa rakus menyerap sinar hangat mentari seolah ingin membuang sisa hujan kemarin sore. Dan yang memalukan adalah segerombolan bunga merah mengerjapkan mata dengan genit ke arah mentari hangat pagi ini. Namun, diam-diam dalam hatiku takjub dengan pemandangan yang kusaksikan. Seperti sore dan semalam, pohon bunga merah ini kembali memberikan keindahan yang sempurna. Kali ini ia seolah memberi energi penuh keoptimisan. Siapa pun yang memandang pasti akan merasa tersemangati. Sejenak energi itu mengalir lewat mataku, tapi kuhentikan sebelum sampai di hatiku. Bagaimanapun aku tidak suka berpindah-pindah hati. Aku bahkan masih merindui hujan. Sama halnya aku yang selalu mengharap kau kembali, menembel lukaku dengan cinta. Melipatgandakan kebahagiaanku dan membuatku tenggelam dalam suka cita tak bertepi. Sungguh aku merindui hujan.
Rindu ini membelengguku, mengeraskan hati dan menumpulkan rasa. Rindu ini juga membuatku abai pada hangat mentari, pada lembut purnama serta pada segerombol bunga merah itu. Aku hanya memikirkan hujan. Tak peduli basahnya, dinginnya dan nyerinya, aku hanya menginginkan hujan. Bahkan jika hujan itu laksana ribuan jarum yang menghujam tubuhku, aku tetap hanya merindui hujan. Tak perduli pula kadang hujan membawa petir yang melukai dan gelegar guruhnya memekakkanku. Karena hanya hujan yang membuatku berpikir akan sebuah kebahagiaan.
Aku terus memikirkan hujan hingga hari berubah terik. Tatapan kosongku lagi-lagi menyapu pohon bunga merah itu. Hai! Lihatlah, kali ini sepohon bunga merah itu nampak kepayahan. Daun-daun nampak berusaha keras bergoyang supaya udara melembut. Daun-daun juga melebarkan tubuh -tubuh mungilnya agar suasana meneduh. Sedangkan segerombolan bunga merah nampak berusaha tampil secantik dan seindah mungkin agar terik ini terbiaskan. Ada juga beberapa kuntum dengan rela menjatuhkan diri bersama sepoi angin yang membawanya. Jatuh dengan cantik berhias senyum keikhlasan. Sedangkan Batang ranting perkasa sibuk menyokong daun dan bunga dengan energi besar yang dia punya. Entah apa maksud dari semua ini, tapi kurasakan keindahan yang terpancar sempurna. Memupus stigma negatif dipikiranku.
Tiba-tiba aku merasa begitu naif. Terhina dengan drama yang dipertontonkan oleh sepohon bunga merah itu. Karena tiba-tiba kusadari bahwa dia bukan pengelana cinta, pengobral keindahan atau semacamnya. Sepohon bunga merah itu hanya penerima takdir yang legawa. Alam membuatnya belajar bahwa banyak hal yang akan terjadi di luar kendali. Yang bisa dia lakukan hanya berusaha menerimanya dengan penuh makna.
Aku tergugu keras. Jadi jika itu purnama yang lembut kenapa tidak kau coba nikmati indahnya? Dan jika kemudian hujan itu pergi kenapa tidak pula coba kauikhlaskan? Bukankah semua terjadi di luar kendali? itu terjadi karena takdirmu. Bodohnya aku.
Kuusap rinai air mataku, menatap sepohon bunga merah itu lagi. Rupanya dia mulai bersiap pada mendung yang berarak mendekat. Hujan yang kurindui akan datang, sudahkah kusiapkan tarian cinta untuknya?
Di suatu sore, di awal desember 2017
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata