Hormat pada Ibu dan Memperjuangkan Ibu Pertiwi
Oleh: Uzwah Anna
“Apa kata dunia?”
Siapa yang tak tahu jargon tersebut? Pasti semuanya tahu, bukan? Yap, betul sekali. Itu adalah kalimat yang sering kali diucapkan oleh Naga Bonar.
Ehem! Sekali-kali aku ingin menulis review film.
Sebenarnya aku sendiri dari dulu sudah mendengar nama Naga Bonar. Hanya saja tak pernah menonton filmnya. Baru beberapa tahun terakhir, setelah teknologi sedemikian masif, dan bisa menonton apa saja dari smartphone, mulailah kulakukan pencarian di Google dan Youtube. Dan … tara … sukses!
Film ini diawali dari kisah Naga Bonar dan Bujang keluar dari penjara setelah dihukum karena mencopet. Meski tokoh utama merupakan seorang mantan pencopet, tapi jangan kira film ini dipenuhi adegan gebuk-gebukan semacam The Raid. Dulu sebelum menonton, ekspektasiku tentang “Naga Bonar” ini justru seperti Tjut Nyak Dien dan semacamnya. Dipenuhi adegan perjuangan yang kental dengan pembunuhan dan kematian. Namun, perkiraanku meleset. Dia awal menonton justru langsung disajikan dialog lucu antara Naga Bonar dan Bujang.
“Enak hidup jadi tahanan Jepang. Makan dapet. Rokok dapet. Kerja tak ada,” ucap Bujang setelah melewati gerbang penjara.
“Kalo pengen makan enak, sekali-kali masuk penjaralah …,” timpal Naga Bonar.
Lantas perjalanan Naga Bonar berlanjut menjadi pejuang kemerdekaan setelah dia mendengar dari Bang Pohan, bahwa di Jakarta telah diumumkan kemerdekaan Indonesia. Tak terima bahwa tanah kelahirannya, Medan, masih diduduki Belanda, akhirnya dia bergabung menjadi pejuang. Karena kepiawaiannya dalam taktik perang dia diangkat menjadi pimpinan.
Dari awal memang sudah ada masalah di film ini. Misalnya saja si mantan pencopet ini punya penyakit malaria. Tak pernah dipercaya oleh ibunya, karena beliau sangat kesal putra tunggalnya menjadi pencopet.
Di film ini banyak dikisahkan tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan negara. Namun, menariknya tak melulu fokus pada hal tersebut. Namun, juga banyak disisipi oleh kepatuhan seorang anak pada sang ibu. Kisah kesetiakawanan. Dan sedikit kisah asmara.
Segarang-garangnya Naga Bonar, tapi dia sangat takut dan patuh pada ibunya. Hal ini ditunjukkan pada adegan saat mantan pecopet ini mesti menggendong Mamak—panggilan Naga pada ibunya—dari kampung hingga ke markas pejuang. Dia harus merelakan kudanya ditunggangi oleh si Bujang. Saat itu, si Bujang kejar-kejaran dengan Lukman, berebut menunggangi kuda Naga Bonar.
Kesetiakawanan ditunjukkan saat Naga memberikan Jam tangan hasil mencopet milik mayor Belanda. “Meskipun kopral, arlojimu mayor,” ujar Naga pada Bujang yang masih dongkol sebab Lukman hanya memberinya jabatan sebagai kopral.
Tentang jabatan, Naga Bonar beserta anak buahnya naik pangkat bukan melalui ujian, tapi asal bagi-bagi dan saling tunjuk sesuai kemampuannya pada masa itu. Hal ini dikarenakan keharusan pasukan Naga bertemu dan berunding dengan tentara Nica. Lucunya, dalam perundingan ini Naga Bonar—yang tak bisa membaca peta—asal menjatuhkan telunjuknya saat ditanyakan di mana markas pasukannya. Hal ini membuat tentara Nica bingung, sebab titik yang ditunjuk pemimpin pejuang kemerdekaan itu masih termasuk wilayah kekuasaan Belanda—lokasi tersebut justru dapur mamaknya si Nurat. Hehe ….
Sebagai pria yang telah berumur, mamaknya Naga Bonar selalu bertanya kapan putranya akan kawin.
“Di tengah perang begini Naga Bonar kawin, apa kata dunia?” Ujar Naga pada Bujang.
Namun, sejak Kirana—putri dokter Zulbi, mata-mata Belanda—menjadi tawanannya, rupanya mantan pencopet itu sudah jatuh hati pada gadis cantik nan berpendidikan tersebut. Hanya saja Naga tak berani mengungkapkannya. Dia tak pandai merayu perempuan. Akhirnya dia meminta sang mamak untuk melamar Kirana setelah diketahui bahwa gadis tersebut—yang pada akhirnya—juga memiliki rasa yang sama.
Masalah kembali muncul ketika sang mamak yang diminta melamar justru mengungkapkan semua kejelekan putranya. Duh, Mamak yang ini memang sangat menyebalkan. Hehe …. Belum lagi Naga harus bermain catur dan saling mengacungkan senjata, kala si Singa Tak Bertaring—sebutan bagi saingan Naga demi mendapatkan Kirana—secara terang-terangan menginginkan gadis yang dicintainya itu.
Secara keseluruhan film ini berhasil membuatku ngakak dari awal sampai akhir. Entah itu karena kekonyolan Naga, Bujang, mamaknya Naga atau pun teman-teman lainnya. Kelucuan di film ini terasa sangat segar dan masih polos. Mengalir saja tanpa dibuat-buat. Aku menikmatinya.
Banyak kebaikan. Namun tak dapat dimungkiri tentu saja ada sedikit, hanya sedikit keburukannya. Ah, salah. Maksudku bukan keburukan. Namun, kurang baik. Itu saja.
Bagiku—sebagai penonton milenial, yang sudah terbiasa disajikan video-video zaman serba bening—tentu saja mesti sedikit lebih lama untuk memahami cerita. Ya, minimal tonton dua kalilah baru tahu maksud sebenarnya. Karena pada saat pertama kali nonton, aku belum paham kenapa Naga mesti dibawa ke rumah Dokter Zulbi, dan kenapa pula sang dokter itu ditangkap. Namun, setelah menonton kedua kalinya, terang sudah permasalahannya.
Ok, over all … film ini keren dan sangat layak ditonton oleh generasi sekarang. Terutama pada masa pemilu semacam ini. Supaya rakyat tidak mudah terpecah belah oleh provokasi beberapa “biji” manusia. Karena demi kemerdekaan itu dibutuhkan perjuangan yang tak mudah.
Eh, tunggu! Kenapa jadi nulis semacam naskah pidato begini?
Intinya tak ada ruginyalah nonton film ini. Ya, setidaknya bisa menjadi oase di tengah panas dan peliknya suhu politik akhir-akhir ini. Sekali-kalilah berhenti berdebat. Lalu mulailah tertawa.
Yang pasti film ini tak hanya menyuguhkan humor. Namun, juga kepatuhan pada seorang ibu dan ibu pertiwi. Salut …!!! (*)
Sh, 28 April 2019
Uzwah Anna. Lahir di Malang. Doyan bakso, soto, cilok, tape goreng dll. Hitam, biru dan hijan merupakan warna favorit. Pecinta mawar. Dan penyuka anime: Kakashi Sinsei. Motto: Don’t dead before you death.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata