Home
Oleh: Reza Agustin
Anggap aku sebagai rumah, tempat di mana kau menciptakan keluarga, memulai tangis, merajut tawa, dan segalanya. Rumah selalu menjadi tujuan akhir, tempat di mana seseorang akan kembali. Namun, aku bukanlah tempatmu untuk kembali.
***
“Nad, sebenarnya sudah berapa lama kalian pisah ranjang?” Pertanyaan Andra meluncur begitu saja, memecah sunyi yang semenjak tadi aku cipta.
“Kenapa kamu harus tanya itu? Sejak awal kamu juga udah tahu kalau pernikahanku sama Mas Danang enggak akan bertahan lama,” balasku ringan. Mataku masih mencoba terfokus pada monitor komputer, walau sesekali ujung mata melirik wanita dengan tubuh lebar tersebut.
“Nad, aku pikir kalian benar-benar menemukan kebahagiaan itu. Ternyata enggak begitu.” Andra menghela napas. Ia meraih jemariku, memberikan usapan lembut. Membagi rasa nyaman.
“Kebahagiaan kami adalah Angel, tapi kebahagiaan pribadinya bukan sebuah hal yang bisa aku sentuh, Ndra. Enggak akan pernah.”
Adalah sebuah pilihan berat, ketika aku dihadapkan pada dua opsi. Menikah dengan pilihan Ayah dan meninggalkan karierku sebagai editor sebuah penerbitan atau memilih sendiri pasangan hidupku dan tetap menjalani karier yang telah kujalani selama lima tahun. Opsi kedua memang terdengar mudah, akan tetapi Ayah kembali menimbulkan syarat yang semakin mempersulit. Ditambah dengan catatan bahwa pria mana pun itu harus memberikan izin bagiku untuk terus bekerja.
Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, saat aku masih berusia dua puluh tujuh. Ayah sudah tak lagi mengungkit masalah pekerjaan, kini ia lebih sering disibukan dengan Angel, putriku yang masih berusia enam tahun. Benar kata orang, ketika orangtuamu sudah dapat cucu, maka kedudukanmu akan tergeser. Lihat betapa bahagianya Ayah saat cucu satu-satunya datang. Angel bahagia bersama kakeknya dan aku bahagia, dengan pekerjaanku. Setidaknya itu yang kamu pikirkan, bukan?
Raungan klakson memecah lamunan, arus lalu lintas masih padat. Nyaris tak bergerak. Sementara perut mulai menjerit, mengingatkan bahwa menu makan tadi siang telah sepenuhnya tercerna dan kini meminta mendapat asupan kembali. Aku menoleh ke kanan, pada sebuah kedai martabak yang lengang. Ah, aku teringat bahwa di kedai inilah aku sering menghabiskan waktu bersama suamiku dulu. Mengorek kembali memori lama yang nyaris terlupa. Kedai itu masih sama seperti dulu, tak terlalu ramai. Sehingga tak perlu mengantre lama, padahal rasanya enak-enak saja menurut seleraku.
Mobil aku belokkan, berhenti di halaman parkir kedainya yang lapang. Angel pastinya akan sangat senang jika aku membawakannya buah tangan sepulang kerja. Terlebih lagi jika ia punya nafsu makan tak jauh berbeda dari ayahnya. Mereka sama-sama doyan makan, aku pun sebenarnya juga. Akan tetapi melihat garis pada timbangan mulai bergeser pada angka yang lebih besar, membuatku memilih untuk berdiet.
“Nadya.” Namaku disebut lembut. Aku tak menduga akan bertemu dengannya di sini. Hubungan kami bisa dibilang rumit, terlalu rumit malah. Mas Tio, pria pilihan Ayah untukku satu dasawarsa silam. Ia tampil dengan kasual, mengenakan kaus bolong berwarna biru dan celana santai sebatas lutut. Di tangan kanannya bergelantung beberapa plastik berisi martabak yang dikemas dalam kotak. Ia membeli cukup banyak, walau aku sendiri yakin bukan dia yang akan menghabiskan camilan itu.
“Halo, Mas Tio. Beli martabak?” tanyaku basa-basi. Sebenarnya pertanyaan bodoh, karena sudah pasti ia membeli martabak, bukan? Bukannya sekotak bata. Aku menahan diri untuk bertanya kepada siapa martabak-martabak itu akan ia berikan.
“Iya, sudah lama enggak makan di sini. Jadinya kangen. Kamu sendiri habis dari kerja?” ia balik bertanya.
“Iya, ini mau mampir sebentar. Kayaknya aku lagi ngidam martabak,” candaku sambil terkekeh geli. Kata-kata itu meluncur saja dari mulut. Mas Tio menatapku dengan satu alis naik. Sial, dia tahu kalau aku sudah pisah ranjang dengan Mas Danang. Ucapanku tadi bisa saja menimbulkan salah paham.
“Bukan ngidam dalam artian sesungguhnya. Lagi pengen aja. Soalnya juga udah lama enggak ke sini, Angel kemarin juga minta martabak katanya. Tapi aku baru ingat sekarang.” Aku sangat bodoh, menjadikan anak sebagai alasan. Semoga saja ia percaya.
“Oh, kirain. Aku harus pergi sekarang, soalnya udah ditunggu. Hati-hati pulangnya nanti, oke?” Ia melambai padaku setelah memindahkan bawaannya ke tangan kiri.
Mas Tio, masih sama seperti dulu. Masih tampan, ramah, dan sopan. Ia juga punya bisnis yang bagus. Agensi modeling. Ia selalu dikerumuni model-model yang cantik dan tampan. Tinggi pula, tak sepertiku tentunya. Dikelilingi oleh model-model cantik ternyata masih tak mengubah keputusannya untuk tidak menikah. Aku mungkin yang disalahkan karena dulu tak menerima pinangannya. Namun, ia pasti juga takkan menjadikanku rumah sebagai tempatnya kembali. Dia lebih mencintai dunianya. Walaupun kami menikah, ia akan menjadi seperti suamiku. Tak pernah kembali padaku.
“Wah, Mbak Nadya ke sini sendirian? Biasanya sama suami dan anaknya,” sapa penjual martabak dengan wajah yang berlinang keringat. Berpanas-panasan di depan kompor tentunya membuat keringatnya makin mengucur.
“Udah lama enggak ke sini, makanya mampir. Sekarang Suami dapat kerja di luar kota terus, jadi jarang bareng,” balasku tak sepenuhnya dusta.
“Kayaknya minggu lalu juga ke sini, tapi sendirian. Beli tiga kotak yang rasa durian sama spesial, pasti Mbak Nadya yang suruh, ya?”
Terakhir kali Mas Danang pulang ke rumah adalah satu bulan yang lalu. Itu pun dalam keadaan setengah mabuk, ia bahkan tak membawa apa pun selain baju kotornya sehabis dari pemotretan di luar kota. Sekarang Mas Danang kembali ke rumahnya sendiri. Studio foto yang letaknya berjarak satu jam perjalanan dari sini. Mas Danang tidak pulang kepadaku, tetapi ke rumahnya sendiri. Tempat di mana ia kembali.
“Iya, anak saya kan, suka banget rasa durian.”
Itu sepenuhnya dusta.
***
Aku lelah. Tak ada pesan apa pun yang masuk dari Mas Danang. Tentunya sekarang ia sedang sibuk. Sibuk bersenang-senang. Tak ada istri galak yang akan meneriakinya untuk segera mandi dan berganti baju. Ia juga tak perlu repot-repot mendengar omelan istri saat tak menghabiskan makanan. Ia mungkin senang karena takkan ada Angel di sampingnya. Karena sejak awal, pernikahan yang terjadi tak didasari oleh cinta.
“Kenapa Papa enggak pulang, Ma?” tanya Angel padaku sepulang dari kedai martabak. Mulutnya masih dipenuhi martabak manis dengan rasa durian saat bertanya tadi.
“Papa masih sibuk, Sayang. Nanti Mama bicara lagi sama Papa biar dia bisa cepat pulang,” ujarku lembut. Aku tak mungkin mengatakan kebenaran tentang papanya. Ia masih anak berusia enam tahun.
Selama sepuluh tahun pernikahan, kami seperti sepasang orang asing yang mendiami rumah yang sama. Tak ada hal-hal romantis, bahkan hingga tahun pertama pernikahan kami masih menempati kamar yang berbeda. Mas Danang, ia seperti bayangan yang tak mampu kuraih. Dia datang dalam kegelapan membawa sebuah tawaran. Sebuah topeng agar aku tetap bisa bekerja tanpa perlu meributkan urusan jodoh yang diatur oleh Ayah. Juga sebuah kamuflase baginya agar tetap bisa bergaul di masyarakat walau mempunyai dunia yang berbeda dengan mereka. Sebuah pernikahan.
Kupikir ketika dia datang membawa tawaran sebuah hubungan di bawah ikrar pernikahan, hidupku akan tetap sama dan bebas. Bangun pagi lalu bekerja malam tidur, lalu berputar lagi. Sebuah siklus di mana aku dengan senang hati hidup di dalamnya. Hanya aku dan pekerjaanku, satu-satunya hal di dunia yang mampu aku tanggung selain Ayah. Aku terlalu mencintai pekerjaanku dan ia terlalu mencintai dunianya. Dunia di mana kebebasan tak menemukan dinding pembatas. Studio fotonya.
Benar bahwa ia membebaskanku untuk terus bekerja. Bersosialisasi dengan siapa saja, bahkan jika aku menghendaki memiliki pria lain di sampingnya. Ia bukan memberikanku kebebasan, ia hanya tak mengacuhkanku. Bahkan bisa kusebut kelahiran Angel adalah sebuah kecelakaan dan kelalaian. Mas Danang tak menghendaki hubungan kami menghasilkan keturunan, ia hanya tak terlalu menyukai prosesnya. Namun, ia tak menolak saat Angel lahir ke dunia. Ia tetaplah seorang manusia yang punya hati. Saat menggendong Angel untuk pertama kali, ia menangis. Haru yang tak mampu ia sembunyikan. Bahkan ia berbisik, berterima kasih atas hadirnya Angel.
Mas Danang tetap suami dan ayah yang bertanggung jawab, menafkahi aku dan Angel. Ia hanya pulang kepada Angel, tidak kepadaku. Ia akan mengajak Angel pergi jalan-jalan seminggu sekali, ia akan menjemput Angel di sekolah agar tak perlu bertemu denganku. Hebat sekali. Ia mungkin seorang ayah yang baik, tetapi bukan suami yang baik. Aku mengakuinya sejak awal, akan tetapi menerima kenyataan bahwa dia seburuk itu ternyata sangat menyebalkan.
Ponselku berdering, kali ini nama Andra terpampang di sana. Ia selalu menelepon untuk urusan pekerjaan di luar jam kerja. Sering kali membuatku kesal. Kenapa tidak sejak tadi saat kami berjumpa di kantor atau pada jam makan siang. Ia memiliki nafsu makan dua kali dariku, jadi setidaknya dia punya waktu dua kali lebih banyak untuk bicara padaku. Kami selalu menempel ke mana-mana.
“Suami kamu selingkuh, ‘kan?” Sapaan pertama Andra, sebuah ujaran. Atau mungkin penghakiman.
“Aku enggak mau bahas masalah itu, Ndra.” Aku berkelit, sebenarnya ia pun udah curiga pada Mas Danang sejak dulu. Hanya saja ia butuh pengakuanku.
“Aku lihat dia sama selingkuhannya hari ini, aku bisa kirim fotonya ke kamu.” Andra terdengar makin serius di seberang telepon.
“Ya, boleh.”
“Seharusnya dulu kamu terima Tio aja. Sekarang lihat apa yang terjadi, suami kamu selingkuh juga. Kalau sama Tio enggak akan begini jadinya. Dia pria baik, Nad.”
“Kirim aja fotonya.” Aku memijat pangkal hidung, lelah dan kesal. Kalau pun aku menikah dengan Mas Tio, tidak akan ada yang berubah. Nantinya hanya akan ada dua karakter yang bertukar peran. Mas Danang dan Mas Tio.
Satu menit setelah itu sebuah foto masuk, Mas Danang yang tengah merangkul seorang wanita yang lebih tinggi. Wajah sang wanita tak terlihat, buram karena sudut pengambilan gambar yang payah. Ya, aku akui dia selingkuh. Namun, bukan wanita itu. Andra memang tidak tahu apa pun tentang rumah tanggaku selain Mas Danang yang selalu tidak ada di rumah. Aku membalas kiriman fotonya dengan terima kasih dan tambahan untuk menanyakan langsung pada Mas Danang. Detik berikutnya ponsel aku matikan.
Akan menjadi sebuah kebohongan jika aku bilang tak pernah rindu padanya: Mas Danang. Ia mungkin berengsek, akan tetapi aku tetaplah seorang wanita normal. Merindukan bagaimana ia menyentuh kulitku, membisikkan napasnya yang mulai memburu di telinga, dan geraman yang keluar dari bibirnya. Bahkan jika apa yang ia lakukan padaku terjadi nyaris di luar kesadaran. Seperti sebulan yang lalu, dengan napas berbau alkohol dan hasrat untuk menuntaskan kebutuhan biologisnya telah sampai di ubun-ubun. Kepalaku berdenyut tak senang, sebuah peringatan bagiku untuk segera tidur.
***
Pandanganku kosong, testpack dengan dua garis merah tergenggam di tangan. Jika hanya satu alat, aku mungkin akan melakukan tes kehamilan kepada dokter. Namun, tujuh testpack yang kubeli seminggu lalu memberikan hasil yang sama. Lagi-lagi kasus yang sama dengan Angel, karena kelalaian dan kecelakaan.
Aku mengusap rambut kasar, aku segera menelepon nomor Mas Danang. Tak butuh waktu lama untuk panggilan itu diangkat. Walau aku tak begitu mengharapkan orang lain yang akan menjawabnya. “Aku harus ketemu Mas Danang, ada yang harus aku omongin ke dia. Tolong bilang ke dia, ya, Mas.”
Angel telah berangkat sekolah, aku meminta izin dari dokter untuk hari ini. Bangun tidur langsung diserang oleh mual dan kepala yang pening. Aku tak percaya akan mengalami kehamilan lagi dengan cara yang sama seperti saat aku hamil Angel dulu. Hanya saja, semoga Mas Danang tidak terlalu terkejut mendengar berita ini dariku. Perjalanan satu jam menuju studio fotonya tak pernah terasa secepat ini. Tahu-tahu aku sudah berada di depan studio fotonya. Mengetuk pintunya agak keras.
“Nadya? Ada masalah penting apa sampai kamu datang ke sini? Kamu masih ngidam martabak?” Pria itu yang pertama kali membuka pintu. Menyapaku dengan agak jenaka, hanya saja aku harus serius kali ini.
“Aku harus bicara sama Mas Danang. Mas Tio enggak keberatan kalau aku bicara berdua saja sama dia?”
Mas Tio, ia menatapku lekat-lekat. Ada semburat merah menghiasi wajahnya. “Sebenarnya dia masih tidur, dia masih capek. Kamu tahu sendiri kalau kami juga jarang ketemu jadi semalam—”
“Aku hamil,” pungkasku langsung pada intinya.
“Nad, kamu … oke, akan aku bangunkan dia.”
Mas Tio berjalan lunglai, mendekati sebuah pintu tempat di mana mereka sering menghabiskan malam panjang tanpa tidur. Di sana, tempat sebenarnya Mas Danang kembali. Sebuah rumah. Di mana ia dan orang yang ia cintai bebas. Sudah jelas bukan tempatku.
Reza Agustin lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Seorang penggemar Hallyu yang juga pecinta kucing dan penikmat teh manis hangat. Kunjungi Facebook-nya dengan nama yang sama, IG-nya di @Reza_minnie dan Wattpad-nya di @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata