Hingga Mati
Oleh : Cahaya Fadillah
Aku tidak tahu perjalanan ini penuh cinta atau tidak, karena saat aku tanyai hatiku lebih dalam dia tidak menjawab, hanya diam lalu air mata datang kemudian.
Tahun-tahun berganti begitu saja. Aku masih menjalani hidup seperti biasa, melayanimu sebagai istri, menjaga serta mendidik anak-anak kita layaknya seorang ibu yang baik. Ya, yang terbaik untuk hidupku kali ini hanya anak-anakku, buatku itu sudah lebih dari cukup.
***
Aku yakin kau yang terbaik yang diciptakan Tuhan untukku daripada kepala sekolah yang sudah punya dua cucu, sopir truk yang sudah punya dua istri tapi kaya raya itu, atau Pak RT dari kampung sebelah yang bujangan tapi sudah menginjak kepala tiga pilihan ibuku.
Menurut Ibu, diantara mereka salah satunya pasti ada yang cocok dan berjodoh denganku. Tapi aku selalu menentang dengan berkata, “Aku anak perawan, Bu. Aku juga berhak mendapatkan yang terbaik dan bujangan tentunya,” ucapku tanpa menatap mata Ibu, takut kalau-kalau Ibu mengamuk dan memukulkan tangkai sapu ke kepalaku.
“Eleh, orang kampung kayak kita jangan banyak minta. Di kampung ini diantara mereka yang kaya raya, kamu bisa hidup enak, paling tidak setelah menikah tidak perlu bekerja,” ucap Ibu meneriakiku.
Aku diam tanpa mau menjawab lagi, takut salah bicara lalu tangkai sapu itu kembali membuat bengkak di kepalaku. Bengkak kemarin saja belum kempis.Takut bengkak yang lain datang lagi, aku pergi ke luar rumah. Duduk di atas pohon jambu yang tinggi sambil menikmati udara yang hilir mudik menyentuh wajahku.
Usiaku masih muda, masih sepuluh tahun. Tapi aku nekat berjualan ke kota membawa hasil kebun Ibu. Ada beberapa kelapa, jambu, nangka dan pisang. Saat itu matahari belum datang, aku buru-buru membungkus dagangan, menaiki bus pertama dan sampailah di kota. Entah bagaimana cara jualan tapi aku nekat, hingga mendapatkan hasil yang lumayan. Bertahun-tahun kulakoni pekerjaan ini hingga bisa menyimpan beberapa tabungan untuk mencoba hidup di kota lain. Di rumah aku sebagai si sulung selalu kena marah, kena sapu, kena lidi dan omongan pedas ayah tiri.
Kini aku sudah bisa mengumpulkan uang untuk mencoba hidup di kota.
“Mau lari dari perjodohanmu?” tanya Ibu saat aku meminta izin tinggal di kota.
“Tidak, Bu. Aku mau coba bekerja, kali aja bisa bantu biaya pesta,” jawabku sekenanya.
Alasanku masuk akal, Ibu mengizinkan aku belajar menjahit di luar kota. Tidak butuh waktu lama, menjahit menjadi keahlianku, hingga suatu hari bertemu dengannya. Berbagai pendekatan kau lakukan saat itu untuk mendapatkan hatiku, kau begitu keras kepala untuk lelaki seusiamu: kubilang tidak, kau datangi orangtuaku, aku menghindar, kau beri kejutan-kejutan yang membuat hatiku meleleh pada akhirnya.
Kita tidak butuh waktu untuk pacaran, buat kita saat itu cinta bukan untuk dijalani sebagai sepasang kekasih seperti yang dilakukan muda-mudi akhir-akhir ini: menghabiskan waktu untuk seseorang yang belum tentu jodohnya, lalu melakukan dosa dengan sampul “atas nama cinta”. Tidak, aku tidak suka hubungan seperti itu.Hingga suatu hari yang cerah, dengan susah payah kau mengajakku makan siang dan meminangku dengan sebuah cincin emas dan bertanya,” Maukah kau jadi istriku?” Cincin itu kau serahkan padaku takut kalau-kalau aku menolak, tidak berani menyentuhku.
Hatiku berkecamuk saat itu, dalam hati kau adalah jodoh yang diberikan Tuhan untukku, berbeda dengan jodoh yang dicarikan Ibu buatku. Kita sama-sama menyukai dunia menjahit, hingga kini saat aku mengandung anakmu kita membuka toko kecil untuk menerima pelanggan.
Anak pertama, baru di usia satu tahun, kau berani memukulnya dengan keras hingga bekas lukanya terlihat jelas di punggungnya. Kau tahu rasanya jadi aku ibunya?Siapapun tidak rela anaknya dimarahi walaupun oleh suaminya sendiri, itu hari pertama aku menentangmu, mengambil alat yang kau pukulkan untuk anak kita lalu dengan kekuatan setan yang entah dari mana aku balas perbuatanmu, memukulmu membabi buta. Kesal anakku diperlakukan semena-mena walaupun oleh ayahnya.
Tidak ada lagi pertengkaran yang berarti dan tidak ada perlawanan dariku, gadis desa, kepadamu suami. Tapi, saat anak kedua kukandung dan kau menyibukkan aku dengan tugas melayani pelanggan yang mulai banyak, mengurus anak kita hingga lupa mengurus diriku sendiri, kau memilih membuang penat dengan dia, seorang gadis yang aku tidak tahu engkau kenal dimana. Hati istri mana yang tidak luka, jika suaminya membagi cintanya bukan untuk buah hati mereka tapi untuk wanita lain di luar sana. Kedua kalinya aku melawanmu, menjelaskan bagaimana perasaanku, terluka dan sangat perih tapi kau anggap itu biasa. Aku menahan hati dilukai, berpikir mempertahankan keluarga ini demi anakku agar tetap memiliki seorang ayah, jadi biarlah luka kutahan.
Kau meminta maaf saat memutuskan gadis itu, aku merasa Tuhan mendengar doaku. Lalu kita menjalani rumah tangga seperti biasanya. Anak kedua lahir, ulahmu dimulai lagi.Entah wanita mana lagi yang kau pacari hingga lupa pulang ke rumah, kau pulang di tengah malam saat anak-anakmu tertidur pulas, padahal sedari sore bertanya, “Ayah dimana, Bu?” Aku hanya bisa menjawab, “Ayah membeli barang, kain-kain kita sudah habis, benang kita juga mulai habis. Jadi kamu tidak bisa dibawa Ayah karena nanti bawaan Ayah pasti banyak,”jawabanku sendiri yang menggores hati, padahal aku tahu kau bersama dia, wanita entah siapa lagi.
Berkali-kali aku berpikir meminta perpisahan, berkalipula kutatap wajah anak-anakku yang akan kehilangan ayah, kembali kutahan dan bersabar dengan kulit yang semakin menipis, hati yang semakin terluka dan mata yang tidak lagi bisa mengeluarkan air mata.
Kehamilan ketiga kali ini tidak lagi kuinginkan, bukan aku tidak berterima kasih pada-Nya, tapi aku takut keluarga kita hancur dan ketiga anakku tidak mendapatkan haknya, kasih sayang seorang ayah dan pendidikan yang baik—berpikir karena ulahmu lagi.
Aku melakukan apa saja untuk mengeluarkan anak ini dari rahimku, tapi Tuhan berkata lain. Anak ketiga tumbuh berbeda, lebih manis dari kakaknya, lebih putih dan lebih terlihat lucu. Kembali aku kau sakiti dengan perselingkuhanmu yang baru. Aku mulai muak, sabarku habis, kurapikan semua pakaianku, kulangkahkan kaki menjauhi rumah yang kita bangun dari nol. Kupeluk anak ketiga yang masih kecil, kubawa pergi dalam hujan deras malam itu setelah mencium si sulung dan anak kedua.
Air mataku mengering tapi tidak dengan hatiku, dalam hatiku masih basah bernanah. Dua hari aku menghilang kukira kau lupa padaku, sibuk dengan selingkuhanmu, tapi kau datang lagi berlutut mencariku, memohon aku untuk pulang dan aku luluh lagi karena si kecil dalam pelukan. Bagaimanapun ia butuh ayah, walaupun tanpamu aku yakin masih bisa memberi ia makan.
“Maafkan aku, aku salah,” ucapmu bersujud di depanku.
Bagaimanapun aku masih manusia yang punya hati, kulupakan salahmu, kubalut lukaku, kututupi nanah itu dengan senyum anak-anakku yang pasti bahagia melihat ayah dan ibu mereka bersama. Aku kembali pulang.
Kita hidup bersama, seperti biasa, dengan susah senang bersama, melupakan masa lalu yang lama.Aku tahu kau lelaki butuh hiburan karena aku lupa mengenakan baju bagus, lisptik merah dan wangi-wangian di badan, lupa karena sibuk dengan tugasku sebagai istri, mengurus anak, dan patner kerjamu selama ini. Kuperbaiki semua, kulupakan segala luka, berharap Tuhan berbelas kasih padaku kali ini dan seterusnya.
Lama, kita mulai bahagia dengan anak yang mulai tumbuh dewasa, kehamilan keempatku berjalan lebih sakit dari tiga sebelumnya. Semua serba menyakitkan, hatiku kau buat lelah dengan ulahmu lagi, jika dulu kau berselingkuh setelah mereka lahir, kini saat aku berbadan dua pun kau buat ulahmu lagi. Apa kau lupa dengan maaf yang acap kali kau ucap. Hatiku hancur sehancurnya kala itu. Hingga doa jahatpun kupinta, “Ya Allah, aku mohon ini kehamilan yang terakhir, aku sudah lelah dengan semua, dengan luka yang berkali-kali ia torehkan, kupinta ini yang terakhir atau aku bisa saja gila.” Tutupku pada Tuhan.
Perselingkuhan itu kubiarkan saja, kuingatkan berkali-kali akan dosa pun kau tidak jera. Hingga kini aku memilih diam, tanpa protes. Aku menjalani hari masih sama, seperti seorang istri dan ibu dari anak-anak kita, bedanya kurasa hatiku mulai mati karena saat kau goreskan luka bahkan menusuknya, air mataku tidak lagi mau keluar. Kubiarkan hingga mungkin kau lelah sendiri, atau takut karena anakmu sudah mulai dewasa? Aku mulai tidak peduli, yang penting apa yang dibutuhkan anakku untuk hidup dan pendidikannya kau bisa mencukupi.
Aku mulai bisa bebas tertawa lepas, paling tidak karena anakku mulai dewasa, berpisahpun aku sudah tidak perlu cemas karena anakku sudah menyelesaikan pendidikannya. Kini hanya tinggal hatiku, entah bagaimana caranya untuk memperbaiki hati yang patah, bernanah, membusuk dan mati.
***
“Bu, apa kabar?”
“Baik, Nak. Cucu Ibu bagaimana? Sehat?”
“Alhamdulillah sehat, Bu. Ibu baik-baik sajakah?” kudengar si Sulung bertanya khawatir.
“Ibu baik, Ibu sehat, kenapa?” tanyaku balik.
“Kudengar Ayah selingkuh, minggu depan aku pulang, aku perlu bicara pada Ayah,” ucap si Sulung geram dengan emosi yang ditahan.
“Tidak usah, adik-adikmu sudah bicara dengan Ayah, Kedua dan Ketiga sudah memberi pelajaran pada kebiasaan ayahmu, jadi biarlah, Ibu sudah lelah mengurus semua.”
Percakapan di telepon berakhir dengan meredakan emosi si sulungku, kutahan agar dia tidak pulang, menurutku buang-buang waktu mengurus kebiasaan buruk ayahnya sampai harus pulang. Jadi biarkan saja.
Sore yang mulai gelap, matahari mulai pulang. Sedangkan kita duduk di teras berdua, menunggu keempat anak kita pulang beserta suami, istri dan cucu kita.Kau bertanya, “Kita sudah tua, apa kau masih mencintaiku?” tanyamu sambil menatap mataku.
“Hatiku sudah lama mati tentang cinta, jadi jangan tanyakan lagi itu. Kau kumaafkan tapi hatiku tidak bisa sembuh walaupun kucoba setia mengabdi bertahun-tahun, maafkan aku.”
Kau diam, aku pun diam.(*)
Cahaya Fadillah, keturunan Minang tapi dicap sebagai orang Sunda tapi memilih hidup di Melayu.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di grup KCLK.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata