Hilangnya Buku Bruno
Oleh: Triandira
Tas selempang berwarna biru muda yang di bagian depannya terdapat gambar Doraemon—tokoh kartun yang membuatmu jatuh cinta hingga ingin mengoleksi benda-benda bermotif serupa, langsung kamu lemparkan begitu saja ke atas meja. Tak lama usai menutup pintu kamar tempat kita berada. Saat itu kamu benar-benar terlihat bahagia. Senyum yang seharian kemarin kamu sembunyikan pun akhirnya tersungging juga. Aku memang tidak tahu dengan apa yang sedang kamu rasakan, tapi dari binar matamu yang cerah itu dapat kusimpulkan bahwa ada hal manis yang telah terjadi di antara kalian. Kamu, dan lelaki yang belakangan ini namanya selalu tertulis di buku diary-mu.
“Coba lihat! Bagus, bukan?”
Aku tak berkomentar sedikit pun dan hanya melirik cepat benda yang kamu pegang sambil tersenyum kecut. Dalam hati, tak hentinya aku menggumamkan sesuatu. Oh, ayolah. Apa bagusnya buku itu. Sama sekali tak menarik untukku selain sampulnya yang memperlihatkan sesosok lelaki berjubah hitam dengan seorang teman. Hei, tunggu! Aku rasa aku mulai berubah pikiran.
“Apa yang kamu lakukan, Ken? Hentikan!” bentakmu tak terima dengan perlakuanku barusan, yang hampir menjatuhkan buku itu ke atas lantai setelah berhasil menyentuhnya. Ah, bukankah ini berlebihan? Aku hanya ingin melihatnya lebih dekat, maksudku teman si lelaki di sampul itu. Kalau diperhatikan ia sama tampannya denganku. Tapi seperti yang sudah kuduga, kamu terlalu cepat menyimpulkan sesuatu hingga akibatnya salah paham dengan apa yang kulakukan. Mungkin kamu kira aku akan merusak benda yang cukup tebal itu. Biar kutebak, kamu tidak akan bisa menyelesaikannya bacaan tersebut sekalipun dalam waktu yang lama.
Ingat! Kita sudah berteman sejak lima tahun yang lalu, jadi aku sudah hafal betul dengan sifatmu. Menari, menggambar dan membaca adalah hal-hal yang membosankan bagimu. Jika sudah begitu aku berani jamin, buku itu tidak akan bertahan lama di sini.
“Bruno mengizinkanku membawa pulang buku ini karena ia percaya aku akan membacanya, jadi aku harus menjaganya baik-baik. Jika tidak, maka ….” Aku menggeleng pelan, paham dengan arah pembicaraanmu. Tentu saja, kita tidak akan sanggup membayangkan kemarahan yang akan terjadi nanti, jika lelaki tersebut mengetahui fakta yang sebenarnya. Ditambah lagi dengan kecemasanmu barusan. Robek, kusut, atau hal lain yang membuat benda tersebut benar-benar tidak menarik lagi untuk dibaca.
Menyebalkan, aku jadi teringat kembali dengan masa lalu. Sesuatu yang membuatku cemburu setengah mati. Maksudku tentang sosok yang kamu sebutkan tadi. Sejak pertama kali bertemu, aku memang tidak menyukai Bruno. Sama halnya dengan semua lelaki yang pernah mendekatimu, tapi apa boleh buat. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan hanyalah berdoa agar hubungan kalian memburuk. Jika perlu, tidak akan ada lagi pertemuan-pertemuan berikutnya yang melibatkan kehadiranku di tengah-tengah kalian.
Keterlaluan. Dengan mengingatnya saja aku sudah kesulitan bernapas, lantas bagaimana bisa aku menyaksikan keromantisan kalian tanpa pipi yang memanas dan tatapan tajam seperti singa yang hendak menerkam mangsanya.
“Oh, ya. Besok Bruno mengajakku jalan-jalan. Kamu ikut ya, Ken?”
Aku bersin begitu kamu selesai bertanya, dan itu berhasil membuatmu merasa cemas. Beberapa hari ini kesehatanku memang sedikit terganggu. Tapi percayalah, kalimat itulah penyebabnya, yang membuat hidungku terasa gatal. Bukan cuaca dingin atau angin yang menerobos masuk melalui jendela.
“Kamu tidak apa-apa?” tanyamu yang bagiku tak lebih dari sekadar basa-basi. Tak ingin berlama-lama mendengarmu bercerita tentang Bruno dan hubungan kalian, aku memilih untuk pergi.
Aku butuh waktu untuk sendiri, sedangkan kamu … entahlah. Sepertinya kamu mulai tertarik dengan bacaan itu. Aku melihatnya dengan jelas. Kamu berpindah tempat, tengkurap di atas ranjang dengan kedua tangan yang terlipat di atas bantal. Sementara di depannya, sebuah buku memperlihatkan deretan huruf yang terlihat seperti garis dari tempatku berada. Agak jauh darimu, sebelum menghilang di balik pintu.
***
Cuaca cerah, hamparan rumput yang menghijau, dan barisan burung yang bermanuver di udara adalah hal yang telah lama kunantikan. Berbekal makanan dan minuman, kamu mengajakku ke tempat ini. Kita tak ubahnya pasangan yang tengah berkencan, duduk di atas tikar sambil bercengkerama. Sesekali kamu tertawa, lalu meneguk lagi sebotol soda yang dingin dan menyegarkan. Meski tak ikut meminumnya tapi aku tahu itu cukup melegakan tenggorokanmu yang sedang kehausan.
“Jika pulang nanti, aku akan membelinya lagi,” ucapmu tiba-tiba seolah aku sedang bertanya. Sepertinya kamu sangat menyukai minuman itu sampai-sampai berniat membelinya untuk kedua kali. Aku yang sedang menikmati cemilan jadi heran. Matahari belum bersinar terik tapi kamu sudah terlihat gerah. Keringat di dahimu bahkan sempat keluar dan menetes hingga kamu buru-buru mengusapnya dengan tisu. Mungkin kamu tidak ingin terlihat berantakan di depan Bruno nanti. Lelaki yang menyuruhmu datang kemari. Sedangkan aku? Seperti biasa, aku hanyalah teman yang kamu jadikan alasan agar mendapatkan izin dari orangtua untuk keluar rumah hingga bisa bertemu dengannya.
Sial memang. Tidak hanya berhenti di situ, sekarang kehadirannya malah merusak pemandangan yang ada. Kukira Bruno tidak akan datang, mengingat sudah puluhan menit lamanya kita menunggu lelaki itu di sini, tapi ternyata aku salah. Mendadak ia muncul dari arah selatan sambil melambaikan tangannya ke arahmu.
“Maaf ya, aku sudah membuat kalian menunggu terlalu lama.”
Dasar penipu. Ia meminta maaf tapi wajahnya tak sedikit pun menyiratkan rasa penyesalan. Jangan-jangan ia terlambat datang bukan karena ada kepentingan yang mendesak, seperti yang diucapkannya barusan, melainkan karena sibuk dengan gadis lain di luar sana. Aku bahkan tidak yakin jika Bruno adalah seorang kutu buku. Menurutku ia hanya playboy yang pandai menarik perhatianmu. Benar-benar membuatku kesal. Bolehkah aku mencakarnya?
“Tidak masalah. Aku mengerti itu, kau pasti sangat sibuk, bukan?”
“Ya, begitulah,” balas Bruno menimpali ucapanmu.
“Hm, kalau begitu tunggu apa lagi? Kita sudah kehilangan banyak waktu. Ayo, duduk dan nikmati kue ini bersamaku.”
Apa aku tidak salah dengar? Bukannya menunjukkan kekesalan, kamu malah menyunggingkan senyum terhadapnya. Sulit dipercaya. Sepertinya kalian tidak hanya lupa, tapi juga sengaja mengabaikanku.
“Oh, ya. Bagaimana dengan buku yang kupinjamkan kemarin? Aku harap kamu menyukainya.” Bruno membuka kembali perbincangan setelah beberapa saat kalian sama-sama terdiam.
Aku yang sejak tadi sudah merasa kesal karena kedatangannya, hanya mendengarkan ocehan kalian sambil terus menikmati makananku sendiri. Lumayan, setidaknya masih ada sesuatu yang bisa kutelan meski rasanya tak seenak makanan yang kita beli di toko langganan. Entah kapan kita bisa ke sana lagi dan berbelanja bersama-sama. Itu pasti menyenangkan, tapi aku tak berani berharap. Kamu sudah berubah dan tak peduli lagi terhadapku.
“Buku itu? Aku sangat menyukainya,” jawabmu kemudian.
“Benarkah?”
“Tentu saja. Tak butuh waktu lama bagiku untuk membacanya, dan aku rasa dua atau tiga hari lagi buku itu sudah bisa kukembalikan padamu.”
“Wow! Secepat itu?”
“Ya, aku mengatakan yang sebenarnya. Bukan begitu, Ken?”
Aku menoleh cepat. Mendengar obrolan kalian barusan, aku jadi teringat sesuatu. Kemarin malam, ketika kamu sedang terlelap, diam-diam aku masuk ke kamarmu melalui jendela yang masih terbuka. Tadinya aku ingin membangunkanmu, seperti biasanya ketika aku telah bersikap buruk dan tidak memedulikan sapaan yang kamu berikan. Tapi melihat buku milik Bruno tergeletak di lantai, aku jadi berubah pikiran.
Kuseret perlahan benda itu menggunakan kakiku, lantas menendangnya hingga masuk ke tempat yang gelap. Kolong lemari pakaianmu yang sudah berdebu tebal. Jangan tanya bagaimana aku mengetahuinya. Kamu jarang membersihkan tempat itu, jadi sudah bisa dipastikan bahwa kolong tersebut sangatlah kotor.
“Maaf. Mungkin setelah ini hubungan di antara kalian akan merenggang sekalipun Bruno memaafkanmu, tapi setidaknya ia tidak akan meminjamkan buku lain kepadamu,” batinku, merasa senang karena tidak ada yang perlu kucemaskan lagi. Aku telah melenyapkan sesuatu yang bisa mengeratkan hubungan kalian. Kalaupun benda itu berhasil kamu temukan, keadaannya mungkin sudah berbeda, tak semenarik saat kamu meminjamnya dan membawa pulang ke rumah.
Aku lega. Mulai sekarang hubungan kitalah yang akan membaik. Aku tahu ini bukanlah sesuatu yang patut untuk dilakukan, tapi siapa yang peduli. Bagiku, tidak ada yang berhak mendekatimu atau menjadikanmu seorang kekasih kecuali jika aku yakin bahwa ia adalah sosok yang baik. Oh ya, satu hal lagi. Siapa pun atau apa pun yang bisa menyebabkan rusaknya hubungan di antara kita, aku tidak akan segan-segan menyingkirkannya. Hanya itu. Jadi … jangan salahkan aku jika bersikap demikian. Sekali lagi, ini semua kulakukan karena aku menyayangimu.
“Aku tidak yakin, tapi apa dia sedang melamun sekarang?” tanya Bruno penasaran sebab aku tak kunjung merespons apa yang kalian bicarakan.
“Tidak. Ken mana bisa melamun. Iya kan, Ken?”
Kamu menyentuh pelan tubuhku hingga aku sedikit berjingkat, dan itu semakin membuat Bruno merasa heran. Ia menatapku dengan dahi yang berkerut, beberapa saat usai aku mengeong keras.(*)
Malang, 04 November 2018
Tentang Penulis:
Triandira, penggemar Spongebob dan Harry Potter yang belakangan ini menyukai cerita bergenre romance dan fantasi. Bisa dihubungi melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata