Hilang Belum Tentu Pergi

Hilang Belum Tentu Pergi

Hilang Belum Tentu Pergi
Oleh : Elmero_id

Marni gadisku, tidak lagi sekarang. Bagaimana aku menggambarkan sosoknya dalam bentuk kekecewaan? Sekitar sembilan bulan yang lalu dia datang kepadaku membawa isak tangis. Jelas aku khawatir, dia tidak pernah sehancur ini sebelumnya. Lantas, apa yang membuatnya begitu bersedih?

“Aku hamil.”

Dua kata tersebut serasa mendorongku karam ke laut kegelapan. Ini adalah Desember paling kelabu dalam hidupku. Aku bahkan kesulitan bernapas walau sejenak. Untung saja, sakit di dadaku tak menimbulkan serangan jantung mendadak. Usiaku masih terlalu dini untuk terkena penyakit itu.

“Kenapa kamu bilang padaku?” Jelas kalimat itu yang kulontarkan. Aku bukanlah lelaki yang tidur dengannya.

“Dewa tidak mau bertanggung jawab.” Isak tangisnya semakin menjadi.

Marni, aku tidak tahu apa yang membuatmu menerima cintanya kala itu. Kau tahu sendiri, sejujurnya hatiku hancur melihatmu tersenyum mengabarkan bahwa kau sudah menjadi pacarnya. Padahal, sebelumnya aku juga menyatakan cintaku kepadamu. Tapi kau berdalih, “Imam, kita sudah berteman dari kecil. Aku tidak mau mengubah status kita, lalu menjadi asing kalau hubungan kita tak berhasil.”

Shit! Omong kosong macam apa itu? Kau menolakku, berbahagia menjalin hubungan cinta dengan lelaki lain, dan mengadu saat kau telah ternoda. Apa kau pikir aku akan sukarela bertanggung jawab atas apa yang sama sekali tak kulakukan?

“Lalu?” Setelah beberapa saat terdiam aku mengeluarkan suara bernada dingin. Aku bahkan tak sudi menatapnya.

“Kamu mau menolongku?” Perlahan dia meraih tanganku.

“Marni, ada sesuatu yang sepertinya aku lupakan.” Aku menolak tangan lembut itu menggenggam.

“Apa?” Isak tangisnya telah redam, tapi kedua bola matanya masih berkaca-kaca.

“Tunggu!” Aku berpura-pura mengecek ponsel. “Ah, Ibu memintaku membeli obat. Dia sudah mengirimku chat lagi untuk segera pulang. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama.” Aku berbohong. Tubuhku mulai bangkit dari kursi taman tempat kami berbincang.

“Aku tidak akan meminta tolong padamu untuk bertanggung jawab atas kehamilanku, Imam.” Dia menahanku sedikit berteriak.

Apa yang ada dalam pikirannya? Beberapa orang yang mendengar kalimat barusan saling berbisik.

“Anak muda jaman sekarang. Pacarannya terlalu bebas.”

“Kurang ajar. Kalo aku jadi cewek itu, sudah kulaporkan ke polisi.”

“Berani berbuat, kok, gak berani bertanggung jawab?”

Diam! Aku sama sekali tidak ada hubungan dengan kehamilannya. Tubuhku seketika berbalik, menyeretnya berpindah tempat dari sini. Bahkan saat kulakukan itu, orang-orang masih menggunjing.

“Jahat banget, ya.”

Sambil berjalan, aku mulai melontarkan pertanyaan. “Apa maumu?”

“Tolong aku.”

Langkahku terhenti. “Aku tidak mau bertanggung jawab atas apa yang tidak kulakukan,” kataku, membuatnya tertunduk lesu.

“Aku juga tidak akan meminta hal tersebut,” kata Marni lirih.

“Lalu?” Aku sedikit memicingkan mata dan menarik kerutan-kerutan di dahi.

“Tolong aku untuk mencari tempat aborsi.”

“A-aborsi?” Aku memang tidak mau bertanggung jawab atas kehamilannya. Namun, kenapa dia harus menggugurkan kandungan itu? Bukankah seharusnya dia memintaku menghajar Dewa agar mau bertanggung jawab.

“Ya.”

“Marni! Kamu sudah melakukan dosa besar tidur dengan lelaki bajingan itu. Sekarang kamu mau menambahnya dengan membunuh jabang bayi dalam perutmu. Kejam kamu, Marni! Kamu bukan Marni yang kukenal.” Aku naik darah. Langkah kakiku terayun begitu saja meninggalkannya.

Seminggu telah berlalu. Jujur saja, tidurku tak nyenyak memikirkan nasib Marni. Sedangkan di kampus, kulihat Dewa sudah menggandeng cewek baru. Cewek bodoh berikutnya yang mungkin akan jadi korban seperti Marni. Sudah tiga hari, aku tidak melihat batang hidung Marni di kampus. Aku ingin tahu kabarnya, tapi ego menahanku mengiriminya pesan singkat.

“Imam, tolong aku.” Satu pesan masuk dari Marni. Baru tadi siang aku berpikir untuk mengirim pesan. Malam ini dia duluan yang mengabariku. Apa mungkin sebenarnya kami memiliki ikatan batin?

“Apa, Marni?” balasku.

“Aku mulai mabuk dan sering muntah-muntah setiap kali makan. Sudah tiga hari ini aku tidak bisa bangun dari tempat tidur. Aku takut Ayah dan Ibu tahu kalau aku hamil.” Pesan yang membuatku kembali tak merindui Marni. Maksudku, seharusnya Dewa ‘kan yang mendapat pesan ini?

Karena kesal, aku tak membalas pesan Marni itu.

“Tolong carikan tempat aborsi. Aku mohon.” Pesan lanjutan masuk ke ponselku.

Sejujurnya, Marni, jika saja kau sedang tidak mengandung, maka aku siap menikahimu di usia muda ini. Tapi, kondisimu akan membuat kedua orang tuaku marah besar. Aku tidak mau mengambil risiko mereka terkena serangan jantung mendadak kalau aku mengakui jabang bayi itu milikku. Aku saja yang masih muda begitu kaget mendengar pernyataanmu, apalagi kedua orang tuaku. Sama saja aku akan membunuh mereka secara tidak langsung.

“Baiklah, Marni. Aku akan mencari informasi dukun aborsi untukmu,” balasku padanya.

Keesokan harinya, aku tidak mau bertanya pada orang-orang yang kukenal mengenai dukun aborsi. Bisa-bisa mereka mencurigai sesuatu padaku. Jadi, aku pergi sangat jauh dari kota ini dengan skuter matik ke kampung-kampung di sebelah, barangkali ada dukun aborsi ternama. Tapi yang kudapat, hanya omelan dari orang-orang dengan akhir kalimat, “Dasar laki-laki kurang ajar! Berani berbuat, kok, gak berani bertanggung jawab. Malah cari dukun aborsi.”

Hei! Bukan aku yang melakukannya, tapi Dewa.

Di sebuah warung pinggiran jalan, aku beristirahat. Memesan kopi hitam dan mengisap tembakau untuk menenangkan pikiran. Lalu, kudengar sebuah percakapan pemilik warung dan kurir antar barang.

“Boneka pesanan dukun aborsi itu lagi?” tanya pemilik warung.

“Iya, Mak. Kok tahu? Padahal saya belum mulai cerita,” jawab si kurir antar.

“Tempe dong! Kemarin kan ada sepasang muda-mudi yang datang ke sana buat aborsi,” tutur si pemilik warung, tapi kali ini si kurir tidak menimpali perkataannya. Dia hanya tersenyum sambil meniup kopi hitamnya yang masih panas.

Apa kutanya mereka saja?

Tidak ada jalan lain. Ya ampun, padahal sedari tadi aku bertanya mengenai dukun aborsi memakai masker agar tak dikenali. Tapi situasi kebetulan ini malah terjadi saat aku tak memakai masker. Biarlah, lagi pula aku tak kenal dengan mereka.

“Maaf, kalian bicara soal dukun aborsi?” tanyaku membuat mereka sama-sama berpaling dengan tatapan tajam. Sial!

“Kenapa? Kamu mau menggugurkan kandungan pacarmu juga?” tanya si kurir antar barang.

Tentu saja aku menjawab, “Tidak! Aku hanya ingin tahu saja.” Memang begitu adanya, kan? Aku mencari informasi dukun aborsi untuk Marni dan dia bukan pacarku.

“Ikuti saja jalan ini sampai mentok. Terus di pertigaan nanti belok kanan. Hitung tiga belas rumah setelahnya. Tepat di sebelah kiri, rumah berwarna hijau. Di depannya ada ayunan anak-anak. Kalau beruntung, orangnya sesekali lagi ada di luar. Dia momong boneka-bonekanya main di ayunan.” Si pemilik warung menjelaskan secara detail, tapi ceritanya sedikit aneh. Dia itu sedang memberi tahu dukun aborsi atau orang gila? Masa momong boneka?

“Mak, saya jalan lagi yak. Paket barang banyak banget soalnya.” Si kurir antar barang sudah menghabiskan kopi hitamnya. Dia pun bergegas dari warung kecil ini.

Aku sendiri masih termenung berpikir. Apa dukun aborsi yang mereka ceritakan aman? Aku takut kalau orang itu malah punya gangguan jiwa dan membahayakan nyawa Marni.

“Ratna itu dukun ternama di desa ini.” Tiba-tiba ibu pemilik warung ini kembali bercerita. “Cuma kelakuannya emang sedikit aneh. Setiap kali berhasil menggugurkan kandungan, dia pasti memesan sebuah boneka. Kata orang-orang sih, nyawa bayi aborsi itu ditaruh di boneka tersebut.” Wow. Aku cukup terkejut dengan penjelasan ibu warung ini.

“Tapi, aman ‘kan gugurin kandungan di sana?” tanyaku memastikan.

Ibu itu tersenyum kecil, seolah firasatnya tentang aku lelaki kurang ajar yang menghamili seorang gadis benar. “Aman, kok,” jawabnya.

Aku akhirnya mengakhiri percakapan ini. Tak perlu ibu itu tahu kalau aku tengah membantu seorang gadis yang lelakinya tak mau bertanggung jawab. Biar saja, jika dia mau berpikir kalau aku lelaki kurang ajar yang membawa pacarnya untuk aborsi. Lagi pula, tempat ini jauh dari kotaku. Sekitar tiga jam untuk sampai di tempat ini.

“Kamu yakin?” tanyaku pada Marni setelah semalam kukabarkan sudah mendapat informasi mengenai dukun aborsi.

Aku meminjam mobil salah satu temanku karena kondisi mabuk Marni membuatnya tak kuat untuk naik motor. Entah alasan apa yang dia buat pada kedua orang tuanya selama ini. Aku yakin, mereka juga pasti curiga kalau sesuatu tengah terjadi pada anak gadisnya. Apalagi dia menolak untuk dibawa berobat meskipun wajahnya sudah pucat pasi. Tapi, tiba-tiba saja dia bilang mau ke dokter bersamaku.

Aku takut, Marni. Takut bila kedua orang tuamu tahu kau tengah mengandung dan aku dituduh sebagai pelakunya.

“Iya, Imam. Ayo berangkat.” Marni yang kelihatannya lemas lantas naik mobil duluan dan aku mengikutinya.

Tiga jam berlalu dalam perjalanan sunyi kami. Tak ada sepatah kata merajut sebuah obrolan. Marni terlihat sangat lunglai bersandar pada kaca mobil. Aku takut terjadi apa-apa dengan kondisinya yang seperti ini.

“Marni, kamu yakin?” tanyaku kembali saat mobil sudah terparkir di depan rumah dukun aborsi.

“Tidak ada pilihan lain, Imam.” Dia tersenyum kecil. Aku tahu beban berat tengah dipikulnya. Apalagi perbuatannya kali ini pertaruhan dengan nyawa.

“Bagaimana kalau kita temui Dewa? Kita minta pertanggungjawabannya.”

Isak tangis Marni pecah. “Itu tidak akan berhasil,” katanya.

“Kita tidak akan tahu kalau tidak mencobanya!” Aku mulai berbicara dengan nada sedikit marah padanya.

Marni menatapku pilu. “Dia punya fotoku tidur dengan lelaki lain.”

Apa? Marni tidur juga dengan lelaki selain Dewa. Ya, Tuhan! batinku berkata-kata. Dia memang bukan Marni yang kukenal. Aku mengalihkan pandanganku, kecewa.

“Malam ketika pertama kami melakukannya, aku sangat lemas dan tertidur pulas. Tapi paginya, Dewa menunjukkan fotoku dengan lelaki asing di sampingku. Setelah itu, kami selalu melakukannya. Kalau aku menolak, Dewa akan mengancamku dengan foto itu. Pun dengan kehamilanku, aku sudah memintanya bertanggung jawab, tapi dia tidak mau. Kalau sampai aku membuat rumor yang tidak-tidak kalau ini anaknya, dia akan segera menyebar fotoku.”

Aku lekas keluar dari mobil karena emosi dan membanting pintu saat menutupnya. Sesegera mungkin kubuka pintu mobil di sebelah Marni untuk menyuruhnya keluar. Memang tidak ada jalan lain lagi selain aborsi. Karena aku tidak bisa bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak kulakukan.

Di dalam rumah dukun aborsi, Marni disuruh mengisi sebuah formulir persetujuan. Satu poin yang kuingat dari formulir itu, ada kolom alamat yang harus diisi. Setelah selesai, dia dibawa ke salah satu kamar. Aku mendengarnya menjerit menahan kesakitan. Tangisku tumpah, apa aku juga berdosa telah membantu Marni menggugurkan kandungannya? Maafkan aku, Marni. Aku hanya lelaki biasa yang tidak bisa menerima kondisi perempuan sepertimu.

Sekitar sembilan bulan telah berlalu. Marni menjadi pribadi yang pendiam. Dia juga urung memulihkan kondisi batinnya pascaaborsi tempo itu. Lebih-lebih, dia menjadi sangat tidak percaya diri. Aku sudah mencoba mengembalikan kepercayaan dirinya, tapi tak pernah berhasil. Hari ini, entah hari keberapa aku membawakannya seikat bunga dan cokelat. Kedua orang tuanya bahkan mengira kami mulai menjalin hubungan. Meskipun perasaan cintaku pada Marni sudah musnah, entah mengapa aku menerima kalau kami dikira tengah berpacaran. Mungkin, karena rasa bersalahku telah melenyapkan jabang bayi itu.

“Terima kasih,” ucap Marni tersenyum. Aku sudah tidak merasakan kenyamanan lagi pada senyumnya—terasa hambar.

Kami duduk di ruang depan. Lalu, seseorang datang mengetuk pintu. Marni bangkit untuk membukanya. Tak disangka, Ibu Ratna—dukun aborsi itu—tersenyum menggendong sebuah boneka di depan pintu.

“Apa kabar, Cantik?” Dia bertanya dan aku panik menghampiri.

“Ibu ngapain ke sini?” tanyaku.

“Saya cuma ingin melihat kondisi ibu dari anak ini.” Dia melirik boneka dalam gendongannya. “Sudah sembilan bulan. Sekarang dia bukan jabang bayi lagi, dia sudah menjadi bayi,” ucapnya tersenyum.

Dukun aborsi ini memang benar-benar gila. Aku tak habis pikir dengan apa yang tengah diucapkannya.

“Ya sudah. Saya kembali pulang. Saya tahu kehadiran saya mengganggu kenyamanan kalian berdua. Saya cuma mau menenangkan bayi ini yang ingin bertemu dengan ibunya.” Ibu Ratna lantas berbalik meninggalkan kami.

Selang beberapa langkah, Marni menangis dan jatuh dalam rangkulanku. Aku rasa kedatangan Ibu Ratna membuatnya terpukul kembali. Namun, aku mendengar sesuatu yang di luar dugaan keluar dari mulut Marni.

“Dia benar anakku. Dia menoleh dan melambaikan tangannya padaku.”

Apa? Aku sepertinya salah dengar. Mungkinkah Marni sudah sama gilanya seperti Ibu Ratna?

Tashikumaraya, 30 Januari 2021
Seorang pemimpi kecil yang suka mendongeng bernama Elmero_id. Lahir di Tashikumaraya, 18 Mei 1994. Penggemar lagu-lagu Taylor Swift garis keras.

Editor : Fitri Fatimah

Leave a Reply