Hijaunya Cinta
Oleh: Medina Alexandria
Minggu pagi, Ami terbangun sebab gaduh dalam perutnya. Lambungnya kemerucuk, berdemo meminta hak. Gadis itu memang belum makan semenjak pulang kerja hari kemarin.
Kamarnya masih gelap, berkas-berkas cahaya matahari berlomba-lomba menembus tirai jendela yang belum dibuka. Sebuah kaus berwarna hijau muda teronggok di kaki tempat tidur, di samping tas rajut cokelat susu yang dia lempar sembarangan sesaat setelah memasuki kamar. Sebentuk kertas tebal berwarna hijau dengan sampul plastik menyembul dari bibir tas yang terbuka.
Pagi di hari libur biasa dia habiskan dengan berlari-lari kecil mengelilingi lapangan bola tak jauh dari rumahnya. Namun, Minggu kali ini, jangkrik-jangkrik di bawah rumput-rumput lapangan bisa bebas mengerik tanpa perasaan was-was akan terinjak sepatu Ami.
Gadis berkulit cokelat tanah itu bangkit perlahan, lalu menurunkan kaki-kakinya ke lantai. Telapak kakinya mendarat tepat di atas kaus hijau muda satu-satunya yang dia miliki. Ami menunduk, mengarahkan pandangan kepada sepasang kaki juga baju di bawahnya, baru sekali dia pakai, lalu matanya berhenti pada kertas hijau bersampul plastik yang menyembul dari bibir tas. Setitik air, menetes dari kelopak matanya yang sembab sisa menangis semalaman.
“Sekarang aku sungguh-sungguh membenci warna hijau,” desisnya.
Sebelumnya, Ami memang tak pernah mengenakan pakaian berwarna hijau, bukan karena tak suka, dia hanya tak ingin penampilannya diasosiasikan dengan stereotip kesukuan, darah Madura yang dicap kasar dan kampungan mengalir dalam tubuhnya.
Pemuda bernama Ariq itu baru satu bulan bergabung sebagai resepsionis di tempat Ami bekerja, sebuah homestay di pegunungan yang ramai pengunjung. Mungkin karena itulah mereka berdua tidak begitu saling mengenal, setiap pegawai sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
“Selamat pagi,” sapa Ariq.
Ami menoleh, pemuda itu berdiri beberapa langkah di belakangnya. Dia memakai jaket warna hitam dengan aksen garis hijau di beberapa bagian, mengingatkan Ami pada jaket pengojek online. Gadis itu sejenak menghentikan aktivitasnya merapikan pagar taman, tersenyum, membalas sapaan Ariq, kemudian kembali mengayunkan sabit pada pucuk-pucuk perdu mirten.
Sejak wabah Covid dinyatakan sebagai pandemi, penginapan tak lagi ramai. Para pekerja menjadi tidak begitu sibuk, hingga tiap hari si pemuda resepsionis itu bisa mengunjungi taman di depan lobi.
“Aku menyukai aroma yang menguar dari rumput-rumput yang kau potong, bagaimana denganmu?” katanya di pagi yang lain.
Dia duduk di gazebo yang dibangun di atas kolam ikan koi. Sebelum dia datang, Ami sudah berada di sana, beristirahat setelah berpanas-panas di bawah matahari dengan mesin pemotong rumput.
“Aku menyukai apa pun yang ada di taman ini,” sahutnya.
Ariq tampak memejamkan mata dan menghirup udara sebanyak paru-parunya mampu. Diam-diam Ami menelusurkan pandangan pada wajah serupa aktor sinetron itu, lalu turun pada baju batik dengan kombinasi warna hitam dan hijau, jam tangan hitam dengan jarum-jarum hijau, dua gelang yang dianyam dari dua warna benang lagi-lagi hijau dan hitam, dan terakhir, sepatu sneaker hitam dengan tali hijau terang.
“Apa kau juga menyukai warna hijau?” Ami menunjuk-nunjuk apa yang baru dia perhatikan pada tubuh Ariq.
“Iya. Tidakkah menurutmu hijau adalah warna yang istimewa? Warna bumi, warna kehidupan. Lihatlah taman yang kau rawat ini!”
Binar antusias berkilat-kilat di matanya. Telapak tangan kanannya terbuka, jari-jarinya saling merapat lurus. Dia menggerakkan lengan menyisir sekeliling taman.
Ami mengikuti gerakan tangan Ariq, pandangannya menyusuri rerumputan yang baru dia rapikan. Rumput-rumput itu adalah bingkai bagi berlarik-larik bunga aneka rupa yang Ami tanam di tengah taman, lalu hamparan hijau itu berakhir pada pohon-pohon cypress raksasa yang konon sudah berusia seratus tahun.
“Aku tidak membenci warna hijau,” kilah Ami, kemudian mereka tertawa.
“Kau adalah ahli taman terbaik,” lanjut Ariq.
Ami menatap pemuda itu. Dia berharap menemukan sesuatu dalam raut wajahnya, mungkin hinaan? Atau cemoohan? Namun Ariq tampak begitu tulus. Si gadis pun tersenyum samar.
“Orang-orang bilang ayahmu ahli taman terbaik dan kepergiannya membawa serta kehidupan di taman ini. Sebelum kau datang untuk melanjutkan pekerjaannya, mereka bilang taman ini mati mengikuti ayahmu. Menurut mereka kau mewarisi tangan dinginnya dalam merawat taman.”
Gadis yang tak pernah sudi memakai baju berwarna hijau itu mulai berkaca. Ariq refleks meraih tangannya. “Apa aku berkata salah?”
Ami menggeleng.
“Aku senang orang-orang begitu menghargai pekerjaan Ayah dan aku berterima kasih untuk semuanya. Mungkin Ayah yang telah menuntunku ke sini, aku seperti merasakan keberadaan beliau pada rumput-rumput hijau, pada wangi pohon cypress juga segarnya bunga-bunga. Seolah ayah tak pernah pergi.
Mereka masih saling menggenggam.
Pemuda itu telah menyemai benih bunga-bunga di hati Ami, bunga yang rantingnya tiap hari tumbuh semakin rimbun. Kuncupnya pun mulai bermekaran.
Sore selepas kerja, gadis itu mendatangi sebuah toko baju. “Saya mencari kaus warna hijau,” katanya saat pelayan toko bertanya.
Langkah gadis berkaus hijau itu terlihat sangat ringan, rambutnya bergerak ke kiri ke kanan mengikuti irama tubuhnya. Ia bersenandung riang sepanjang jalan.
Dia berharap pemuda itu melihatnya hari ini. Dia ingin pemuda itu melihatnya.
Beberapa menit berlalu, dan pemuda itu kini benar-benar berdiri tepat di hadapannya, menggenggam sebentuk kertas bersampul plastik.
“Apa ini?” tanya si gadis.
“Lihatlah.” Pemuda itu menyodorkan kertas berwarna hijau dengan sampul plastik.
Jari-jari Ami bergetar. Pada kertas yang setiap hurufnya tercetak sewarna emas, di atas hamparan rumput, dengan latar belakang pohon-pohon cypress raksasa, pujaan hatinya duduk beradu punggung dengan seorang wanita, jari-jari keduanya saling bertaut. (*)
Medina Alexandria. Bidan yang suka menulis.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.