High Heels

High Heels

High Heels

Oleh: Ika Marutha

 

 

“Juliet, jadilah pacarku.”

Seno, teman kecil Juliet dari kampung datang ke kontrakan Juliet sambil membawa sebungkus terang bulan.

Juliet menolak. Katanya, dia tidak jauh-jauh datang ke kota hanya untuk menjadi kekasih orang kampung. “Perbaikan keturunan, dong. Aku mau cari suami orang kota, yang kulitnya putih, giginya cemerlang, naiknya BMW.” 

Terang bulan bertabur meses dan wijen pun ditolaknya. “Lain kali bawakan aku pizza, sushi, steak. Aku sudah tidak makan makanan beginian. Lagian, cowok menyatakan cinta itu mestinya bawa bunga, bukan ginian,” cibir Juliet.

Seno adalah seseorang yang memuluskan jalan Juliet mendapatkan pekerjaan di kota. Sebagai sekretaris di salah satu perusahaan swasta, rupanya ia terlalu naif untuk berharap bahwa Juliet akan membalas semua jerih payahnya dengan cinta. Seno pun pulang dengan hati hancur.

Berbeda dengan seseorang yang bernama Bobby. Orang kota yang kulitnya putih, giginya cemerlang, naiknya BMW, cowok yang Juliet taksir mati-matian. Untuk cowok selevel Oppa Korea seperti Bobby, tentu saja saingan Juliet tidak sedikit, bejibun jumlahnya. Tidak ada habisnya, dan cantik-cantik. 

Juliet yang wajahnya manis dari lahir dan tidak butuh filter kamera jahat, meradang setiap kali melihat Bobby, yang kebetulan juga adalah bosnya di kantor, dikelilingi cewek-cewek cantik dan seksi. Dia ingin lebih cantik, lebih seksi, supaya perhatian Bobby teralih hanya kepadanya. 

Juliet mulai mengubah penampilannya. Bibirnya yang tipis dioperasi jadi sedikit lebih tebal, biar mirip Angelina Jolie. Dagunya diruncingkan, sampai-sampai andai kata ada balon menyentuhnya, bisa  langsung meletus. Hidungnya pun dibuat mancung mengalahkan Pinokio. 

Juliet mendadak terkenal. Follower Instagram-nya naik drastis. Sebagian netizen memuja penampilannya yang sempurna meski palsu, tetapi banyak juga yang mentertawakan dan menghinanya. Kemudian Bobby? Bobby juga mulai tertarik. Ia bahkan menyapa Juliet lebih dulu.

“Hai, Juliet. Mau makan siang denganku?”

Awalnya makan siang, lalu makan malam, akhirnya mereka berdua jadian dan menjadi sepasang kekasih paling hits di kantor. Masa-masa itu adalah masa paling membahagiakan bagi Juliet. Pengorbanannya terbayar sudah. Segala penderitaan jiwa dan raga yang dia alami, juga harta bendanya yang ludes demi melakukan perubahan itu, telah membuahkan hasil. 

Perlahan dan pasti, Juliet si cewek kampung, menjadi sosialita yang glowing. Saudara dan temannya di kampung tidak ada lagi yang dapat mengenali sosoknya sekarang. Gayanya berdandan pun sudah berubah. Kata Juliet, ini era terbuka, kebebasan, begitu pula dengan fashion, harus serba terbuka sebagai lambang freedom

Hanya ada satu yang belum lengkap, mengganjal bagai selilit. High heels. Juliet tidak bisa pakai high heels. Baru berjalan dua meter saja, tubuhnya sudah limbung. Berjalan menggunakan high heels baginya terasa sama sulitnya dengan berjalan di atas tali. Mungkin itu dikarenakan tubuhnya yang tidak seimbang. Keberatan buah dada. Ah, seharusnya dia tidak mengikuti kemauan Bobby untuk menjejalkan lebih banyak silikon di dadanya. Selain jadi berat, tumpah-tumpah, Juliet juga sering kesulitan mencari posisi rebahan yang nyaman.

High heels adalah mimpi buruknya dan Bobby mengemas mimpi buruk itu ke dalam sebuah kotak berlabel Jimmy Choo diikat pita merah.

“Kamu akan terlihat sempurna dengan ini, Beb.”

Juliet memandang sepasang benda, yang dalam hemat cewek metropolis adalah benda berkilau paling seksi abad ini, dengan tatapan ngeri. “Please, Hun, kau tahu aku tidak pernah memakai heels.”

Bobby mencebik manja. Dia memandang Juliet dengan tatapan anak anjing lucu, imut, minta dipeluk, minta dipenuhi segala maunya, tidak menerima penolakan. 

“Aw, Hun! Baiklah kalau itu yang kau mau.” Sedikit high heels dalam hidupnya, tidak akan menyakitkan, bukan? Itu hanya high heels, tidak setajam pisau bedah dan jarum suntik yang sebelumnya telah begitu akrab dengan Juliet.

Sepatu itu menarik Juliet ke sebuah gala dinner, tempat para pengusaha, pejabat, dan selebritis berkumpul. Semua mata tertuju kepada Juliet. Bintang-bintang mendadak redup jika disandingkan dengannya. Bobby dengan bangga memamerkan Juliet kepada rekan-rekannya. 

“Wow, nice boops!” komentar Niki, seorang artis yang terkenal dengan gosip sensasionalnya, menjadi pelakor seorang koruptor.

Juliet tersenyum kikuk. Dia mengenali sebagian besar wajah para tamu. Mereka sering wara-wiri di layar kaca atau pun di layar Youtube. Hatinya semringah. Dia bangga menjadi bagian dari sebuah komunitas orang penting. Tak peduli kakinya sakit luar biasa karena heels sialan itu! Di sini, semua cewek memakai heels, bagaikan sebuah hukum tak tertulis yang harus dia patuhi.

Semakin malam, acaranya semakin meriah. Berbagai jenis minuman beralkohol mulai diedarkan dari meja ke meja. Musik semakin rancak, menggoda orang-orang yang setengah mabuk untuk bergoyang.

“Ayo, Beb, menari denganku.” Bobby mengamit tangannya.

Tak ada alasan untuk menolak. Juliet patuh mengikutinya, sambil tertawa bagaikan orang bodoh yang sedang menahan bisul di bokongnya, di tumitnya, yang benar. Kakinya tersiksa setengah mati, rasanya lebih menyakitkan dari prosedur pengecilan pinggul yang terakhir kali dia jalani. 

Juliet seorang pejuang. Dia bertahan dalam rasa sakit, menari jingkrak-jingkrak dengan Bobby. Namun, tubuhnya mempunyai batasnya sendiri. Kakinya berkhianat, tidak mau lagi bergerak mengikuti perintah Juliet. Juliet limbung, tangannya berusaha meraih apa saja untuk mencegah tubuhnya jatuh. 

Brekk!

Juliet merobek gaun seorang politikus terkenal, hingga terlihat semua aset si politikus yang seharusnya disembunyikan dari  pandangan umum.  Bobby memaki. Orang-orang mendengkus.

“Dasar cewek kampung!” 

Mata-mata kagum berubah jadi marah. Juliet menunduk, menatap pada high heels yang terlepas dari kakinya dan barulah dia menyadari arti kata freedom yang sebenarnya.

Banten, Juni 2021


Ika Marutha, alumni FK UNS angkatan tahun 2000, sudah tertarik untuk menulis cerita sendiri sejak bisa membaca. Beberapa karyanya tersebar dalam berbagai buku antologi cerpen dan saat ini aktif menulis cerbung di beberapa platform online. 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply