Hidupmu Tak Akan Sama Lagi, Ibuk

Hidupmu Tak Akan Sama Lagi, Ibuk

Hidupmu Tak Akan Sama Lagi, Ibuk

Oleh: Lutfi Rosidah

Aku Ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
Awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Supardi Djoko Damono

Puisi yang menyentuh itu mengawali lembar pembuka novel ini. Tak ada kata pengantar, ucapan terima kasih atau pun seremonial lain sebagai pembuka. Hanya sebuah persembahan dengan selarik kata: Untuk Bapak Untuk Ibuk. Penulis memilih hal yang jauh lebih dalam dari rangkaian kata memukau yang biasa ditulis olehnya.

Novel ini diterbitkan oleh Kompas Gramedia, 2012 catakan pertama dan 2017 cetakan ke lima. Ditulis oleh Arek Malang, tepatnya kota Batu, Iwan Setyawan. Seorang anak sopir yang berjuang mengangkat keluarganya dari keterbatasan hidup. Namun ketika kita membaca novel ini, kita tidak akan disuguhkan tentang penderitaan, tapi kita akan dihadapkan dengan perjuangan-perjuangan yang tak kenal lelah dari para tokohnya. Ada Ibuk, Bapak, Bayek dan ke empat saudaranya.

Seperti pada judulnya, tokoh utama dalam buku ini adalah seorang wanita yang mereka panggil Ibuk. Perempuan tangguh yang memiliki kekuatan melebihi apa pun di dunia ini.

“Hidup memang menantang. Hidup kadang melempar,kadang menampar.tapi hisup terlalu megah untuk diakhiri oleh diri sendiri.Bukankah keindahan hidup seringkali ditemukan dalam pilu.”

Novel ini mengajari kita tentang hidup. Bagaimana kehidupan itu diawali, diperjuangkan dan akhirnya diakhiri. Banyak mungkin kisah yang hampir sama dengan kisah ini, namun penulis mampu menyajikan makna yang lebih dalam hingga kita merasa bahwa kemiskinan bukan untuk ditangisi tapi dihadapi dan diperjuangkan. Bisa saja hidup tak memberi kemudahan, namun cinta bisa begitu menguatkan.

“Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai penderitaan.”

Kita juga diajak untuk memaknai rumah tidak melulu tentang wujud fisik. Rumah menjadi bermakna ketika ada nyawa dan kasih di dalamnya. Mungkin kita tak selalu berada di rumah kita, mungkin juga tak setiap saat kebersamaan bisa kita nikmati, dan penulis membuat sebuah jarak bukan alasan untuk menjadi asing dengan rumah dan keluarga.

Pada awal saya membaca novel ini, saya menduga bahwa ceritanya bakal tak jauh dari kisah-kisah inspiratif yang bertebaran di media social, yang bedarah-darah, yang menye-menye, kemudian berakhir bahagia. tidak! Kita tak akan disuguhi itu semua. Bahkan di sini kita tidak bertemu konflik yang tajam dan mengaduk emosi dengan cerita bak sinetron Indonesia. Kita akan bertemu dengan konflik sederhana yang sering kita alami setiap hari tapi yang malah benar-benar menguras emosi.

Sepanjang membaca, sepanjang itu pula saya merenungi tentang kehidupan. 40 tahun kisah yang diceritakan, bagaimana sebuah hidup diawali denganhanya bermodal cinta tulus dan diakhiri dengan cinta yang tak pernah mati.

Hidup memang tak pernah abadi, itu yang saya takutkan sepanjang membacanya. Saya takut ketika salah satu tokoh akan mati sebelum misinya selesai. Bayek, misalnya, tokoh yang akhirnya mengubah kondisi ekonomi keluarga, saya selalu takut jika dia akan mengalami kecelakaan atau sejenisnya. Tapi tidak. Tak ada sama sekali momen yang didramatisir di sini. semua terasa natural dan sesungguhnya. Bayek mampu menyelesaikan misinya, dia mampu memberi yang terbaik untuk keluarganya.

Ya! Memang novel ini diakhiri dengan kepergian. Bukankah hidup memang tak abadi? Semua kehidupan bermuara pada kematian. Aku, kamu, kita dan semua pada waktu yang tak pernah kita tahu akan mengalaminya juga. Lalu haruskah hidup hanya dengan menanti datangnya maut?

Jika kalian lelah menjalani hidup, coba bacalah novel ini!
Jika kalian ingin mengakhiri hidup, coba bacalah novel ini!
Jika kalian merasa hidupmu terlalu membosankan, coba bacalah novel ini!

Untuk pertama kalinya saya menangis saat membaca. Saya mengerti kenapa penulis berulang kali mengucapkan kalomat yang sama. Saya merasakannya, setelah membaca novel ini, hidupmu tidak akan sama lagi.

Tanpa kita akhiri, hidup pasti berakhir. Tapi berakhir seperti apa?


Lutfi Rosidah, seorang Ibu yang sedang belajar hidup dengan lebih bermakna.

Leave a Reply