Hidup Abadi
Oleh : Lutfi Rose
Langkah kakiku makin masuk ke dalam hutan. Hutan mangroof yang terhampar di bagian selatan Pantai Sendang Biru. Sebuah pulau kecil yang rimbun dengan pepohonan dan masih jarang dijamah manusia. Aku berhenti melangkah ketika kudengar suara mengaung dari balik batu hitam besar di depanku. Sejenak menunggu aungan kedua, tetapi nihil. Tak ada lagi suara itu. Aneh! Setahuku pulau ini tak dihuni binatang buas, hanya ular binatang yang paling diperhitungkan orang-orang.
Nyaliku sedikit menciut, namun aku tetap melanjutkan langkah. Tekadku sudah bulat, aku harus mendapatkan akar pohon abadi.
“Auw!” eluhku terkejut dengan sesuatu yang menancap di jempol kaki. Sebuah duri yang tersembunyi di antara semak-semak tak kulihat sebelumnya hingga terinjak.
Sekali lagi aku terpaksa menghentikan langkah. Sandal jepit yang kukenakan ternyata tak cukup kuat melindungi kakiku. Aku meringis menahan sakit, peluh mulai bercucuran, segera kuseka dengan punggung tangan. Meskipun mungkin itu sia-sia. Kurasakan mentari makin menyengat. Seharusnya mentari belum terlalu terik, perjalanan yang aku tempuh masih beberapa ratus meter. Tapi musim kemarau membuat matahari lebih sering menerik sekaligus menyengat. Kalau bukan demi Ibu, aku tak akan melakukan semua ini.
Semua bermula saat aku bercakap dengan Ibu, kulihat ada helaian perak di antara hitam rambutnya. “Apakah itu, Ibu?” tanyaku.
“Itu uban, Nak. Surat dari Tuhan,” jawabnya seraya membelai pipiku.
“Aku tak paham.”
“Tuhan memberi banyak surat cinta pada mahluk-Nya, Nak. Ketika usiamu menjelang senja, ketika waktumu tak lama lagi. Sedikit demi sedikit bagian diri kita akan diubah oleh-Nya. Mulai dari ingatan yang mulai memudar, kulit yang mulai keriput, pandangan yang serasa mengabur, juga rambut yang mulai berubah warna. Itu hukum alam, Nak. Waktu Ibu semakin sempit di dunia ini.”
“Apakah itu sakit?”
“Tidak. Semua terjadi tanpa kita menyadarinya.”
Aku terdiam, mencoba mencerna apa yang dikatakan Ibu. Apakah ini berarti Ibu akan mati? Seperti kakek tua di ujung jalan menuju rumahku. Tetapi dia memang terlalu tua, berjalan saja dia kesulitan. Ibu masih sehat dan tegak berjalan. Bagaimana jika Ibu memilih mengikuti Ayah, menerima surat cinta yang diberikan Tuhan? Meninggalkanku sebatang kara.
***
Kudengar seorang dukun sakti tinggal di gubuk reyot dekat bantaran kali di pinggir perbatasan desa. Aku nekat menemuinya.
“Carilah akar pohon abadi di hutan mangroof di pulau pantai selatan. Ambil dan bawa pulang, berikan pada ibumu. Kelak ibumu akan hidup abadi,” lelaki berjenggot dan berambut serba putih itu menjelaskan.
Tanpa pikir panjang aku berangkat ke dalam hutan, mendayung sampan seorang diri membawa bekal seadanya: nasi jagung di dalam bakul yang tinggal setengah sisa semalam dan ikan goreng dua biji dalam piring di sebelahnya. Kubungkus dan kumasukkan tas selempang putih yang tak lagi berwarna putih.
Ibu masih tertidur pulas, aku tak akan membangunkannya. Biarkan dia istirahat hingga aku kembali dengan kabar gembira.
***
Kembali aku melangkah setelah kucabut duri yang menancap di kakiku. Kusobek ujung blus untuk membungkus kaki yang terus saja mengeluarkan darah. Aku meringis menahan sakit. Ini perih sekali, tetapi tidak bisa dibandingkan dengan perihnya ditinggal Ibu.
Tekatku makin bulat, harus menemukan akar abadi itu. Terseok langkah demi langkah kutapaki. Makin ke dalam hutan makin rimbun pepohonan harus kulalui. Terik mentari mulai terhalang daun-daun. Hawa panas mulai berganti sejuk.
Di kejauhan tampak sebuah pohon dengan akar kukuh menghunjam ke tanah, persis yang digambarkan Pak Tua. Girang aku mendekatinya, mengeluarkan belati kecil yang terselip di antara bekal makanan di dalam tas. Tanpa ragu kuiris akar pohon itu. Aku terkejut saat tiba-tiba getah berwarna merah darah memuncrat dari luka yang kubuat di akan pohon itu. Ah! Sudah kepalang basah, aku harus bergegas mengambilnya dan segera pulang.
Beberapa potong akar telah kudapatkan. Akar yang penuh warna merah bagai bersimbah darah, kumasukkan dalam kantong kain yang kubawa dari rumah dan kumasukkan kembali ke dalam tas.
Suara kruk dari perutku memberi sinyal aku memang lapar. Kubuka terlebih dahulu bekal makanan sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Selekas mungkin kulahap nasi bersama dua ekor ikan gorengan Ibu. Nikmat sekali karena lapar.
Semua kulakukan dengan lekas. Aku tak sabar membawa kabar gembira pada Ibu. Segera kumulai perjalanan pulang.
Kembali aku melewati jalan yang tadi kulalui. Menyusuri rimbun pepohonan mengikuti bekas darah yang tercecer dari lukaku tadi. Tuhan sepertinya berpihak padaku, memudahkan aku mencari jalan kembali pulang. Suara aungan itu kembali terdengar, namun kembali lagi tak kutemukan sumber suaranya.
Aku percepat langkah kaki keluar dari hutan. Mendekati sampan yang kutautkan pada sebatang pohon di tepi laut. Perih kurasakan ketika air laut membasahi kakiku yang terluka.
“Kuat. Kuat. Semua sakit akan terbayar lunas,” ucapku menyemangati diri sendiri.
Kudayung sampan menuju ke seberang. Hari sudah mulai senja. Burung-burung tampak mulai beterbangan menuju sarangnya ke arah hutan. Seekor burung gereja tak sengaja menabrak sisi sampanku, dia terkejut, beruntung tak sampai jatuh ke air laut.
Sampai di pantai, kutinggalkan begitu saja sampanku. Aku berlari tak sabar ingin bertemu Ibu, melupakan rasa sakit di kaki dan pegal di seluruh bagian sendi. Ayunan kakiku baru berhenti saat kulihat rumahku dipenuhi sesak para tetanggaku.
“Kamu dari mana saja? Kami mencarimu dari pagi,” sapa ibu muda, tetangga samping rumah.
“Aku dari hutan, Mbak. Ada apa?”
“Segera masuk sana! Semua menunggumu. Kasihan ibumu jika harus dikebumikan besok. Sabar ya.”
Ibu muda itu berucap sambil merangkulku. Menepuk pundakku dengan lembut. Aku seketika ambruk dan bersimpuh. Apakah ini, Tuhan? Mengapa cinta-Mu merenggut ibuku? (*)
Lutfi Rose, Ibu yang tak pernah berhenti belajar.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata