Heran-Heran yang Membuatku Bodoh

Heran-Heran yang Membuatku Bodoh

Oleh Hassanah

 

Aku tak habis pikir, kenapa masih saja ada anak-anak yang bertengkar dengan saudara kandungnya? Bahkan mereka sudah besar. Sudah berkeluarga, juga memiliki anak yang sudah besar pula. Tapi, kenapa mereka tidak mau mengalah? Heran!

 

Mereka adalah majikanku dan adiknya. Adik satu-satunya. Tidak ada yang lain, hanya satu di dunia. Saudara sedarah dan sepersusuan yang hidup dan besar bersama. Dua saudara perempuan yang hanya berbeda usia tiga tahun saja.

 

Majikanku, dia adalah orang yang sangat keras. Keras kepada anak-anaknya, juga pada orang-orang yang berbuat seenaknya. Perempuan berusia lima puluh tahun itu juga keras kepadaku saat ibunya, yang hanya bisa berbaring karena strok, lupa aku beri camilan sore karena terlalu sibuk mengurus rumah. Belum lagi mempersiapkan makan malam untuk satu keluarga berjumlah lima orang itu. Aku sibuk sekali.

 

Akan tetapi, majikanku tidak pernah marah walau aku melakukan kesalahan selain yang berkaitan dengan ibunya. Seperti misalnya melakukan tindakan ceroboh saat membersihkan ruangan kerjanya. Kebetulan, dia adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam. Ketika itu, aku tak sengaja menumpahkan sisa kopi di meja kerjanya hingga membasahi kertas-kertas di atasnya. Entah kertas apa itu. Yang pasti kertas itu penting menurutku karena tulisannya berbahasa Inggris. Aku tahu itu karena di sana ada kata surgery dan urgent. Dua kata yang sering diucapkan oleh majikanku saat menerima telepon atau ditanya anaknya.

 

Tapi, majikanku tak marah. Dia hanya berkata, “Nanti bisa saya print ulang. Lain kali harus hati-hati. Paham?” Heran!

 

Dua bulan aku bekerja di rumah sederhana ini, karena untuk ukuran orang sukses sepertinya sangat memungkinkan memiliki rumah megah, tak sekalipun majikanku lupa untuk berpamitan saat pergi, menyapa saat pulang, juga mengucapkan selamat malam kepada ibunya. Perempuan berusia tujuh puluh dua.  Hal itu rutin dilakukannya. Setiap hari, tanpa libur sehari pun.

 

“Selagi saya tidak di rumah, pastikan ibu saya tidak kenapa-napa. Dahulukan beliau daripada pekerjaanmu. Segera telepon saya atau bawa ke rumah sakit bila sesuatu yang aneh terjadi kepada ibu saya. Paham?” Begitulah titah majikanku setiap pagi minggu, saat menemani ibunya berjemur. Kurang lebih.

 

Dan kalian tahu apa yang membuatku heran? Seperti yang aku ceritakan sebelumnya, pertengkaran saudara. Ya, majikanku dan adiknya tengah berdebat di ruang tamu pada sabtu sore, dua minggu lalu. Adik majikanku meminta agar ibu mereka diantar ke rumahnya. Ah, salah, lebih tepatnya memaksa untuk membawa ibu mereka pulang ke rumah si anak bungsu. Terlihat sengit, karena majikanku bersikukuh dapat merawat ibunya dengan baik. Katanya, dia juga sedang mewawancarai beberapa perawat yang akan mendampingi ibu mereka.

 

Perdebatan siapa yang lebih pantas dan berhak merawat ibu mereka pun semakin memanas. Apalagi majikanku menyebutkan beberapa aset peninggalan ayah mereka yang dikelola sang adik. Sementara adik majikanku, dia menekankan bahwa itu semua atas nama ibu mereka.

 

Aku mulai menemukan titik terang atas keherananku. Harta warisan. Cih, lagi-lagi permasalahan duniawi. Beruntungnya aku yang memiliki orang tua tak berharta sehingga aku dan lima saudaraku yang lainnya tak perlu memperebutkannya. Pak’e dan Buk’e hanya memiliki rumah semi permanen di atas tanah ukuran 10 x 10 meter persegi. Pekerjaan mereka hanyalah buruh serabutan di ladang orang lain. Tidak sepetak sawah pun mereka miliki setelah dijual untuk menyekolahkan dua adikku.

 

“Mbak kan selalu sibuk di rumah sakit, jadi biar aku saja yang mengurus Ibu. Aku bisa meng-handle pekerjaan dari rumah. Hanya sesekali pergi memantau kinerja para pekerja.” Adik majikanku sudah berbicara dengan nada biasa. Tidak tinggi seperti sebelumnya.

 

“Tidak. Biar aku saja yang merawat Ibu. Lagi pula, jarak rumah sakit sangat dekat dari sini. Aku juga bisa memantau Ibu dari sana.” Majikanku pun tak mau kalah. Tapi, kenapa nada bicara mereka terdengar seperti diskusi.

 

Baru saja menemukan titik terang, kali ini aku dibuat heran lagi. Apakah mereka melunak karena  anak majikanku baru saja pulang dan tengah memarkirkan motornya di garasi? Apakah mereka tidak mau persaingan untuk mencari perhatian sang ibu itu terungkap? Begitulah yang aku simpulkan saat itu. ‘Merawat Ibu’ adalah dalih agar lebih dekat dengan sang ibu sehingga harta warisan jatuh kepada salah satu di antara mereka. Kini heranku sudah berubah menjadi prasangka.

 

Setelah sore itu, kuperhatikan segala perlakuan majikanku kepada ibunya. Semakin hari, semakin rapat saja mereka. Bahkan majikanku tidak mengizinkanku menyediakan dan menyuapi ibunya makan selama dia ada di rumah. Semua diambil alih. Apakah prasangkaku benar?

 

***

 

Minggu pagi yang sangat sejuk dan segar. Malam tadi, hujan mengguyur kota. Membersihkan udara dari debu dan asap, juga menyirami segala jenis tanaman di bawahnya. Memberi kehidupan, memberi jawaban atas doa-doa yang dilangitkan kodok-kodok, dua hari lalu.

 

Akan tetapi, aku menyesali satu hal di pagi itu. Bukan karena lupa mengangkat sisa nasi yang kujemur, bukan pula lupa memasukkan sepatu-sepatu yang ada di teras. Aku menyesal karena heran-heranku berujung pada prasangka. Seharusnya, prasangka lain yang aku buat agar aku tak menyesal seperti ini. Bahkan, hingga warna langit sudah berubah gelap, aku masih menyesal. Tak bisa tidur.

 

Pagi tadi, tepatnya jam sembilan lewat lima belas, adik majikanku datang berkunjung bersama satu anaknya. Anak satu-satunya. Dan, dia membawa koper yang ditarik anak laki-lakinya itu.

 

Mau apa dia? Apakah hendak mengambil paksa ibunya? Begitulah prasangkaku detik itu.

 

Dia menghampiri aku dan ibunya yang tengah berjemur di teras depan menggunakan kursi roda seperti biasanya. Dia juga memintaku untuk memanggil majikanku. Tentu saja aku menurut. Toh biasanya mereka sudah menjadwalkan pertemuan karena kesibukan dan lain hal agar tidak ‘kecele’. Jadi, aku tinggal mengatakan, “Ibu Kecil sudah sampai, Bu”. Ibu Kecil, itu adalah panggilan yang dibuat majikanku untukku saat menyebut adiknya.

 

“Siapa yang datang, Bik?” Langkahku terhenti saat putri sulung majikanku bertanya. Di ruang makan. Majikanku tengah berada di dapur saat itu.

 

“Ibu Kecil, Mbak. Lagi ada di depan sama Mas Ganteng.”

 

“Bunda?”

 

“Iya, Mbak.”

 

“Ya udah, saya ke depan juga kalau begitu.”

 

Aku tersenyum getir. Di saat orang tua anak-anak itu, anak majikanku dan adiknya, tengah berseteru untuk mendapatkan harta warisan, mereka malah terlihat sangat akrab dan penuh kasih. Heran yang terus bertambah dan akan aku sesali sebentar lagi. Aku pun melangkah ke dapur untuk memanggil majikanku.

 

Dan inilah penyesalan atas prasangkaku pada hal-hal yang membuatku heran. Heran yang seharusnya tak menjamah otakku dan terus berputar-putar di sana. Membuatku menyimpulkan alasan-alasan sesuka hati hingga berprasangka yang tidak sepantasnya. Toh, di sini aku hanya seorang pembantu rumah tangga.

 

“Kalau Mbak tidak mengizinkan Ibu dirawat di rumahku, biarkan aku yang tinggal di sini untuk merawat Ibu.” Adik majikanku berujar dengan terus memijat lengan ibunya yang kaku.

 

Kulihat ibu mereka hendak mengatakan sesuatu, tapi sepertinya masih kesulitan. Matanya juga terlihat berkaca-kaca. Sebelah tangannya yang lain pula tampak menepuk-nepuk tangan putri bungsunya. Suaranya terdengar samar-samar dan tentu saja aku mengerti karena sudah membersamainya selama dua bulan ini.

 

“Adik sudah izin sama suami. Setiap sabtu dan minggu, adik akan pulang. Karena di dua hari itu, Mbak pasti lebih leluasa berada di rumah. Adik akan jaga Ibu.” Ternyata, adik majikanku memahami kalimat samar-samar ibu mereka. Padahal, putra bungsu majikanku saja masih  kesulitan untuk menerjemahkan ungkapan neneknya.

 

“Ibu akan baik-baik saja. Mbak akan segera kabari kamu kalau ada apa-apa. Tapi, Mbak pastikan hal itu tidak akan terjadi.” Kali ini majikanku terlihat tulus sekali. Sorot matanya dengan jelas mengatakan itu.

 

“Apakah aku tidak tahu kalau Mbak ingin mendapatkan surganya Ibu? Aku pun sama, Mbak. Aku juga ingin berbakti kepada Ibu. Surga itu bukan hanya milikmu.” Adik majikanku memeluk ibu mereka setelahnya.

 

Jangan kalian tanya bagaimana aku saat ini, karena aku sudah berurai air mata. Antara menyesali prasangkaku atas hal yang membuatku heran, juga tertampar akan bukti bakti dua saudara perempuan itu. Bukan harta yang mereka perebutkan, melainkan surga yang ada di bawah telapak kaki ibu mereka.

 

Bodoh! Aku benar-benar bodoh karena berpikiran sempit saat itu. Toh tidak semua anak akan memperebutkan harta warisan orang tuanya. Buktinya, ada juga yang memperebutkan jaminan surga lewat mereka. Tentu saja jumlahnya sangat sedikit.

 

Aku pun tak dapat terlelap malam ini karena penyesalan dan pertanyaan. Lalu bagaimana denganku? Mungkinkah aku bertengkar dengan saudara-saudaraku karena memperebutkan jaminan surga?(*)

 

Bumi Lancang Kuning, 22 April 2021

 

 Hassanah adalah seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Tanah Melayu, Riau. Penyuka petrikor, segelas kopi panas, dan senja. Menulis dengan baik adalah fokus utamanya.

 

Editor : F. Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply