Hello, Sir! (Episode 7)

Hello, Sir! (Episode 7)

Hello, Sir! (Episode 7)
Oleh : Freky Mudjiono

Andika hanya diam di tempat duduknya. Kereta api, di dalam alat transportasi yang tengah meluncur di atas rel besi itu, ia hampir tidak bergerak. Wajahnya pucat, menahan isi perut yang bergejolak, mendesak ke atas, sejak beberapa menit perjalanan dimulai. Memalukan memang! Seharusnya ia telah terbiasa, tapi tidak. Andika mengusap wajah, menyeka keringat dingin yang mulai keluar dari pori-pori.

Ada rasa iri, melihat penumpang di samping dan hadapannya bisa bersenda gurau. Sesekali, mereka juga mengajak Andika mengobrol, tapi pemuda itu hanya membalas dengan anggukan atau senyuman terpaksa. Ya, Tuhan! Andika takut isi perutnya akan keluar bila ia membuka mulut.

Ia baru bisa mengalihkan pikiran dari rasa mual setelah kereta api melewati wilayah Stasiun Plabuan, Batang. Rel yang berada persis di pinggir laut, membuat debur ombak seakan-akan bisa disentuh dari sisi jendela di mana Andika duduk. Sesekali, pandangan terjeda oleh kebun-kebun kecil yang mayoritas ditanami pohon pisang. Seperti bocah, Andika tak mampu mengalihkan matanya dari jendela dengan sunggingan senyum yang tak lepas menghiasi wajah. Laut, itulah penyebab ia memilih jalur pantai utara untuk pulang ke kampung halaman, selain waktu tempuh yang lebih cepat. Sayang, kereta api bukanlah angkutan umum seperti angkot atau bus yang bisa dihentikan Andika di tengah perjalanannya.
Sedikit kecewa karena pemandangan yang dinanti hanya bisa dinikmati dalam waktu yang sekejap, Andika memejamkan mata, mencoba untuk tidur setelah ombak tak lagi tersuguh dari luar jendela gerbong. Ia mencoba menyabarkan diri, menunggu kereta api mengantarkannya ke Stasiun Pasar Turi. Setelah itu, ia hanya tinggal menaiki ojek sekitar sepuluh menitan menuju rumah.

***

Entah berapa lama, Andika tertidur. Ia terbangun oleh keriuhan yang khas. Kereta api mulai memperlambat lajunya, memasuki peron. Sedangkan para penumpangnya telah sibuk membenahi barang bawaan. Mereka telah tiba di tempat tujuan.

Andika menyugar rambut dan merapikan penampilan sekenanya. Ia hanya membawa satu tas yang diselempangkan di tubuh. Tidak perlu ikut repot-repot seperti ibu dengan dua anaknya yang duduk di seberang tempat duduknya. Bel dengan alunan khas lagu keroncong menyapa telinga Andika ketika kereta api berhenti.

Sedikit memiringkan tubuh, Andika berhasil meloloskan diri dari gerbong yang dinaikinya. Turun secepat mungkin, begitulah yang dipikirkan pemuda itu, hingga tidak lagi tertarik untuk terlibat dalam kesibukan orang-orang. Kelegaan terpancar di wajah Andika setelah berhasil keluar dari stasiun. Tidak perlu memesan ojek online karena cukup banyak ojek konvensional yang mangkal di sekitar Stasiun Pasar Turi. Seorang tukang ojek yang agak sepuh, menawarkan jasanya, dan disambut Andika dengan anggukan. Tidak perlu terlalu lama menawar ongkos yang harus dibayar, sebab Andika telah menyebutkan jumlah yang tepat, seperti tarif biasanya. Berada di boncengan, Andika menghirup dalam-dalam udara kota kelahirannya, Surabaya.

***

“Dika?” Sosok wanita paruh baya dengan dandanan seadanya yang tengah menganyam lembaran plastik berseru senang. Jelas sekali, ia terkejut dengan kehadiran Andika yang berdiri memberi salam di hadapannya. Keranjang yang masih setengah jadi di pangkuannya, terjatuh begitu saja saat ia menghambur untuk menyambut kedatangan anak sulungnya itu. Andika terkekeh, menurut saja saat ibu yang menariknya masuk ke dalam rumah.

“Kok enggak ngasih tau, toh, Le. Mual kamu pastinya. Ibu buatin teh hangat, ya?” Ibu menatap simpati.

Andika mengangguk, lalu merebahkan tubuhnya di kursi bambu reyot di ruang tamu. Hanya sebentar, karena kemudian dua orang remaja tanggung menyerbunya dengan berondongan pertanyaan.

Gimana rapor kalian?” tanya Andika pada adik laki-laki dan perempuannya yang duduk di kelas 7 dan 9 SMP itu. Pertanyaan yang ampuh untuk membuat keduanya ngacir ke luar rumah.

Ibu yang baru muncul dari dapur, hanya bisa geleng-geleng kepala dengan nampan berisi gelas belimbing di atasnya.

“Mereka enggak seperti kamu, Dika. Susah kalo disuruh belajar yang rajin. Bisa naik kelas dan lulus aja sudah alhamdulillah,” jelas wanita yang sudah melahirkan lima anak, termasuk Andika, tanpa ditanya.

“Belajar enggak bisa dipaksa, Bu. Sing penting, mereka berkelakuan baik.”

Andika menyeruput perlahan teh yang masih mengepulkan uap panas itu perlahan. Hangat … memberi sensasi nyaman pada perut yang tadi berulah.

“Iya. Kalau saja kamu ngajar di sini, kan bisa sambil ndidik adik-adikmu.”

Andika hanya tertawa kecil, ia sendiri tidak yakin, bisa mengajar saudaranya sebaik mengajar orang lain. Terkadang, malah lebih susah.

“Ah, iya, enggak mungkin kamu ninggalin Audy terus pindah ke sini,” ujar ibu setengah menggoda. “Gimana kabarnya? Enggak ikut ke sini?”

“Sepertinya sedang sibuk, Bu.” Andika menjawab enteng sambil melepaskan jaket berbahan jeans yang dikenakannya.

“Sepertinya?” Ibu mengernyit heran.

Andika menghela napas. Bagaimana harus menjelaskannya pada Ibu? Ia sendiri tidak tahu Audy sedang apa sekarang. Setelah terakhir kali mereka bertemu, pesan yang dikirim Andika lebih sering tercentang tanpa jawaban.

“Dia ada penugasan ke daerah. Susah sinyal, jadi jarang bisa ngirim kabar.” Andika beralasan.

Ibu mengangguk, sepertinya bisa menerima penjelasan Andika. “Kamu harus pengertian. Dia wanita pintar, enggak bisa dikurung di rumah saja,” nasihatnya kemudian.

“Kamu pintar, Audy juga pintar. Ibu jadi bayangin cucu-cucu Ibu nanti pasti pintar-pintar,” ujar Ibu lagi sembari mengulum senyum.

“Ibu, ada-ada aja,” sergah Andika, lalu tertawa kecil.

Obrolan mereka terhenti oleh dering ponsel di saku celana panjang Andika. Pemuda itu segera meraihnya dan menatap heran pada nama yang tertera di ponsel.

“Halo …,” sapa Andika segera setelah menggeser telunjuk di layar untuk menerima panggilan.

“Halo, Sir ….” Suara tersendat terdengar dari seberang.

“Arini, ada apa?” tanya Andika tak sabar. Kekhawatiran jelas terlihat dalam sorot matanya.

“Tolong saya ….”(*)

 

Bersambung ….

Episode sebelumnya (Episode 6)

Episode selanjutnya (Episode 8)

 

Medan, 7 Mei 2020

Freky Mudjiono, penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019. Ia memiliki keinginan untuk tampil keren dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
FB: Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply