Hello, Sir! (Episode 6)

Hello, Sir! (Episode 6)

Hello, Sir! (Episode 6)
Oleh : Freky Mudjiono

Ada rasa bersalah menyelinap di hati Andika, melihat Audy tak henti menyunggingkan senyum. Seolah tidak hendak terpisah, dari tadi gadis yang tampak anggun dalam balutan ruffle dress merah marun itu, duduk begitu dekat dengan dirinya.

Kursi teras berbentuk setengah lingkaran dari anyaman rotan berwarna putih yang biasanya dipisahkan oleh meja kecil dengan bahan dan warna yang sama, kini berdampingan tanpa celah. Andika sama sekali tidak ingat, dirinyakah atau Audy yang menggeser kursi itu sebelumnya. Yang ia tahu, mereka tidak lepas saling memandang sedari tadi.

“Rindu, ya?” goda Andika, berusaha menyamarkan gejolak di dadanya berada di samping sang kekasih. Aneh memang, hubungan yang telah berjalan sekian tahun, terasa seperti baru dimulai kembali. Jantung berdebar tak terkendali.

Audy memanyunkan bibirnya, tak menjawab. Ia malah merentangkan tangan, bersiap mengikat rambutnya yang tergerai. Lengan baju yang dikenakannya sepertinya berbahan ringan sehingga dengan mudah tersingkap saat gadis itu mengangkat tangan ke atas. Otomatis, kulit putih milik gadis itu terbuka hingga ke siku. Pemandangan indah bagi Andika yang hanya pria biasa–bukan malaikat yang tidak akan tergoda. Ia tidak sanggup memalingkan pandangan, padahal itulah hal yang benar untuk dilakukan.

“Tunggu!” Tangan Andika terulur menahan gerakan Audy, menyentuh tanpa permisi. Kini tangan lembut gadis itu berada dalam genggamannya. Audy melihat dengan tatapan bertanya.

“Jangan diikat. Biar begini saja … cantik.” Andika menebar senyum tanpa melepaskan pandangannya pada mata Audy.

Wajah gadis itu bersemu merah, tapi ia menurut, membiarkan telapak tangannya bersatu dengan telapak tangan Andika yang hangat. Sesaat, keheningan hadir. Namun, bukan berarti kesunyian menyelinap di antara mereka. Andika seolah bisa merasakan bahwa gemuruh tidak hanya tengah melanda dirinya, tapi juga sang kekasih. Perasaan itu yang jelas tergambar lewat gerakan jari-jari mereka yang saling bertaut dan meremas, mengirimkan rasa sang empunya.

Ah, Andika benar-benar merasa menyesal, kurang perhatian, atau bahkan abai pada kekasihnya itu akhir-akhir ini. Ia mengerti, pasti berat bagi Audy menahan kerinduannya.

“Maaf, ya …,” lirih Andika, tapi dengan tatapan bersungguh-sungguh.

“Maaf kenapa?” tanya Audy heran. Alisnya yang tebal terlihat hampir bertemu sebab kening yang berkerut.

“Maaf karena kurang perhatian.” Andika menarik jemari Audy, sedikit menundukkan kepala, lalu mengecup lembut punggung telapak tangan gadis itu. Dorongan yang begitu kuat melanda hatinya, hingga abai bahwa hari masihlah terang. Kemesraan mereka dapat terlihat oleh siapa saja. Namun, cinta memang begitu, sering kali membuat pecandunya menjadi lupa akan keberadaan orang lain.

“Kamu, sih … pake ultimatum enggak boleh ketemuan dan nelepon.” Audy sedikit memainkan nada suaranya hingga terdengar merajuk manja, padahal bibirnya mengulum senyum.

“Maaf, ya, Sayang. Tahun ini memang sedikit … rumit.” Andika sengaja memberi penekanan pada kata “rumit” sebab ia tidak tahu harus bagaimana menjelaskan situasinya.

Audy tertawa kecil, kemudian mengangguk. “Aku mengerti,” ujarnya tanpa beban. “Hanya saja, kupikir semua akan kembali seperti biasa setelah ujian itu selesai,” lanjutnya pelan.

Andika menghela napas, melihat sorot mata Audy, membuat rasa bersalahnya kembali timbul. Seharusnya, setelah ujian akhir nasional yang ditempuh anak didiknya usai, ia langsung menemui Audy.

Namun, semua di luar perkiraannya. Arini kembali berada pada titik terendahnya, setelah perpisahan kedua orangtuanya disahkan tepat setelah ujian usai. Belum lagi dengan kebimbangan hasil kelulusan, yang mampu membuat anak normal depresi, apalagi buat anak dengan gangguan emosional seperti Arini.

Banyak hal yang mengikat langkahnya, dan membelokkan perhatiannya. Hingga, kini di hadapan cinta Audy, Andika benar-benar merasa bersalah.
Audy tiba-tiba beranjak. Andika terkesiap, sigap menahan tangan gadis itu yang tengah digenggamnya. Sorot tidak rela terlihat jelas di matanya.

“Mau ke mana?” tanya Andika setengah cemas. Entah kenapa, ia merasa Audy seolah-olah hendak meninggalkan dirinya. Ia tidak sanggup kehilangan gadis itu.

“Cuma ambil minum ke dalam sebentar.” Audy menjelaskan sambil tersenyum. Ia telah berada di posisi berdiri sementara lengan kirinya masih terulur, digenggam oleh sang kekasih yang hadir membawa bongkahan rindu.

Andika menggeleng, menarik lengan Audy hingga kembali pada posisi duduk, tepat di sisinya. “Tidak perlu. Jangan pergi, aku hanya butuh dirimu,” pinta Andika membuat Audy kembali dilambung rasa bahagia. Ah, ternyata rindu mampu memicu gelombang pasang cinta yang sempat surut di antara mereka.

***

Capek?” tanya Andika di sela ayunan langkahnya bersama Audy. Sepulang nonton bioskop tadi, gadis itu selalu bergayut di lengannya.

Audy menggeleng. “Kamu?” Ia balik bertanya.

Andika menggeleng. Pertanyaan konyol, mana mungkin ia merasa lelah.

“Sebentar lagi kita sampai,” lirih suara Audy kembali terdengar.

Andika menangkap nada tak rela dari kata-kata yang keluar dari bibir sang kekasih. “Besok kita jalan-jalan lagi, mau?” ucap Andika begitu saja sambil melirik.

“Benarkah?” Audy menghentikan langkahnya. Matanya berbinar, memandang Andika lekat.

Andika menelan ludah. Sepertinya, ia memang sudah keterlaluan selama ini. Lihatlah, betapa senangnya ekspresi Audy, seolah tengah mendapatkan lotere. Sepertinya keluar bersama Andika adalah hal yang diinginkannya selama ini.

Andika meraih tubuh Audy kemudian memeluknya erat, membenamkan wajah di antara helaian rambut gadis itu. Berharap dengan begitu, bisa mengusir rasa bersalahnya.

Andika menikmati hangat embusan napas Audy menembus kaos hingga menyapa rambut-rambut halus di dadanya. Tidak lama, karena kemudian tubuh gadis tercinta itu sedikit bergerak membuat jarak.

“Ah, besok tidak bisa!” seru gadis itu seolah baru teringat akan sesuatu, lalu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya. “Aku harus keluar kota. Dua hari.”

Andika menghela napas. Lagi-lagi, ada jeda di antara mereka. (*)

 

Bersambung ….

Episode sebelumnya (Episode 5)

Episode selanjutnya (Episode 7)

 

Freky Mudjiono, penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019. Ia memiliki  keinginan untuk tampil keren dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
FB: Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply