Hello, Sir! (Episode 5)
Oleh : Freky Mudjiono
Turun dari angkot, angin menguarkan aroma wangi yang khas ketika Andika berjalan di bawah deretan pohon mahoni. Aroma yang hanya muncul setahun sekali, setiap kali udara mulai terasa basah dan lembap di awal musim penghujan.
Hidup di daerah padat–bila tidak ingin disebut kumuh–ia sedikit terkejut ketika wangi itu pertama kali menyambar indra penciumannya. Saat itu, Audy menertawakan gayanya yang mungkin sedikit urakan enggan beranjak dari naungan pohon yang menjatuhkan kelopak bunganya yang kecil-kecil berwarna kuning cerah meski gadis itu telah beberapa kali memanggil namanya.
“Ayolah … kita sudah ditungguin, nih. Rumahku sudah dekat, tuh, di sana.” Audy menunjuk ke arah kiri.
Andika hanya melirik sekilas, kemudian berjongkok, menggorek tanah dengan patahan ranting kecil yang ia temukan di sampingnya. Sepertinya lebih menyenangkan berlama-lama berada di teduhan pohon yang tumbuh perkasa di sepanjang jalan utama kompleks perumahan itu daripada mengikuti permintaan sang kekasih.
Audy terlihat menggelengkan kepalanya, gemas. Andika pura-pura tak melihat. Ia menengadah ke arah juntaian rimbunan daun hijau tua yang lebat.
“Dika!” Audy akhirnya mengambil tindakan, mendekat dan menyelusupkan jemarinya di antara jari-jari Andika. “Ayo …,” ajaknya sambil menarik tangan Andika yang digenggamnya. Andika bangkit, mengikuti langkah gadis yang terus mengomeli tingkahnya yang seperti anak-anak.
Andika tersenyum membayangkan kembali adegan itu. Mereka akhirnya bergenggaman tangan hingga sampai di depan rumah Audy. Itu adalah kali pertama, ia diperkenalkan kepada keluarga sebagai pacar wanita cantik berkaca mata itu, Audy.
Tangan Audy yang terus menggenggamnya itulah yang memberinya keberanian untuk mendampingi gadis itu. Ia yang bukan siapa-siapa, mana mungkin mampu bermimpi untuk mendekati Audy, aktivis kampus yang memiliki banyak pemuja.
“Suatu kali, aku melihatmu mengajar anak-anak jalanan.” Audy menjawab ketika Andika mengajukan pertanyaan mengapa namanya direkomendasikan oleh gadis itu sebagai ketua kegiatan baksos fakultas mereka.
“Tidak sulit mencari tahu siapa dirimu. Karena ternyata, kegiatan itu telah dilaksanakan sejak lama. Aku gembira, karena ternyata kita satu kampus.” Audy lalu tertawa menampakkan gingsul yang membuatnya makin terlihat cantik. Andika terpesona.
Sedikit rasa menyesal tumbuh, kenapa tidak mengenal Audi lebih dekat. Kegiatan baksos membuat mereka semakin dekat. Hingga suatu hari, Andika yang bukanlah seorang laki-laki bodoh membaca “isyarat” untuk mendekat yang dikirimkan Audy.
Berbekal uang lima puluh ribu–lembar terakhir di dompetnya–Andika nekat mengajak Audi berjalan-jalan setelah kegiatan baksos usai. Dengan limpahan rasa grogi, karena mereka harus pulang pergi dengan angkutan umum, Andika nekat memulai langkah pendekatannya.
“Kau laki-laki, masak diam saja. Enggak mungkinlah dia yang ngajak kau kencan. Enggak ada dalam kamus pedekate itu.” Begitulah saran yang diterima Andika dari salah seorang sahabat, mahasiswa perantauan dari Medan.
Jadilah, kenekatan itu membawanya untuk memiliki hati Audi seutuhnya. Gadis istimewa yang menerima Andika apa adanya, yang rela diantar-jemput dengan angkutan umum, dan makan malam di warung-warung kaki lima.
Stigma yang selama ini melekat dalam benak Andika tentang mahasiswi terkenal, cantik, dan tajir gugur ketika ia mengenal sosok Audy lebih dekat. Sosok supel itu, tidak pernah menatap Andika dengan pandangan yang meremehkan. Begitu juga dengan kedua orangtuanya. Om Harjo–ayah Audi–bahkan memuji kemandirian Andika yang kuliah atas biaya sendiri dengan menyambi berbagai pekerjaan tanpa gengsi.
“Om juga dulu begitu.” Pria bertubuh tinggi besar dengan warna kulit sedikit gelap serta kumis dan cambang cukup lebat itu menatap Andika dengan binar di matanya. Membuat Andika terperangah oleh keramahan yang bertolak belakang dengan perawakannya yang sangar.
“Papa pernah bekerja sebagai pekerja bangunan, loh.” Audy ikut menimpali sembari duduk di samping ayahnya setelah menghidangkan gelas berisi air sirup berwarna merah yang di dalamnya berenang dua-tiga ketul es batu.
Om Harjo terkekeh, ada rasa bangga di tiap gurat wajahnya. Andika makin merasa kagum. Siapa sangka, kontraktor sukses itu berasal dari seorang buruh bangunan.
Andika jadi tidak sungkan, menceritakan cita-cita yang diimpikannya sejak kecil, menjadi seorang guru.
“Guru itu profesi berat. Tidak hanya beban ekonomi, tetapi juga tanggung jawab atas generasi muda yang kamu didik,” tukas Om Harjo setelah mendengar penuturan Andika.
“Benar, Om.” Andika makin merasa sosok pria di hadapannya adalah seorang yang istimewa. Seseorang yang menghargai profesi guru, pastilah ia orang yang sangat memahami pentingnya pendidikan.
Banyak orang yang meremehkan impian Andika, saat ia menceritakannya. Bahkan, ayah-ibunya sendiri berharap Andika memilih profesi yang lebih menjanjikan penghasilan yang lebih baik. Andika menatap Audy, ada lengkung indah terukir di wajah cantik gadis itu.
Teringat kembali akan kenangan itu, Andika merasa ada sedikit sesal telah mengabaikan sang kekasih akhir-akhir ini. Wajah oval Audy, rambut lurus sepinggang serta sorot mata berbinar di balik kacamatanya, terbayang lagi. Ah, Bang Rohim benar, Audy tidak boleh disakiti, batin Andika dalam hati. Ia pun mempercepat langkah di antara deretan pohon mahoni. Audy pasti telah menunggu.
Benar, saja!
Dari kejauhan, Andika bisa melihat tubuh semampai itu tengah duduk di teras sambil sesekali melempar pandang ke arah jalan. Entah melihat kedatangan Andika atau tidak, Audi berdiri dari duduknya, membuat pria itu ingin segera berlari agar bisa melihat wajah sang kekasih lebih dekat.
Jantung Andika berdegup kencang. Ada loncatan rasa yang memacu dahaga pada pandangannya. Rasa yang sekian lama memudar kini muncul tanpa kendali.
Rindu!(*)
Bersambung ….
Episode sebelumnya (Episode 4)
Episode selanjutnta (Episode 6)
Freky Mudjiono, penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019, karyanya telah beberapa kali dibukukan dalam bentuk antologi. Ia memiliki keinginan untuk tampil keren dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
FB: Freky Mudjiono
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata