Hello, Sir! (Episode 4)

Hello, Sir! (Episode 4)

Hello, Sir! (Episode 4)
Oleh: Freky Mudjiono

Aneh, pada bekas rembesan air yang bewarna kecokelatan di plafon kamar, Andika seolah bisa melihat siluet sebuah wajah. Wajah dari seorang gadis muda yang baru saja diantarnya pulang.

Di kamar indekos yang tidak terlalu luas itu, Andika berbaring di atas pembaringan berukuran single. Tidak ada perabotan yang berarti di sana, hanya sebuah kursi dan meja di mana sejumlah buku tersusun rapi di atasnya juga sebuah radio hitam dengan beberapa tombol equalizer yang telah hilang.

“Cie … cie … yang baru pulang pacaran! Dapat jatah apa, lu? Di pipi atau bibir?”

Andika kaget, bangkit dari pembaringan. Bang Rohim tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu kamar, berkacak pinggang sembari tertawa lebar menatapnya. “Eh, ada apa, Bang?” tanya Andika sembari menggaruk kepala yang tak gatal. Ia sama sekali tidak mendengar suara pintu terbuka.

Ngayal mulu. Gua panggil-panggil dari tadi enggak nyaut. Enggak abis-abis itu rindu sama Audy?” Bang Rohim terkekeh, mendekat. “Gua pinjem radio, ya? Buat di pos, giliran ngeronda nih, malem. Besok langsung gua balikin,” cerocosnya lagi.

Andika mengangguk, tidak merasa keberatan sama sekali. Bang Rohim adalah penghuni terlama di kos-kosan ini. Sebagai penghuni senior ia ramah dan mengayomi.

“Baru juga ketemuan, udah rindu aja.” Bang Rohim mengedipkan satu matanya, jenaka. “Apa kabar si Audy?”

Audy? Andika mengedikkan bahu. Baru teringat, ia sudah beberapa hari ini tidak menghubungi sang kekasih. Kesibukan ujian, benar-benar menyita pikirannya.

“Lah ….” Bang Rohim mengernyitkan kening, mengambil tempat duduk di sisi pembaringan dan meletakkan radio di pangkuannya. “Bukannya baru ketemuan? Kok, bisa enggak tahu? Kalian berantem, ya?” selidiknya.

“Berantem apaan? Enggaklah. Lagian belum ketemuan.” Andika mengelak tuduhan yang dilancarkan. Bang Rohim adalah salah seorang penghuni kos yang paling mendukung hubungannya dengan Audy.

“Bukannya kalian barusan nonton pilem?” Lelaki itu semakin heran, terlihat dari caranya memajukan tubuh, melihat Andika dengan saksama.

Andika mesem, lupa bahwa sebelumnya ia keceplosan akan ke bioskop pada Nek Ijah pemilik warung kecil-kecilan di mana ia menukar uang kecil untuk ongkos. Berita bisa menyebar dengan sangat cepat di jejeran dua puluhan kamar yang saling berhadap-hadapan ini. Bangku-bangku kayu di beberapa titik, menjadi tempat para penghuni mengobrol dan bercerita tentang apa saja. Nek Ijah, penghuni kamar paling depan yang tinggal sendirian, menyulap ruang tamunya menjadi warung kecil yang menyediakan sembako, rokok, jajanan anak-anak, dan beberapa barang keperluan lainnya.

Untuk ukuran Kota Jakarta yang individualis, tempat kos ini memang jauh lebih ramah dan bersahabat. Berita bahagia dan berita duka cepat mendapat tanggapan. Tangan diulurkan sama cepatnya dengan omongan. Hal itu yang membuat Andika betah di sini, selain biaya sewa yang tidak mencekik leher. Saat Andika bertunangan, para penghuni ikut mendampingi, selain ibunya yang datang sendirian dari kampung. Mereka bahkan mengupayakan untuk meminjam mobil Pak Haji sang pemilik kos, hanya agar Andika tidak kehilangan muka di hadapan keluarga Audy yang lumayan berada.

“Jadi, lu selingkuh?” Bang Rohim membulatkan matanya. Terlihat cukup sangar dengan padanan kumis tebal di wajahnya.

Andika tergelak. “Ya enggaklah, Bang,” ujarnya menghindar. Lagian, masa itu dianggap selingkuh? Ia hanya membayar janjinya pada Arini yang telah belajar dengan keras setelah sebelumnya berniat menyerah untuk terus bersekolah.

“Terus terang aja ama gua. Lu tadi ke bioskop ama siapa?” Bang Rohim menepuk bahu Andika tanda ia serius.

Duh, gak percayaan amat. Mana mungkin ane selingkuh, Bang. Tadi itu, cuma menuhin janji ama siswa doang. Itu aja,” jelas Andika seolah membela diri.

Ama siswa? Cuma berdua ke bioskop?” Bang Rohim tampak makin penasaran.

Duh, gimana jelasinnya ini.” Andika nyengir kuda.

“Yang bener, Dik. Lu masih waras kan?”

“Itu, Bang … ingat enggak anak bermasalah emosi yang ane bilang?” Andika menyilangkan kakinya di tempat tidur, hingga kini posisinya menjadi bersila menghadap lawan bicara.

Bang Rohim tampak mencoba mengingat, tapi sepertinya ia tidak berhasil. Andika menghela napas melihat gelengan-nya.

“Siswi yang sering kali pingsan itu, Bang. Yang pernah ane tanya ke Abang cara ngadepinnya.”

Hening beberapa saat.

“Ah, iya!” sentak Bang Rohim membuat Andika terlonjak kaget. “Yang katanya pengidap apa itu … hmmm … cemas?”

“Gangguan kecemasan,” jawab Andika memperbaiki ucapan Bang Rohim.

“Nah! Yang kayak orang stres itu, kan?”

Andika mengangguk sambil tersenyum kecil. Orang stres? Apakah Arini terlihat seperti itu? Sepertinya tidak, gadis abege itu terlihat sangat menarik malah. Ah, lagi-lagi Andika terbayang sosok yang bergelayut manja tadi membuat senyum di bibirnya semakin melebar.

Hei, senyum-senyum! Berarti lu memang selingkuh sama siswa lagi!” tuduh Bang Rohim.

Jiaah! Enggaklah, Bang! Lagian dia bukan siswa lagi.” Andika menjawab enteng, beranjak ke arah kipas angin di sudut ruangan lalu menghidupkannya. Kemudian, ia menggeser kursi kayu lalu duduk di atasnya dengan posisi memeluk sandaran.

Bang Rohim masih memandang Andika dengan mata yang melotot.

Bener, Bang. Gak ada apa-apa,” jelas Andika.

“Enggak wajar. Ini pasti ada maksud.” Bang Rohim masih tak percaya.

Beneran. Suer. Itu, ane janji mau ngabulin satu permintaannya kalo dia berhasil lulus. Kan, waktu itu dia udah enggak mau sekolah lagi.”

Bang Rohim tampak mulai mengerti, ditandai dengan pandangannya yang mulai melunak. “Berarti setelah ini, tidak ada janji lagi, kan?” tanyanya.

Andika terdiam. Bang Rohim benar, tidak ada lagi pertemuan selanjutnya. Ada rasa tidak rela muncul di sudut hati Andika, hingga tanpa sadar menimbulkan resah dalam sorot matanya.

Bang Rohim mendesah. Ia kenal tatapan itu. “Hati-hati dengan perasaanmu, Dik. Rasa suka itu sering kali berawal dari kasihan. Ingat … satu tindakanmu bisa menyakiti hati dua wanita,” ujarnya tanpa bernada menyudutkan. Ia lalu bangkit dengan radio di tangan kanannya. “Pinjam dulu, yak. Assalamualaikum,” ucapnya sambil sedikit mengangkat radio.

Andika tercenung, ia bahkan tidak menjawab salam Bang Rohim. Ucapan Bang Rohim bermain di pikirannya. “Jangan menyakiti mereka …,” gumam Andika pada dirinya sendiri pada malam yang semakin larut.

Jauh di sana ….

Seorang gadis abege tengah tertidur dengan memeluk erat mimpi indah.(*)

 

Bersambung …

Episode Sebelumnya (Episode 3 – About Her)

Episode Selanjutnya (Episode 5)

 

Medan, 12 April 2020

Freky Mudjiono, penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019, karyanaya telah beberapa kali dibukukan dalam bentuk antologi. ia memiliki keinginan untuk tampil keren dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
FB: Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply