Hello, Sir! (Episode 2 – First Touch)

Hello, Sir! (Episode 2 – First Touch)

Hello, Sir! (Episode 2 – First Touch)
Oleh : Freky Mudjiono

“Saat debar di dada sama kencangnya dengan kewarasan yang berkali-kali mendobrak kesadaran. Mungkin itu sebuah isyarat, bahwa sesuatu yang salah sedang terjadi, tapi tetap saja kegilaan memilih untuk mengabaikannya.”

———————————

Sial! Andika merutuk. Suasana temaram di ruangan bioskop benar-benar situasi yang buruk untuk mengontrol diri. Tayangan film yang tengah diputar di layar besar di hadapan tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari gayutan erat Arini. Ia bahkan tidak berani menoleh, takut melihat permintaan ‘lebih’ dari sepasang mata polos gadis abegeh itu, lalu lupa diri, dan terhanyut ….

Andika bukanlah pria bodoh. Sudah beberapa kali kencannya di ruang bioskop yang dingin berakhir saling menghangatkan. Namun, sekarang berbeda. Ia harus menjaga sikap di depan bocah yang mungkin tengah ‘coba-coba’ ini.

‘Sadar, tetaplah sadar.’ Andika berusaha menenangkan diri.’ Arini hanya seorang anak kecil yang percaya padamu.’ Pria itu berusaha menghipnotis dirinya sendiri.

Yap, Arini memang hanya seorang anak kecil, Andika, usianya masih belasan tahun. Sugesti diri masih berlanjut. Mengusap wajah dengan kasar, Andika berusaha keras mengembalikan posisi gadis abegeh itu dalam pikirannya. Remaja yang seharusnya dididik bukan dibidik. Ingat … ingat ….

Ah, iya, benar.

Pria itu masih ingat kegugupan Arini saat pertama kali dipersilahkan untuk memperkenalkan diri di depan kelas. Remaja yang polos dan rapuh.

***

‘All Students … please, introduce yourself in front of class.‘ Tulis Andika besar-besar di white board sesaat setelah memperkenalkan dirinya sebagai guru bahasa inggris sekaligus wali kelas, tepat di hari pertama tahun ajaran baru.

Permintaannya agar para siswa bergantian maju memperkenalkan diri sekaligus mengetes kemampuan mereka berbahasa asing saat itu, hanyalah trik Andika untuk menghilangkan kegugupan.

Gugup? Tentu saja! Baru dua tahun mengajar, Andika diserahkan tanggung jawab atas sebuah kelas. Hal ini sungguh luar biasa, tanggung jawabnya lebih besar, tidak cukup hanya menyampaikan materi pelajaran tapi juga membimbing seluruh siswa kelas itu agar melalui tahun ajaran dengan baik.

Tetap saja, ia harus menerima tanggung jawab itu. Itu adalah sekelumit idealisme Andika. Pantang mundur dari kepercayaan yang diberikan. Namun, semangat yang tadinya berkobar sedikit meredup di hadapan para siswa-siswi yang terlihat hampir sebaya dengannya.

“May nem is Bimo. Ay lip at … hmm … mango strit.”

Gemuruh tawa memenuhi ruangan kelas. Mau tak mau, Andika ikut menyunggingkan senyum mendengar pelafalan pronunciation yang kacau dari siswa yang seharusnya telah menguasai tahap conversation. Seorang siswa laki-laki bertubuh tambun yang ditunjuk untuk maju pertama kali, cengar-cengir di depan kelas sambil menggaruk rambutnya yang hitam kusam. Tingkahnya menunjukkan ia menyadari kesalahan dalam pengucapannya.

Andika mengangkat tangannya, memberi isyarat agar kelas tenang, lalu mempersilakan siswa bernama Bimo itu kembali melanjutkan perkenalannya.

“Mau bicarakan apa lagi, Pak?” Bimo menatap Andika bingung.

“Sir,” ujar Andika membetulkan panggilan terhadap dirinya.

“Haa?” Bimo menatap tidak mengerti.

Duh, Andika rasanya mulai gemas. Siswa di hadapannya ternyata hanya besar badan saja. Nalarnya ternyata kurang cepat tanggap.

“Panggil saya, Sir, bukan, Pak. Kamu lanjutin tentang hobi makanan kesukaan dan lain-lain,” jelas Andika sambil beranjak ke kursinya.

Helaan napas dari guru yang masih muda itu menandakan, sepertinya sesi ini, akan terasa sangat panjang …. Andika menyapukan pandangan pada raut-raut wajah di depannya.

Syukurlah, tidak semua siswa harus menghabiskan waktu beberapa menit terbata-bata di depan kelas. Ada beberapa yang cukup lancar. Namun, ada satu yang istimewa. Arini.

Gadis itu melangkah sambil tertunduk saat namanya dipanggil. Andika yang tengah berdiri, sebab bosan kelamaan duduk, bisa melihat bahu gadis itu bergetar saat melewatinya.

Berdiri dengan pandangan menekuri lantai, Arini menjelaskan dirinya dengan suaranya yang sangat … sangatlah pelan, bahkan dengung-dengung teman sekelasnya terdengar jauh lebih jelas.

“Huuuh, ngomong apa, sih?”

Sir, enggak kedengaran!”

“Kuatin suaranya, dasar cewek aneh.”

“Iya, nih. Pelan banget!”

Aneh, aneh, aneh. Kata itu berulang bagai dengung lebah yang tidak berhenti meskipun Andika telah berusaha menghentikannya. Tidak mencolok, tapi suasana menyenangkan di kelas terasa terganggu oleh celoteh-celoteh iseng itu. Arini tetap menunduk dengan rambut panjangnya yang lurus tergerai menutup hampir sebagian wajahnya. Ia tidak lagi bersuara, tegak diam seolah kakinya terpacak ke lantai. Andika baru saja hendak mempersilakan Arini duduk sebelum gadis itu jatuh luruh.

Untunglah, tubuh mungil yang dibalut seragam putih abu-abu itu tidak sempat menghantam lantai, sebab tubuh tegap Andika yang berdiri tidak terlalu jauh sigap menyambut. Terhempas tanpa daya di dada bidang Andika, beberapa helai rambut Arini menyapu wajah Andika, menguarkan aroma wangi yang begitu lembut. Namun, guru yang masih sangat muda itu tak sempat memperhatikan hal yang biasanya menyita perhatian kaum Adam. Tubuh gadis belia yang seolah tak bernyawa dalam rengkuhannya benar-benar membuatnya panik.

Andika telah beberapa kali menangani siswa-siswi yang ambruk saat upacara penaikan bendera, tapi belum pernah merasakan tubuh yang lunglai seperti saat ini. Kebanyakan hanya lemas, dan masih bisa berjalan meski dipapah. Siswi bernama Arini ini, benar-benar kehilangan kesadaran, matanya bahkan tetap terpejam meski Andika telah menepuk pipinya berkali-kali.

“‘Ya, ampun!” Terdengar pekikan dari beberapa siswi. Serentak semua mata tertuju pada adegan di depan kelas. Beberapa siswa bahkan bangkit dari duduk dan melangkah mendekat.

“Arini pingsan lagi.”

“Iya … duh, pingsan.”

“Lu, sih … tadi bilang dia aneh.”

“Kamu juga, ih!”

Meski fokus pada Arini yang masih belum bereaksi, telinga Andika masih bisa menangkap potongan percakapan para remaja yang seringkali bicara tanpa pertimbangan itu … berarti hal ini telah terjadi beberapa kali.

Mudah saja bagi Andika untuk mengangkat tubuh yang tak berdaya itu, membopongnya segera ke UKS. Sebelum itu, Ia menitipkan keamanan kelas pada seorang siswa yang terlihat bisa dipercaya, lalu meminta seorang siswi untuk ikut dengannya.

Untunglah, pintu ruangan UKS tidak terkunci. Andika membaringkan tubuh Arini di ranjang periksa. Selimut tipis yang tersedia dibentangkannya menutupi tubuh bagian bawah gadis itu yang rawan tersingkap.

Sir, petugas UKS-nya enggak ada.” Siswi yang ikut mengantar memberikan laporan setelah berinisiatif memeriksa ruangan kesehatan yang terpisah dari gedung utama.

“Coba tanya ke piket. Bilang penting, ada yang pingsan!”

Tanpa menunggu dua kali, remaja itu segera keluar, meninggalkan Andika berdua dengan Arini yang belum sadar. Dari tempatnya duduk, ia masih bisa melihat Arini dengan jelas. Wajahnya sangat pucat dengan kantung mata yang gelap.

Ada apa dengan gadis ini? Setahu Andika, remaja wanita sangat care pada penampilannya. Namun, yang satu ini berbeda. Wajahnya polos tanpa polesan blush on, maskara bahkan tanpa pelembab bibir. Lihat saja, bibir merah mudanya terlihat kering, tapi … tetap menarik. Alis mata yang melengkung lembut, hidung yang bangir, dan bibir yang merekah, suatu harmoni yang indah.

Ah! Andika memalingkan pandangan dengan perasaan berdosa. Apa yang baru saja terlintas di pikirannya? Benar juga kata pepatah, jangan berduaan saja dengan wanita, karena setan selalu siap menebar pancing neraka.

Pria itu baru saja hendak bangkit, saat terdengar erangan pelan. Sangat pelan ….

“Arini?” panggil Andika sambil melangkah mendekat. Mata Arini masih terpejam, tetapi tetes keringat muncul di kulit dahinya yang halus. Erangan tertahan masih keluar dari bibir yang tampak hampir tak bergerak.

“Arini? Ayo, bangun. Sadarlah!” seru Andika mulai panik. Sepertinya gadis itu tengah mengalami mimpi buruk.

Tanpa sadar, Andika meraih jemari gadis remaja yang seolah tengah merasa diteror dalam alam bawah sadarnya itu, terasa begitu dingin, hingga Andika menggenggamnya erat. Sangat erat.

Genggaman tangan pertama mereka.

 

Bersambung ….

Episode sebelumnya (Episode 1 – The Moment)

Episode selanjutnya (Episode 3 – About Her)

 

Jum’at, 20 Maret 2020

Freky Mudjiono. Penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019, karyanya telah beberapa kali dibukukan dalam bentuk antologi. Ia memiliki keinginan untuk tampil keren, dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
Penulis bisa dihubungi di Facebook: Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply