Hello, Sir! (Episode 1 – The Moment)

Hello, Sir! (Episode 1 – The Moment)

Hello, Sir! (Episode 1 – The Moment)
Oleh : Freky Mudjiono

Jangan pernah menduga, hidup akan berjalan ‘biasa saja’. Hanya perlu sebuah momen, untuk menjungkir-balikkan segalanya.

Andika menggaruk kepala yang tidak terasa gatal. Berdiri sendiri di ruang tunggu yang cukup luas dan terang ini membuatnya kembali berpikir ulang. Apakah kali ini a melakukan hal yang pantas? Beberapa kali, pasangan laki-laki dan perempuan lalu lalang di hadapannya. Beberapa bercengkerama mesra di balik papan iklan film yang menyala terang, tanpa peduli bahwa mereka tengah berada di tempat umum. Terlalu banyak keakraban dan keintiman membuat rasa gugup melanda. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Bagaimana harus bersikap? Ini gila! Sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Apa yang harus ia katakan? Ia lakukan?

Entah apa yang mendorongnya memberi ide ‘brilliant’ itu hingga terbawa ke situasi sekarang . Namun, apa dayanya? Mata bening menyorotkan sebuah permintaan yang tak bisa ditolak. Seperti kali ini. Tidak terbayangkan, apa yang akan dipikirkan teman sejawatnya bila melihatnya di sini bersama ….

Sir!”

Sosok abegeh bertubuh mungil berdiri tidak jauh, melambai dengan senyum riang. Andika menelan ludah. Penampilannya benar-benar menggoda sisi lain dari Andika Hendraja. Sisi yang selama ini ditekan sekuat tenaga dalam sebuah kode etik. Bukan perkara mudah bagi seorang pria seusianya mengajar tingkat SMA. Apalagi remaja sekarang ini, jauh lebih ‘berani’. Rentang usia mereka yang tidak terlalu jauh, terkadang membuat batas antara guru dan murid memudar, berganti ‘antar teman’.

Ah, tapi kali ini ia tidak salah, Andika menghibur diri. Sosok mungil yang melangkah ringan, menapak ceria dengan sepatu kets putih, hingga rok kembang sedikit tinggi di atas lututnya bergoyang, bukan lagi berstatus siswinya setelah pengumuman kelulusan kemarin. Ia melenggang mendekati Andika yang terpaku pada rekahan bibir berpoles lipgloss merah muda, tanpa dibuat-buat sebagaimana yang biasa dilakukan wanita dewasa. Tidak. Gadis itu sangat naif, hingga mungkin tak menyadari tungkai kaki mulusnya yang terpampang indah hingga ke paha, benar-benar menimbulkan hasrat untuk dielus.

Maniak! Tak bermoral! Andika berusaha mengembalikan kesadaran yang sejenak disalip pikiran liar dengan mengembuskan napas panjang berkali-kali.

Huft! Ini ide konyol. Andika menelan ludah, melihat gadis itu semakin dekat dengannya. Namun, Andika bisa apa? Ia telah berjanji akan memberi hadiah, bila remaja itu bersedia berjuang dan berhasil lulus. Tetap saja, seharusnya ia tidak membebaskan Arini memilih hadiahnya. Bila saja abege itu meminta boneka, diari atau semacamnya, pasti akan lebih mudah. Tidak mengajukan permintaan menonton bioskop seperti kali ini.

Sir! Kok, bengong?” Gadis muda itu bertingkah seperti tengah menggoda, tapi kemudian tersipu malu. Membuat pikiran nakal yang baru saja hendak pergi kembali melongok. Pipi yang bersemu merah muda itu … Cih! Saru! Andika memaki dirinya sendiri yang membayangkan adegan tidak-tidak. Mana mungkin pria dewasa seperti dirinya melihat gadis usia belasan dengan cara seperti ini! Huh, otakmu memang perlu di cuci Andika! rutuknya dalam hati.

Ehm, ay-ayo kita masuk.”

Duh, pake acara gelagapan lagi! Buset, pria dua puluh limaan kayak gua, bisa ‘salting’ dibikin nih bocah! Andika mulai kesal dengan dirinya sendiri.

Arini, gadis abegeh itu sepertinya tidak memahami kecanggungan Andika. Dengan santainya, ia meraih dan menggandeng tangan pria itu, hingga blus longgar dengan gambar emoticon besar di bagian dadanya, menempel di lengan Andika yang berbulu. Wajah Andika pias. Ia sama sekali tak menyangka tindakan Arini. Namun, entah kenapa, ia tidak menepisnya. Mungkin sebab rona kebahagiaan di raut wajah gadis itu adalah hal yang paling ingin diingat Andika. Sebelum perpisahan mereka ….

Sir, ayo buruan! Nanti kita telat.” Dengan satu tangannya gadis itu menunjuk ke antrean pengunjung yang mulai memadati pintu masuk. Rata-rata mereka seusia Arini, gadis yang kini begitu dekat dengannya, hingga aroma wangi yang menguar dari rambutnya bisa tercium oleh hidung mancung Andika. Pria itu menoleh, menatap dalam ke mata Arini. Gadis itu sepertinya tidak masalah bergandengan dengannya. Bahkan, ia seolah begitu lepas, bebas. Meski masih menyapa dengan sebutan ‘Sir’, tapi tiada rasa jengah terlihat dari wajah polosnya.

Oh, Tuhan! Ada apa dengan hari ini? Kenapa anak baik itu, kini menjelma bagai sosok lain. Benarkah ini Arini? Siswi kebanggaannya? Apakah kali ini idealismenya sebagai seorang guru tengah diuji? Atau, ini mungkin disebabkan oleh efek kelulusan UN yang menjadi momok bagi tiap siswa? Ah, iya. Mungkin sebab itu. Arini tidak punya orang yang bisa diajaknya berbagi kebahagiaan setelah terbebas dari tekanan UN. Hingga, kini seluruh euforia itu dilampiaskan padanya. Pasti itu alasannya, duga Andika dalam hati, mencari-cari dasar logika.

Sir!” Sentakan Arini membuat Andika tersadar dan kembali fokus. Gadis remaja itu merengut, mungkin kesal karena sejenak Andika mengabaikannya. Sedikit merasa lucu dengan wajah manyun yang disuguhkan, tanpa sadar, jari Andika refleks memencet hidung bangir gadis itu. Gadis itu mengaduh, tapi matanya berbinar.

Dasar tolol! Andika merutuki kebodohannya. Apa yang ia pikirkan! Arini itu hanya bocah! Sadar, woy! Sejenak, ia lupa, Arini hanya bocah! Bocah abege yang baru saja bebas dari seragam putih abu-abunya.

Bukan wanita matang seperti Audi, yang boleh dan wajar saja dijawil hidungnya, dielus rambutnya, dilumat bibirnya. Ah, sebenarnya tidak boleh, sih. Sebab status mereka yang masih bertunangan, belum sah secara agama. Hanya terkadang, Andika lupa, apalagi bila Audi seolah memancingnya. But, just it! Hanya sebatas elusan dan kecupan, Andika tidak pernah melebihi batas. Ia selalu berhasil menghentikan dirinya sendiri. Bertahan sekuat tenaga dengan sisa iman yang kadarnya makin berkurang hari demi hari, demi indahnya malam pertama yang direncanakan setahun lagi.

Terpikir soal Audi, refleks Andika melepaskan tangannya dari Arini. Membuat bola mata gadis itu seketika terlihat kecewa dan berkaca-kaca. Hey, ada apa ini? Belum sempat bertanya, Arini telah berjalan lebih dulu ke pintu masuk. Andika bergegas mengikuti lalu menyodorkan dua tiket pada petugas di depan pintu.

Mata Andika sedikit tidak terbiasa dengan ruangan bioskop telah digelapkan, sepertinya mereka memang terlambat. Cahaya senter kecil dari petugas bioskop tidak cukup menerangi arah langkah keduanya. Arini berjalan lebih dulu, disusul Andika tepat di belakangnya.

“Aduh!”

Suara di hadapan memancing gerak refleks Andika. Dalam kegelapan, Andika merasa jantungnya berdetak tak beraturan disebabkan lonjakan adrenalin yang tiba-tiba. Dipicu punggung Arini yang menempel di dadanya dan pinggang ramping abege itu dalam pelukan lengannya, setelah sesaat tadi merengkuh tubuh gadis itu hampir jatuh tersandung.

Andika melepaskan ‘pelukannya’ setelah Arini berdiri dengan stabil. Dalam kecamuk rasa, ia tautkan jari-jarinya ke jemari Arini yang lembut. “Ayo, kita jalan lagi. Hati-hati,” bisik Andika pelan, berharap Arini tak menangkap getaran dalam suaranya. Kegelapan ruang bioskop membuat mereka berjalan dengan hati-hati, dengan jemari yang saling menggenggam. Erat.

Kacau! Andika tidak bisa fokus ke arah layar. Sepanjang film diputar, pikirannya mengembara. Pada tautan jari yang tak kunjung dilepaskan. Pada tubuh mungil Arini yang menyender hangat. Juga pada waktu, di mana takdir membawanya ke pusaran hidup Arini.(*)

 

Bersambung ….

Episode selanjutnya (Episode 2 – Firts Touch)

 

Freky Mudjiono. Penulis bernama sedikit ‘maskulin’ ini adalah seorang wanita kelahiran tahun 1980. Sejak mulai serius menekuni hobinya di pertengahan tahun 2019, karyanya telah beberapa kali dibukukan dalam bentuk antologi. Ia memiliki keinginan untuk tampil keren, dengan meninggalkan jejak kehidupan melalui dunia literasi.
Penulis bisa dihubungi di Facebook: Freky Mudjiono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply