Heaven: Neraka yang Membuatmu Selangkah …

Heaven: Neraka yang Membuatmu Selangkah …

Heaven: Neraka yang Membuatmu Selangkah Lebih Dekat dengan Surga

Oleh : Halimah Banani

Terbaik ke-1 Event Review Buku Loker Kata

 

Haruki Murakami menyebutnya sebagai novelis muda favoritnya dan menggambarkan tulisannya sebagai “tumbuh dan berkembang tanpa henti”. Itu adalah sepenggal kutipan yang membuat saya untuk pertama kalinya benar-benar bisa mengingat nama Mieko Kawakami.

 

Ya, mengingatnya, bukan membaca atau mengetahuinya.

 

Karena saya agak buruk dalam mengingat nama, jadi saat membaca kutipan tersebut saya merasa itulah kali pertama saya mengetahui nama Mieko Kawakami. Dan beberapa hari kemudian, saat menelusurinya di Google, barulah saya ingat bahwa dia adalah penulis yang sama dengan penulis buku Susu dan Telur (dengan judul asli Chichi to Ran atau judul bahasa Inggris Breasts and Eggs), buku yang membawanya memenangkan Penghargaan Akutagawa pada tahun 2008.

 

Tak hanya berhasil menyabet Penghargaan Akutagawa, Kawakami juga berhasil memenangkan beberapa penghargaan bergengsi lainnya lewat karya-karyanya yang lain. Salah satunya adalah Penghargaan Murasaki Shibuki, penghargaan sastra Jepang yang diberikan kepada penulis perempuan, lewat bukunya yang berjudul Heaven pada tahun 2010.

 

Meski sudah terbit di Jepang pada 2009, Heaven baru dirilis dalam Bahasa Inggris pada tahun 2021. Dan pada akhir tahun 2023 kemarin novel ini akhirnya diterbitkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit KPG, dengan Ribeka Ota sebagai pengalihbahasanya.

 

Mengangkat genre coming-of-age dan fiksi psikologis, Heaven menceritakan tentang pahitnya kehidupan sekolah menengah pertama melalui serangkaian kisah seorang anak laki-laki (“aku”) empat belas tahun yang dirundung karena bermata juling dan teman perempuannya, Kojima, yang juga merupakan korban perundungan karena penampilannya yang berantakan dan bau.

 

Bermula dari surat yang dikirimkan Kojima kepada tokoh “aku” yang hanya berisi, “Kita sekutu”, serta pertemuan mereka di Taman Ikan Paus, hubungan pertemanan keduanya pun akhirnya mulai terjalin secara sembunyi-sembunyi. Persamaan nasib di antara keduanya tak hanya membuat mereka berani untuk saling terbuka (hal yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya dengan orang lain) dan saling memahami, tetapi juga membuat mereka ikut merasakan penderitaan satu sama lain.

 

Meski sudah lama tahu situasinya, aku semakin hari semakin merasa tersiksa saat melihat atau mendengar Kojima dirundung oleh anak-anak perempuan sekelasnya. Aku tersiksa juga jika membayangkan ia melihatku sedang dirundung. (Hal. 18)

 

Mengumpankan kedua tokoh yang membuat kita mau tidak mau setuju kalau mereka cocok dijadikan sebagai korban perundungan, Kawakami membawa kita untuk masuk ke dalam alur cerita yang makin lama makin intens sekaligus brutal. Kita diajak untuk ikut merasakan apa yang dirasakan dan dipikirkan oleh kedua tokoh ini, juga ikut bertanya-tanya alasan kenapa mereka harus mengalami penderitaan semacam ini.

 

“Mereka mempelajarinya dan kita jadi bahan uji coba.” (Hal. 122)

 

Begitu tebakan Kojima ketika dia dan “aku” mempertanyakan dari mana para perundung itu mempelajari cara memukul tanpa meninggalkan bekas di tubuh mereka.

 

Dan pada waktu lain, Kojima juga mengutarakan pikirannya tentang alasan kenapa mereka dirundung:

 

“Jika ada yang berbeda dari mereka, mereka takut. Dan karena takut, mereka berusaha menghancurkannya. Mereka ingin mengenyahkannya.” (Hal. 128)

 

Alur cerita terus bergerak maju, memperlihatkan kita tak hanya tentang perundungan, tetapi juga mengetahui kisah hidup yang membentuk kedua karakter ini, salah satunya adalah keluarga yang bisa dibilang berantakan. “Aku” yang tumbuh dengan dirawat oleh neneknya, lalu tinggal bersama ayah (yang jarang ada di rumah) dan ibu tirinya setelah “kepergian” sang nenek; Kojima yang tinggal bersama ibu dan ayah tirinya yang kaya setelah kedua orangtuanya bercerai sebab faktor ekonomi.

 

Meskipun sama-sama mengalami perundungan, kedua tokoh ini tentu saja memiliki karakter dan cara berpikir yang berbeda. Jika tokoh “aku” tampak pasrah meskipun tersiksa dengan kondisinya, Kojima menjadi tokoh yang memiliki pemikiran yang kuat, sekaligus ekstrem. Membuatnya tampak kuat dan rapuh di satu waktu. Dia percaya kalau sesuatu memiliki arti, termasuk penderitaan yang dialaminya.

 

“Mungkin … ada hal-hal yang maknanya bisa dipahami selama hidup … dan mungkin ada hal-hal yang maknanya baru bisa dipahami setelah mati, … yang penting adalah bahwa penderitaan dan kesedihan begitu pasti ada maknanya.” (Hal. 84)

 

Mungkin kita sudah terlalu akrab dengan tema perundungan, yang biasanya disandingkan dengan anak-anak usia sekolah. Banyak buku dan film yang mengangkat tema tersebut. Namun, meski “pasaran”, tema semacam ini masihlah sangat relevan sampai sekarang.

 

Di Jepang sendiri, pada tahun 2022 tercatat 514 kasus bunuh diri untuk anak usia sekolah, 15 nyawa lebih banyak dari tahun 2020, yang mencatat 499 kasus bunuh diri. Banyak kasus yang melatarbelakangi mereka mengambil keputusan ekstrem tersebut, dan salah satunya adalah kasus perundungan. Baik perundungan secara langsung maupun melalui media internet (cyberbullying) yang sempat ramai terjadi pada masa pandemi kemarin. Permasalahan/perselisihan keluarga, penyakit mental, serta ketidakseimbangan hormonal juga menjadi salah satu faktor penyumbang angka bunuh diri tersebut.

 

Melalui Heaven, Kawakami mengangkat isu-isu penting tersebut dan membangkitkan kontemplasi serta rasa takut dalam diri kita dengan cara yang apik. Dia seolah-olah sedang membuat kita menyadari sekaligus turut merasakan dampak dari perundungan, di mana dalam novel setebal 232 halaman ini kita disuguhi dengan kekerasan demi kekerasan yang diterima “aku”, yang makin lama makin mengerikan dan tidak manusiawi. Mulai dari pemukulan, pengurungan di dalam lemari, sampai sepak bola manusia—di mana kepala “aku” disulap oleh Ninomiya dan gengnya sebagai bola sepak setelah dibungkus kulit bola voli.

 

Kepedihan yang sangat dan kebahagiaan yang rapuh adalah kombinasi sempurna yang akan membawamu pada pemikiran tersuram. Dan Kawakami mampu menyajikan cerita ini dengan sangat baik dan mengaduk-aduk perasaan kita hingga akhir. Meski sempat tebersit tanda tanya tentang bagaimana tanggapan ibu dan ayah tiri Kojima tentang penampilan Kojima, yang sengaja tidak mandi dan berpenampilan berantakan dan itu berlangsung selama bertahun-tahun, mengingat orang Jepang sangat memikirkan tentang pandangan dan penilaian orang lain terhadap mereka.

 

Novel ini mengingatkan saya pada film animasi A Silent Voice, dengan sudut pandang yang berbeda dan nuansa yang jauh lebih gelap. Karenanya saya perlu mengingatkan agar kamu menyiapkan mental terlebih dahulu sebelum membacanya, karena ia  mungkin bisa memicu kenangan-kenangan traumatismu.

 

Namun, di luar itu, bagi saya, Heaven adalah buku yang bagus dan sangat membekas. Membawa saya mempertanyakan tentang seperti apa hakikat surga itu sebenarnya.

 

Jika heaven adalah surga bagi “aku”, maka heaven adalah sebuah lukisan di galeri bagi Kojima.

 

“Heaven …. Aku berulang kali melihatnya di buku kumpulan karya. Sungguh, berulang kali aku melihatnya. … Tapi, karena aku terlalu sering melihat karya-karya ini dalam gambar di buku, tidak hanya Heaven tetapi segala sesuatu yang ada di sini kelihatan seperti palsu belaka.” (Hal. 53)

 

Jakarta, 27 Mei 2024

Komentar juri, Berry Budiman:

Kekuatan review ini ada pada pacing-nya yang terjaga. Ia tidak buru-buru ingin menyampaikan inti-inti dalam review, misalnya premis atau kelebihan dan kekurangan buku tersebut. Dengan kata lain, penulis mengeksplorasi setiap elemen dalam sebuah review dengan proporsi yang pas.

Tugas pengulas buku bukan hanya memberi komentar terhadap isi buku, tetapi juga “memperkenalkan” buku dan penulis buku tersebut kepada pembaca, menggarisbawahi poin-poin penting dalam buku—bisa itu isi maupun teknik menulisnya—yang layak dikaji (atau dipertanyakan), dan memberikan perspektif baru (atau penguat) yang mampu menambah wawasan pembaca. Pengulas juga cukup berhati-hati saat menjabarkan cerita di dalam buku demi menghindari spoiler dan ia juga tidak memberikan banyak teori terkait hal-hal tersirat dalam cerita, apalagi mencoba menyimpulkan “inti dari buku ini”.

Karena itu, kami sepakat memilihnya sebagai review terbaik pada event Loker Kata kali ini.

Event review buku ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply