Hatiku Kau Genggam

Hatiku Kau Genggam

Hatiku Kau Genggam
Oleh: Cahaya Fadillah

Cerpen Terbaik ke-18 Tantangan Lokit 7

Ponsel pintar itu kubanting, ia terjatuh dengan keadaan layar yang retak. Tidak puas, kuambil lagi ponsel yang kini tergeletak di lantai itu lalu kutekan kuat untuk meluapkan kekesalan, retaknya kini menjalar ke seluruh permukaan layar. Pecah.

Tidak ada lagi nyala ponsel yang menerangi kamarku di dalam ruang gelap tanpa aliran listrik.

Kini tangisku memenuhi kamar, isaknya bahkan bergema seperti mengejek kesedihanku. Kutenggelamkan kepala ke dalam lipatan kaki yang mulai bergetar, tubuhku seakan hilang keseimbangan untuk menopang hati yang patah.

***

“Tunggu aku empat jam dari sekarang,” ucapnya meyakinkan.

“Jangan lebih dari empat jam, atau ….”

“Atau apa?”

“Entahlah, aku tidak yakin tentang hari depan, tapi kubiarkan hatiku menunggu dan jangan lupakan janjimu.”

“Ya, aku janji. Tidak lebih, Sayang.”

Suara di ujung telpon sana tidak lagi kudengar, kali ini tanpa sebuah ucapan selamat malam atau kecupan selamat tidur yang biasa ia utarakan.

Empat jam berlalu begitu lama, tiap detiknya berhasil membuatku setengah gila. Mataku sibuk melirik ponsel yang dari tadi hanya diam di tempatnya, tidak ada suara pesan masuk bahkan panggilan darinya. Hatiku was-was menunggunya, mulutku sibuk merapal doa.

“Halo,” teleponku berbunyi akhirnya.

Nomor baru yang aku tidak tahu dari siapa.

“Halo, dengan siapa saya bicara. Ada yang bisa dibantu?”

“Ya, halo. Kamu siapa?”

“Siapa? Maksud Anda?”

“Ya, kamu siapa? Nomormu sering berbalas pesan dengan kekasih saya, berpuluh panggilan juga sering dilakukan. Kamu siapanya?”

“Aku? Tanya saja pada kekasihmu siapa aku.” jawabku tegas. Padahal aku tahu pasti suara gadis di seberang sana sudah mulai terbata. Dia menangis, tapi kutahu ia berusaha menahannya.

“Dengar aku baik-baik, kau jangan ganggu lagi pacarku atau kubeberkan semua perilaku busukmu.” ujarnya tegas.

Aku tertawa saat itu, “Beberkan saja, masih pacar aja sudah segitu bangganya. Hati-hati, nanti tidak jodoh malu sendiri, Mbak.” Gelak tawaku seperti orang gila, aku tertawa di atas patahnya hati seseorang, aku ketawa di atas kesedihan hati seseorang.

Telepon ditutup tanpa salam atau selamat tinggal. Aku yakin mereka bertengkar sekarang. Hati kecilku memberi protes akan perlakuan kurang ajar yang aku lakukan. Merebut kekasih orang, bermesraan dengannya padahal aku tahu ia sudah punyai kekasih. Tapi, bagaimana dengan hatiku? Tidak adil jika cintanya berbalas sedangkan cintaku ditindas.

Sejak saat itu, aku resmi menjadi yang kedua. Demi mendapatkan cinta yang kupuja, aku berhasil melukai perasaan manusia dan berhasil menjatuhkan harga diriku sebagai wanita.

***

Empat jam sudah berlalu, bahkan hari ini sudah empat puluh hari. Ia tidak pernah datang padaku. Tangisku luruh, hatiku terasa dicabik-cabik. Bodohnya aku menerima cintanya saat itu, membuka hatiku untuk digenggam padahal hatinya digenggam orang lain.

Dengan sadar aku menerima cintanya, menerima perhatian-perhatiannya dan mau menjadi yang kedua. Kini apa? Empat jam menjadi empat puluh hari yang menyakitkan tapi aku masih menunggunya.

Aku sadar, sakitku sebanding dengan sakit yang diterima kekasihnya dulu. Mungkin ini yang dinamakan karma, menginginkan bahagia ditengah duka dan air mata orang lain.

“Aku mencintaimu,” katanya saat itu.

“Lalu, kekasihmu?” Aku bertanya seakan aku baik-baik saja, padahal ada rasa perih menyayat hatiku saat itu. Aku cemburu.

“Kau tahu, kekasihku bagaikan makanan kesukaanku, tapi saat mau menyantap saat perut lapar, kuahnya tumpah, lalu lalat datang beramai-ramai mengerubunginya.”

Aku tidak mengerti maksudnya saat itu, yang pasti aku berusaha menjadi pendengar yang baik untuknya sebagai teman rasa pacar tanpa ada kejelasan namun menautkan hati. Kami menjalani hari seperti sepasang kekasih tanpa ada ikatan atau perjanjian di awal perbincangan.

“Kau begitu sangat mencintainya?” tanyaku menatap dengan sorot mata yang butuh penjelasan.

“Ya, sangat. Tapi, aku juga mencintaimu,” katanya saat itu.

“Kau terlalu, kau biarkan aku menunggu di atas kejelasan yang kau ciptakan!” Aku berteriak memakinya saat itu.

Ia memelukku, menitikan air mata dan berkata, “Maafkan aku, aku tidak bisa memilih antara kau dan dia. Dia kekasihku namun melukai hatiku, sedangkan kau mengerti segala tentang aku dan juga hatiku,” ucapnya menatap mataku lekat.

Aku luluh, lagi dan lagi kubiarkan hatiku dipermainkan kata cinta, kubiarkan hatiku tersiksa dan terluka, lalu berdarah tanpa ada yang mampu meredakannya.

“Kalau begitu, kau hanya butuh teman. Ita berteman saja, tidak usah memanggilku Sayang. Tidak perlu berkorban begitu dalam. Kebohonganku akan melukai kita semua. Aku menyerah saja,” ucapku sambil menitikan air mata.

Lalu, aku melangkahkan kaki meninggalkannya saat itu. Ia tidak mengejarku, aku tahu karena dihatinya tentu lebih besar cinta untuk kekasihnya. Ia datang padaku hanya saat bosan.

Air mataku menetes tanpa bisa kutahan. Sangat menyakitkan mencintai tanpa memiliki. Buatku tidak ada hati yang mampu secara ikhlas membiarkan cintanya dibagi begitu saja. Karena sejatinya cinta butuh harapan yang sama. Jika mencintai pasti ingin dicintai. Bohong jika seseorang cinta lalu ia ikut bahagia melihat orang yang ia cintai pergi dengan orang lain. Munafik.

***

Aku tersenyum saat melihat mempelai duduk dengan wajah bahagia di singgasananya. Hari itu aku datang ke acara pernikahan teman lama. Tidak menyangka aku dan dia dipertemukan dengan cara menyedihkan.

Ia yang kucinta dan menghilang kini terlihat menggenggam tangan kekasihnya penuh cinta dan berkata, “Kami akan menikah secepatnya.” Salahku mencuri dengar, membuat luka lama kembali menganga. Salahku juga masih menyimpan rasa cinta padahal tahu aku telah dicampakan.
Buru-buru aku mengambil jarak agar menjauh darinya. Menyibukan diri dengan sajian di atas meja. Ia datang menghampiri lalu tersenyum padaku.

Kulirik dia tanpa kata, tidak ada kekasihnya. Kuedarkan pandanganku kesegala arah mencari kekasihnya berada.

“Apa kabar? Lama tidak bertemu, maafkan aku. Aku tidak bisa meninggalkannya.”

Kupalingkan wajah darinya, menganggapnya tidak pernah ada. Berjalan menjauh meninggalkan pesta. Sudah cukup aku menunggu, sudah cukup menyakiti diriku.

Doaku semoga kau lepaskan genggamanmu pada hatiku.

Cahaya Fadillah, Ibu rumah tangga yang punya impian jadi penulis saja. Biar tidak perlu meninggalkan anak saat bekerja.

Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata