Hati Ayah yang Terakhir
Oleh : Dyah Diputri
Cloe duduk sendirian di lantai sambil menekuk lutut. Matanya nyalang menatap deretan sepatu di kolong ranjang. Tujuh pasang sepatu kets hasil keringat Pak Hansen sebulan yang lalu. Ia ingat betul, selengkung senyum milik ayahnya ketika purna membuat sepatu-sepatu beraneka warna dan ukuran itu. Si merah 40, si jingga 27, si kuning 20, si hijau 38, si biru 32, si nila dan si ungu bernomor 42.
“Semoga ada orang yang tertarik dan mau membeli sepatu ini. Dengan begitu, perut kita tidak akan kelaparan, Nak.” Pak Hansen dengan bangga menunjukkan satu per satu sepatu kepada Cloe, kemudian menatanya dengan rapi di kedai jahit sol sepatu. Belakangan, semakin jarang orang menjahitkan sepatu, maka pria itu mencari akal untuk mendapatkan pemasukan lain, yakni dengan membuat sepatu homemade berbekal mesin jahit usang—yang terkadang macet saat digunakan.
“Apa akan ada yang mau membelinya, Ayah?” tanya gadis sebelas tahun itu dengan polosnya.
“Tentu, kenapa tidak?”
“Tapi orang-orang di desa ini sama miskinnya dengan kita. Kurasa mereka tidak butuh sepatu hanya untuk menghamburkan uang.”
Cerdas sekali pemikiran Cloe. Sejenak, Pak Hansen menimang-nimang kembali—apakah ia tetap menata sepatu-sepatu itu di kedai atau berkeliling untuk menjajakan sepatu-sepatu itu. Bukankah berjualan sambil berjalan kaki juga butuh tenaga? Sementara tiga hari terakhir tenaganya telah terkuras untuk membuat sepatu, ditambah sejak kemarin malam ayah-anak itu belum makan sepotong pun roti untuk mengganjal perut.
“Kita … di sini saja. Pembeli bukan hanya orang dari desa ini, kan?”
Maka, keduanya menunggu. Sehari, dua hari, tiga hari … sampai seminggu. Belum juga ada orang yang melirik dagangan. Orang banyak yang berlalu-lalang, tetapi tidak ada yang mampir, apalagi membeli sepatu.
Setiap sehari sekali, Pak Hansen membuatkan bubur dari segenggam tepung gandum dari persediaan terakhir di dapurnya. Hanya itu yang bisa dinikmati putrinya, sementara ia sendiri hanya meneguk air untuk menahan lapar.
“Sepatu ini harus laku, Cloe. Tapi, apa yang bisa Ayah perbuat?” gumam Pak Hansen sembari mata teduhnya memandang Cloe yang sudah tertidur pulas. Asam di lambungnya naik begitu mengingat kaleng tepung gandum yang sudah kosong dan berbunyi “klontang” saat tak sengaja dijatuhkan. Pandangannya juga berangsur buram, berkunang-kunang, lalu menggelap.
***
Cloe mendesah, ucapan terakhir Pak Hansen yang diingatnya membuat dadanya nyeri. Malam itu, ia terjaga dari tidur dan melihat ayahnya berbicara sambil memegangi dada.
“Sepatunya akan laku, Cloe. Aku membuatnya dengan hati, tetapi hati itu harus melekat dalam sepatu itu.” Pak Hansen mengambil hatinya, membagi dalam tujuh bagian sama porsi, kemudian menancapkannya di tiap sepatu.
Air di pelupuk mata Cloe tadinya hanya menggenang. Namun, ketika ayahnya menghilang dan tidak pernah kembali, air itu saling berebut jatuh tanpa ia bisa mengimbangi dengan suara tangis.
Cloe kembali mendesah, kali ini karena cacing di perutnya berteriak lantang. Ia meraih apa yang sejak tadi ditatapnya nanar, lantas memasukkannya dalam kantong plastik hitam besar.
“Sepatu! Sepatu! Tuan, Nyonya, Kakak, Adik, belilah sepatu buatan ayahku! Dia membuat dengan hatinya.”
Begitulah Cloe menjajakan sepatu-sepatu itu. Meski dadanya selalu memanas acap kali berteriak tentang sepatu-sepatu itu, air mata berusaha ditahan agar tidak kembali meluncur.
“Adakah yang bernomor 42?” Seorang pria bersnelli menghampiri Cloe.
Mata Cloe berbinar. Seulas senyum membuat pipinya merona. “Tentu, Tuan. Ada dua warna untukmu. Pilihlah!” Cloe menunjukkan si ungu dan si nila.
“Berikan aku yang warna ungu.” Suara seorang berjas dari belakang pria bersnelli cukup mengagetkan Cloe.
“Jangan begitu, aku lebih dulu kemari. Jadi, aku yang pertama memilih.” Pria bersnelli tak terima.
“Oh, Tuan-Tuan ini sehati rupanya. Tapi, ayahku bilang … orang yang memilih warna sama saja dengan membuang keberuntungan. Aneh, bukan? Tapi itulah ayahku, dia selalu menggunakan hati saat bicara.” Cloe berusaha menengahi. “Ma—maksudku, baik warna nila ataupun ungu … kalau cocok ukurannya, kenapa tidak?”
Cloe meringis. Ada mimik cemas, takut kedua pembeli itu membatalkan jual-beli. Sementara suara berisik perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi.
Namun, gadis itu beruntung. Pria berjas dan pria bersnelli memahami maksud Cloe. Keduanya tidak lagi berebut warna, melainkan langsung membayar. Ada rasa senang menyeruak, Cloe mengucapkan terima kasih.
Belum lagi dua orang itu beranjak, Cloe berteriak lantang lagi. “Sepatu … belilah sepatu buatan ayahku! Dia membuat ini dengan hatinya!”
Cloe mengusap peluh sekaligus air sialan yang keluar tanpa permisi di ujung mata. Tidak yakin, apa itu karena ia sedang rindu ayahnya, atau karena senang dua pasang sepatunya telah berpindah tangan dan berganti beberapa lembar dollar.
“…. Ayahku membuat dengan hati ….” Dada Cloe semakin sesak.
“Dua anakku sedang butuh sepatu untuk acara wisata sekolah besok. Adakah yang sesuai ukurannya dengan Merry dan Julie?” tanya seorang wanita dengan rambut ikal pirang sebahu.
Cloe kembali semringah. “Ukuran berapa kira-kira?”
“Eum, mungkin 20 dan 26 … oh tidak, 27 saja. Julie bertambah tinggi, kurasa.”
Ah, keberuntungan! Cloe berbinar-binar. Dua pasang sepatu buatan ayahnya ada yang pas dengan permintaan wanita itu. Diuraikannya tali si jingga 27 yang simpulnya sedikit tersangkut si kuning 20. Tanpa sadar, mulut Cloe komat-kamit mengungkapkan kegembiraan. “Sepatu ini yang terbaik, Nyonya. Ayahku membuat dengan hatinya.”
“Oh, ya? Lalu, ke mana ayahmu sekarang?” Si wanita menerima dua pasang sepatu, lantas mengambil beberapa lembar uang dari tas kulit selempang miliknya.
Wajah Cloe berganti masam. Ia bingung harus menjawab apa. Saat menerima uang dari wanita di sampingnya, ia hanya bisa berucap, “Hati ayahku pergi bersama sepatu yang Anda beli. Tapi, tidak apa! Karena dia ingin agar aku tidak kelaparan.”
Ada sesuatu yang mengorek luka tak tampak di dasar hati Cloe. Bahkan, tiba-tiba ia tidak merasa lapar sama sekali. Uangnya bertambah banyak. Cukup untuk beberapa minggu, jika ia bisa menghemat dengan makan bubur gandum seadanya, seperti yang diajarkan Pak Hansen. Ah, lagi-lagi aku teringat Ayah.
“Berikan semua sepatu itu padaku, Nak. Aku akan membantumu,” ucap wanita yang ternyata belum pergi setelah membayar sepatu.
Wajah Cloe seumpama anak kecil yang dibelikan ratusan mainan. Cerah! Langit cerah, wajah cerah, waktu beberapa jam ke depan terasa cerah! Ia tidak perlu repot lagi menjajakan sisa sepatu. Nyonya ini sangat baik hati, batinnya.
Namun, tunggu dulu! Ini berarti Cloe harus bersiap kehilangan seluruh potongan hati milik ayahnya. Tidak ada sisa tentang ayahnya. Pun, uang-uang itu akan habis dalam beberapa masa saja. Lalu, apa ia masih bisa hidup tanpa ayahnya sama sekali?
“Anda bisa ambil si merah dan si hijau, Nyonya. Sisakan si biru 32 ini untukku.” Cloe mengambil keputusan.
“Kenapa, Nak? Bukankah kamu bisa mendapatkan uang lebih banyak?”
“Saya tidak hendak menjual ini. Karena ini adalah hati ayah saya yang terakhir. Aku dan Ayah selalu sehati, jadi mana mungkin memisahkan hati dari diriku sendiri?”
Malang, 15 April 2020
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata