Hargai Aku Sebagai Menantu
Oleh : Monica Silvi Arinta
Pagi ini aku sedang menyiapkan semua keperluan suami. Setelah sejak subuh tadi bergelut di dapur, menyiapkan sarapan dan mencuci pakaian yang sudah menggunung. Aku berusaha bersikap sebaik mungkin setiap harinya agar mertua dan ipar tidak menjadikanku bahan gosipan di depan tetangga. Meskipun itu tak pernah berhasil. Mereka selalu mencari celah untuk memarahiku.
Seperti dua hari lalu, baru saja aku selesai menjemur pakaian dan berniat ingin istirahat sebentar, mertuaku dengan sengaja menumpahkan segelas kopi, membuat lantai yang sudah kubersihkan, kembali kotor lagi.
“Bersihin, nih. Jangan diem mulu kerjaannya, dasar menantu malas,” kata mertuaku dengan nada ketus.
Hatiku rasanya mencelos, sakit sekali.
“Sayang, ngapain melamun, baju kerjaku mana?” Suara Mas Indra membuyarkan lamunanku.
“Eh, Mas ngagetin aja, udah disiapin, kok,” ucapku sambil tersenyum menatapnya. Hanya Mas Indra yang bisa membuatku tenang saat ada di sampingnya.
Setelah Mas Indra berangkat, aku kembali ke dapur. Menjemur pakaian yang tadi masih kurendam di dalam pewangi.
“Mbak, nih bajuku cuciin, ya. Besok mau aku pakai.” Iparku melempar baju-bajunya tepat ke wajahku.
Apa dia pikir aku ini pembantu yang seenak hatinya bisa diperlakukan semena-mena.
“Len, aku ini mbakmu, bisa tidak kamu sedikit lebih menghargai Mbak?” Aku masih mencoba sabar menghadapi sikap Leni yang keterlaluan.
“Males banget,” jawab Leni berlalu pergi.
Sungguh, apakah seperti itu memperlakukan kakak ipar? Aku masih mencoba tenang, berdamai dengan keadaan. Meski hati ini jauh dari kata ketenangan.
Di ruang tamu kulihat Ibu sedang mengobrol dengan ayah mertua. Tak menghiraukanku meski sedang lewat di depan mereka. Kudengar percakapan mereka, Ibu mengeluh tidak enak badan. Aku berinisiatif membuatkannya wedang jahe agar Ibu bisa berubah sikap. Setidaknya menjadi sedikit lembut.
“Bu, ini diminum, ya. Aku dengar Ibu sedang tak enak badan,” kataku sambil menaruh gelas berisi wedang hangat itu di atas meja.
Ibu sama sekali tak menjawab, melihatnya pun seperti enggan.
“Makasih, ya.” Ayah mertuaku berkata dengan sedikit mengulas senyumnya. Setidaknya beliau tidak seperti Ibu dan Leni. Beliau sangat baik sama seperti suamiku, Mas Indra.
***
Sudah jam lima sore, tetapi Mas Indra masih belum pulang. Aku mencoba meneleponnya beberapa kali, tetapi tidak ada jawaban. Tidak biasanya ia pulang terlambat. Apa ada meeting, tapi kenapa tidak menghubungiku.
“Sayang, Mas pulang.” Suara Mas Indra mengagetkanku. Ia memelukku dari belakang.
“Mas, kok, enggak ketuk pintu dulu, sih, udah kayak hantu aja,” kataku sambil membalikkan badan menepuk lengan Mas Indra.
Ia hanya tersenyum sambil mencowel hidungku.
“Ya udah, Mas mandi dulu, ya,” kata Mas Indra sambil berlalu ke kamar mandi.
Lega rasanya ketika Mas Indra sudah ada di rumah. Tak lama dia keluar dan duduk di sampingku.
“Mas.” Aku membuka obrolan dengan Mas Indra.
“Kenapa, Sayang?” jawabnya sambil menoleh ke arahku.
“Mas, kita kan menikah sudah satu tahun, emang Mas enggak kepikiran buat kita ngontrak?” kataku bicara sangat hati-hati agar dia tak berpikir macam-macam.
“Memangnya kamu tidak betah di sini, Sayang?”
Seketika wajah Mas Indra murung. Aku merasa bersalah sudah bertanya seperti itu.
“Bukan begitu, Mas. Kan enggak enak juga kalau kita numpang terus di rumah Ibu,” kataku mencari alasan yang masuk akal.
“Nanti saja aku pikirkan,” kata Mas Indra kemudian.
***
Di ruang makan, hanya terdengar sendok garpu yang beradu menemani kesunyian. Tidak ada seseorang pun yang membuka pembicaraan. Ini sungguh tak nyaman, tak seperti di rumah ibuku dulu, saat makan malam seperti ini, kami mengobrol apa saja yang sudah dilalui pagi hari. Beda sekali dengan di sini.
“Indra, kalau istrimu memang tidak betah tinggal dengan Ibu, Ibu enggak papa, kok, kalian ngontrak saja,” kata Ibu memecah keheningan.
Aku sontak terbatuk mendengar ucapannya. Jangan-jangan Ibu mendengar obrolanku dengan Mas Indra tadi di kamar. Kulihat Mas Indra hanya diam sambil menghela napas panjang.
“Bukan begitu Bu maksud Santi. Dia betah, kok, di sini. Cuma dia tidak mau merepotkan Ibu katanya,” jawab Mas Indra menjelaskan kepada Ibu.
“Ya udah terserah kalian berdua saja, memang Santi di sini bisanya hanya merepotkan Ibu saja,” kata Ibu.
Aku menahan tangisku agar tidak pecah. Tega sekali beliau berkata seperti itu. Padahal setiap hari aku selalu menuruti permintaan Ibu. Diam sebentar saja beliau sudah mengomel. Kuremas kuat celana Mas Indra dari bawah meja, aku sangat sakit hati dengan ucapan Ibu.
“Kalau gitu, besok kita akan cari kontrakan, Bu,” kata Mas Indra sambil menarik tanganku.
Aku tahu, mungkin Mas Indra juga sakit hati dengan perkataan Ibu. Sudahlah, setidaknya aku lega Mas Indra menyetujui permintaanku.
***
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai mengemas barang-barangku dan Mas Indra. Aku sudah sangat ingin meninggalkan rumah ini. Di sisi ranjang Mas Indra masih terlelap, aku sengaja tak membangunkannya. Setelah semua selesai, aku bergegas merapikan diri dan berniat membangunkan suamiku.
“Mas, bangun. Udah siang,” kataku pelan sambil menggoyangkan pundak Mas Indra.
“Hmm, iya. Lho, kamu udah rapi?” tanya Mas Indra.
“Iya, Mas, sudah sana cepat mandi.”
***
Aku dan mas Indra keluar dari kamar, membawa koper dan tas tenteng. Ibu, Ayah, dan ipar sudah berkumpul di ruang tamu, menatapku dengan tatapan tidak suka.
“Bu, Pak, Indra mau pamit, ya. Terima kasih sudah mau menerima Santi di sini,” kata Mas Indra berpamitan kepada mereka.
Aku ikut di belakangnya, mencium tangan Ibu dan Ayah dengan takzim. Tak lupa kupamiti juga iparku yang menyebalkan itu.
***
“Kita ngontrak di sini, enggak papa, ya, Sayang?” tanya Mas Indra setelah sampai depan kontrakan yang jauh ukurannya lebih kecil dari rumah Ibu.
“Enggak papa kok, Mas,” jawabku tersenyum menatap Mas Indra.
Setidaknya di kontrakan kecil ini, aku dan mas Indra bisa hidup tenang tanpa menahan sakit hati mendengar omelan Ibu dan iparku.(*)
11 Juli 2020
Monica Silvi Arinta, ibu rumah tangga yang suka mengisi waktu luang untuk membaca dan menulis, dan masih perlu banyak bimbingan.
Editor : Uzwah Anna
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.