Harapan Tak Bertepi
Oleh: Asrunalisa
Kuseruput secangkir kopi sambil menghirup udara segar pagi hari. Matahari masih kelihatan malu-malu memancarkan sinarnya. Rerumputan dan dedaunan masih terbalut embun. Hangatnya aroma kopi membuat suasana hati kembali bersemangat. Sayup angin menyapa alam sekitar menemani hati yang dilanda kesepian. Terlihat kupu-kupu mulai bertebaran mencari madu di setiap kumpulan bunga.
Aku bangkit menuju kamar, ingin menyelesaikan perkerjaan yang sempat tertunda. Besok adalah hari Senin, di mana aku harus menyelesaikan perangkat pembelajaran yang belum sempat terselesaikan. Aku mulai menyalakan laptop kemudian fokus pada pekerjaan sambil ditemani keripik pisang yang renyah dan mampu menggoyang lidah.
Saat sedang mencari bahan ajar dari berbagai sumber, mataku tertuju pada sebuah buku yang terletak di sudut rak. Ya, ini adalah buku pemberianmu di hari pertunangan kita tiga tahun silam. Buku ini berisi isi hatimu dan beberapa foto kebersamaan kita. Aku mulai hanyut dalam tulisanmu yang begitu memesona. Setiap tulisan indah itu selalu dilengkapi dengan foto kenangan yang penuh makna.
Engkau memang seorang fotografer ternama dan berkesan dalam hidupku. Begitu banyak hari-hari bahagia yang kita lalui bersama. Engkau selalu membuatku tersenyum dan bangkit dalam setiap masalah yang mampu menenggelamkanku. Hingga hari itu tiba.
***
“Assalamualaikum. Selamat pagi, Anggun,” suara merdumu di seberang sana.
“Waalaikumussalam”.
“Tidak sibuk kan, hari ini?”
“Mm …hari ini ada les privat dengan anak-anak di balai pengajian Al-Hafidz. Bang Alvin ke sana saja, biar sekalian ikut pengajian.”
Sepulang mengajar di sekolah, aku selalu ikut mengajarkan anak-anak putus sekolah, terkadang aku mengajar privat di sebuah balai pengajian. Bang Alvin juga merupakan salah satu orang yang selalu ikut berpartisipasi dalam mendukung anak-anak. Aku kagum kepadanya, selain menjadi seorang fotografer yang profesional, dia juga merupakan sosok yang dekat dengan anak-anak. Memang calon suami idaman bagi setiap wanita. Tubuhnya yang kekar, beralis tebal, hidung mancung membuat naluriku melayang di saat tatapannya tertuju padaku. Senyumannya yang renyah membuat hatiku … masyaallah.
“Ustazah, boleh nanya sesuatu enggak?” Suara Denis membuat batinku terkejut, tidak terasa waktu belajarnya sudah selesai.
“Iya, boleh. Denis mau nanya apa?”
“Ustazah, kapan rencana menikah?” Denis berbisik sambil tersenyum. Entah apa yang dipikirkannya. Anak seusia dia sudah mengerti hal yang demikian.
“Iya, nanti kalau sudah tiba waktunya,” aku menjawab sambil tersenyum, dan berharap tidak ada pertanyaan lanjutan dari Denis–bocah gendut yang menggemaskan–namun pintar dalam hal pelajaran.
“Ustazah nunggu apalagi, nanti keburu tua, lho,” kata Denis sambil memakai sandal dan berlari ke arah pintu pagar karena sudah datangnnya jemputan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya.
“Ustazah Cantik, sampai jumpa besok.” Denis melambaikan tangannya dan mobilnya pun terus melaju hingga hilang dari pandangan.
Mataku kembali tertuju pada sosok yang sedang sibuk mengabadikan berbagai momen. Tidak bisa dibayangkan jika dia menjadi peneduh jiwa. Aduh, Nisa, kenapa kamu terlalu banyak berharap. Dia dekat denganmu belum tentu dia suka, kan? Aku mencoba menepis perasaan yang ada. Memang, kami sudah lama kenal, tapi Bang Alvin tidak pernah mengutarakan perasaannya. Apa mungkin dia sudah punya penentram jiwanya. Segera kurapikan buku-buku yang masih berserakan di lantai.
“Langsung pulang?”
“Iya, Bang. Kan, sudah sore.”
“Yupz, silakan. Besok lusa Mama ke rumah ya.”
Ya Allah, apa ini tidak salah dengar. Mau bertanya balik orangnya sudah keburu pergi. Ada keperluan apa mamanya Bang Alvin ke rumah? Entahlah.
***
Hari itu, aku duduk mengahadap ke cermin setelah selesai hiasan di kerudungku disematkan. Sebentar lagi ijab qabul akan segera dilaksanakan. Itu artinya aku akan mengakhiri masa lajangku, melengkapi relung hati sang pangeran. Menjadi bidadari dalam sisa hidupnya, membangun mahligai cinta yang penuh warna. Namun, takdir Tuhan yang tidak dapat dielak oleh setiap hamba. Aku mendengar berita yang membuat hatiku hancur berkeping. Sosok yang sangat kuidamkan, yang sangat kurindukan akan belaiannya ternyata harus pergi dengan cara yang tragis.
Telingaku bagaikan disambar petir di saat mendengar akan kepergianmu untuk selamanya. Kecelakaan maut yang membuat engkau pergi begitu cepat, menyisakan kenangan yang begitu mendalam. Buku yang berupa album kenangan yang pernah engkau susun dengan rapi kini hanya menjelaskan bahwa kita pernah bersama. (*)
Bireuen, 03 November 2018
Asrunalisa, wanita yang selalu menanam ribuan harapan dan juga perindu senja. Lahir di tanah serambi mekkah, 6 Mei silam. Mencoba menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan. Selalu berusaha menebar kebaikan, karena itu merupakan sebagai pengingat bagi dirinya sendiri. FB: Asrunalisa Asnawi
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata