Harapan dan Kenyataan (Terbaik 7 Cerpen Fantasi)

Harapan dan Kenyataan (Terbaik 7 Cerpen Fantasi)

Harapan dan Kenyataan

Oleh: Jyhan Rashida

Terbaik 7 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata

Jauh sebelum Lusserth bisa merentangkan sayap-sayapnya yang sepucat tulang di udara lepas, ia pernah menjadi naga kecil bersisik gosong yang sepenuhnya ditelantarkan angin; dibenci air; dan tidak bisa hidup dalam kawah berapi.

Saat itu, Eilen masih berupa tanah tanpa nama yang diperebutkan oleh seluruh ras; dijejali berbagai macam motif dan perkara tabu hingga membuat Liucerna, dewi-iblis agung paling murah hati sekalipun, enggan mengakui keberadaannya.

Lalu apa yang terjadi pada naga kita, Lusserth kecil yang bersisik gosong dan dibenci angin–

“Air! Dia dibenci air. Angin cuma menelantarkannya!” Pembacaku yang budiman, meski bukan bernama Budi dan tak selalu berjenis kelamin laki-laki, pastilah mengoreksi dalam hati. Namun apa beda “ditelantarkan” dengan “dibenci”? Keduanya sama-sama meninggalkanmu sendiri. Namun, tentu, pembacaku yang baik, kita tahu intensitas dalam kedua kata itu ‘agak’ berbeda—kubilang agak, karena, bagi orang yang tidak terlalu peka atau yang tidak ingin memusingkan makna satu kata tunggal, perbedaannya pastilah sama sekali tidak penting. Padahal satu kata sama pentingnya dengan satu kalimat, dan seterusnya—percayakah kalian bahwa aku belum bisa menentukan apakah akan menulis “laki-laki” atau “lelaki” pada kalimat keempat dalam paragraf ini? Ha! Itu dia masalahnya: terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak!

Kenapa kita mengurusi sebuah kata padahal harus menceritakan keagungan seekor naga? Ya, karena, pada kenyataannya, Lusserth tidaklah agung saat sisiknya masih gosong dan diselimuti daging-daging tipis. Nanti, ketika gosong di sisik dan kulitnya tergerus habis sehingga menyisakan permukaan seputih tulang (dan darah berceceran di tanah sekitarnya), barulah sang naga cukup dekat dengan sifat ‘agung’ tersebut—tapi, baiklah! Ayo kita bicarakan saja naga sialannya sebelum bayangan tentang daging yang digesek ke permukaan kasar sampai terkelupas dan kuku-kuku yang dicabut paksa menjadi semakin nyata dan membuat tanganku terlalu gemetar untuk melanjutkan cerita.

Singkatnya, Lusserth belum bisa terbang. Dan berjalan di tanah merupakan penghinaan terbesar bagi para naga. Yang mana, meski saat itu ia masih kecil lagi sebatang kara, insting naganya menyatakan bahwa tanah rendah tempat makhluk-makhluk rendahan memijak hidup mereka bukanlah tempat yang pantas bagi seekor naga.

Bagaimanapun, Lusserth kita yang malang, yang sangat mampu membentangkan sayap tetapi tak bisa meninggalkan tanah, merangkak tak tentu arah dengan semangat hidup yang makin redup.

Oh, bukankah mati di tanah rendahan tanpa sekali pun mencicipi langit merupakan penghinaan yang jauh lebih besar ketimbang kehidupan pecundang itu sendiri? Betapa merananya naga kecil kita! Si gosong yang seringkali berkubang debu dan kotoran dari tempat-tempat paling gelap di permukaan Eilen … yang … yang …

Oke. Cukup. Tidak peduli sebanyak apa pun aku ‘menceritakan’ penderitaan Lusserth, Pembaca sekalian takkan mudah percaya—kecuali bisa melihatnya secara langsung. Namun, apakah memperlihatkan kesengsaraan makhluk lain merupakan keputusan yang bijak? Kita seringkali lupa bahwa wujud sebenarnya dari penderitaan adalah gumpalan abstrak yang menyatu dengan hati (bukan liver), organ fiktif yang, bagaimanapun, tidak dimiliki oleh semua orang. Sangat aneh bahwasannya kita, bangsa manusia yang paling terhormat, mengelompokkan kesengsaraan ke dalam bentuk-bentuk yang terlalu sempit untuk bisa menjabarkan makna sebenarnya. Tapi cerita sialan ini tentang naga!

Pembaca, sejatinya, aku hendak menuliskan kisah ini dalam bentuk yang megah nan bisa diagung-agungkan. Namun, bagaimana caraku mewujudkan keagungan dari keberadaan kecil gosong yang merupakan aib bagi para naga itu sendiri? Bahkan jika aku lebih banyak menjabarkan peperangan hebat yang berlangsung nyaris selamanya di bumi Eilen, keagungan itu hanya akan tampak lebih ironis—tragis; aneh; dan sedikit janggal.

Bukankah medan perang lebih cocok disebut menyedihkan?

“Sialan!”

Bagi siapa pun yang ikut menggaungkan rutukan itu dalam hati, berharap mendapatkan cerita megah namun kecewa, hampir berhenti membaca saat ini juga, tolong bersabarlah. Tuan, Puan, kita sampai pada bagian pentingnya; alasanku beromong kosong selama 600 kata: Lusserth kita yang malang, yang gosong karena telurnya nyaris menetas dalam kawah berapi, akhirnya menemukan ujung dari medan perang! Ujung itu berbentuk tebing batu curam yang menghadap langsung ke lautan berbadai. Tampaklah ombak-ombak ganas; miasma kuning pucat; dan pulau-pulau batu yang seolah meneriakkan “pulang!”

Waktu itu, Lusserth kecil, yang bahkan tak yakin bisa makan dua kali seminggu, memikirkan satu hal tabu: “Mungkinkah diriku ini bisa mendapatkan ikan-ikan jika berburu sebentar di lautan lepas?”

Ia terjun sembari memegang harapan; bukan keputusasaan selayaknya jiwa-jiwa lain yang menyerahkan raganya kepada ombak. Sayangnya para roh pendendam yang tinggal di balik miasma, di atas pulau-pulau karang, sama sekali enggan mengizinkan barang satu pejantan dari bangsa mana pun mencumbui lautan lepas. Maka tercekiklah Lusserth kita yang malang tanpa bisa melakukan perlawanan. Kaki-kaki dan sayap kecilnya kepayahan; tangan-tangan gaib para roh pendendam menyeret lehernya ke pantai yang jauh, teramat sangat jauh … hingga sang naga kecil pingsan selama enam hari hanya untuk terbangun di atas seonggok tanah keras yang menjulang tinggi di tepian lain medan perang.

Teriakan para prajurit menusuk -nusuk telinganya. Jeritan makhluk-makhluk yang bukan naga maupun manusia memecah udara dan menjatuhkan puing-puing bening ke atas tanah tandus yang sepenuhnya bercampur darah kering serta kematian.

Lusserth mendekati lapangan pembantaian itu demi mencapai seonggok jasad yang terpinggirkan. Masih segar; mungkin baru terbunuh beberapa jam sebelumnya. Maka, dengan kepedihan yang teramat sulit dijelaskan, si naga kecil menggerogoti daging dan kulit, mengunyah tulang dan minum dari darah sang prajurit pemberani yang telah menjadi korban kerakusan penguasa ras.

Oh, pembacaku yang setia, Lusserth kita yang malang tak pernah tahan menyantap mayat! Ia adalah naga! Bukan kehendaknya menanam aib langsung ke dalam tulang dan daging-dagingnya dengan menjadi pemakan bangkai.

Pada akhirnya, ia hanya mampu mengunyah sepasang tangan, yang salah satunya telah tertebas kapak hingga nyaris putus menyisakan hanya segelambir kulit yang menyatukannya dengan tubuh. Ia menjilati sang prajurit, mengunyah, mencoba tidak peduli pada bau anyir dan keterhinaan yang tiba-tiba—dan SELALU datangnya sangat tiba-tiba—mencekik.

Pada akhirnya, Lusserth kembali berjalan, dengan perut separuh kosong dan perasaan yang teramat buruk, mencari sudut mana pun yang bisa memberinya kedamaian. Dan oh, pembaca! Bersyukurlah karena naga kita yang malang benar-benar menemukan tempat semacam itu!

Itu adalah malam di bulan keenam ratus dari masa perang. Hujan turun begitu kejam—ia kedinginan! Dan jika Anda tahu, pembaca sekalian, hujan di Eilen waktu itu bukanlah berkah dari surga. Bayangkanlah kolam es neraka telah bocor: airnya yang sedingin murka Iblis Pertama berjatuhan bagai jarum-jarum beku yang dapat menusuk tulang, secara harfiah. Namun, bahkan di masa perang besar pun Eilen merupakan daratan ajaib bahkan bagi Lusserth yang telah kehilangan arah.

Naga kecil itu tiba, dengan amat tidak percaya, di jejeran toko-toko roti, buah, dan anggur yang dari jendela-jendelanya memancarkan pijar hangat lampu minyak. Demi membaui aroma roti daging di tengah hujan yang kejam, naga malang kita menghampiri sebuah toko.

Oh, betapa kita yakin, kita tahu pasti, bahwa seperti dalam cerita-cerita, naga kecil kita yang sisiknya gosong dan amat malang ini, pastilah akan bertemu pemilik toko baik hati yang memberinya makanan dan tempat berteduh.

Lusserth bahagia saat pintu depan toko roti, yang bagian dalamnya tampak sangat hangat dan mengenyangkan, terbuka perlahan-lahan. Sesuatu menggetarkan hati malangnya hingga sang naga kecil meneteskan air mata untuk keenam ratus kalinya—ia sangat ‘campur aduk’!

Pintu terbuka; lelaki pemilik toko mendapati seekor naga kecil, basah kuyup dan kedinginan, benar-benar mengiba di depan tokonya yang hari itu belum kedatangan pengunjung—terkutuklah perang sialan ini!

“Oh, sayang,” gumamnya sembari membungkuk.

Kemudian, dengan sekuat tenaga ia tendang naga kurus kita yang malang kembali ke jalan, yang masih bertanah keras meski kerap kali diguyur hujan lebat.

Itulah pertama kalinya Lusserth menyadari bahwa kulitnya bisa robek dan mengeluarkan darah juga. Itulah, para pembaca yang baik, pertama kalinya Lusserth menyadari bahwa warna tulangnya, yang putih pucat dan bebercak merah, teramat sangat indah.[]

Bekasi, 27 Oktober 2024

Jyhan Rashida: spesialis cerita gelap yang mengaku suka sama Dazai Osamu, kopi, dan warna ungu.

Komentar juri, Lutfi:Secara teknik, cerpen ini sudah ditulis dengan baik. Kalimat-kalimatnya yang tajam dan umpatan-umpatannya yang ketus menghadirkan emosi yang cukup menyentak pembaca. Perasaan tokoh naga yang malang juga tersampaikan dengan baik. Hanya saja, narasinya yang terlalu banyak menembus fourt wall entah kenapa justru agak mengurangi kedalaman pada ceritanya sendiri. Kebermain-mainan narator yang cukup liar ini justru membuat alur ceritanya terasa kurang fokus.

Grup FB KCLK

Leave a Reply