Harapan
Oleh: Lilik Eka
Asap mengepul, memenuhi sebuah rumah kecil. Asap itu seolah berlomba dengan angin yang menerobos dari celah dinding triplek yang sudah mulai rapuh. Seng atap rumah itu pun sudah memiliki banyak lubang. Seorang wanita dengan gesit menyiangi sayuran, meracik bumbu, sambil sesekali membetulkan tungku agar apinya tetap menyala.
Hari masih gelap. Belum ada tanda-tanda hujan akan segera berhenti. Sudah dua minggu hujan turun setiap pagi, menyebabkan wanita itu tidak bisa berjualan di pasar.
Wanita itu bernama Ita. Seorang ibu dengan empat anak. Dia berumur dua puluh delapan tahun. Tubuhnya kurus dengan kulit menghitam dan rambutnya yang selalu terlihat kusut, menandakan jarang disisir.
Beberapa saat kemudian, masakan Ita telah matang. Sayur daun kelor, ikan rebus, dan tempe. Sederhana bagi orang lain, tapi bagi Ita itu adalah menu terbaik yang bisa dia hidangkan untuk anak-anak.
Ami, Rehan, Sahrul, dan Mia. Empat anak yang saat ini menjadi tanggung jawabnya. Siapa lagi yang bisa memenuhi kebutuhan mereka, selain dirinya.
***
Suara petir membangunkan anak-anaknya, diikuti suara tangis Mia, si bungsu yang masih berumur dua tahun.
“Mak, makan, lapar,” pinta Rehan sambil mengucek mata.
Sambil menggendong Mia, Ita menggambil tiga piring dan mengisinya dengan nasi, beserta lauk pauk.
Ita duduk di dekat pintu yang telah dia buka, duduk selonjor menyusui Mia. Tidak sekolah membuatnya tidak mengerti akan kesehatan. Ita membiarkan anak-anaknya makan tanpa cuci tangan atau mandi setelah bangun tidur.
“Kalau hujan reda, Mamak akan keliling jual singkong. Kamu jaga adik ya, Am!” perintahnya pada Ami, si sulung.
Lagi-lagi kebutuhan yang mendesak, ditambah lagi dia tidak memiliki keterampilan, membuatnya hanya bisa berjualan singkong di pasar atau keliling di perumahan dekat tempat tinggalnya.
Si sulung Ami, meskipun baru berumur delapan tahun, sudah bisa dipercaya untuk menjaga adik-adiknya selama Ita berjualan. Tuntutan keadaan membuat anak-anaknya cepat dewasa.
Hari sudah agak siang. Hujan sudah reda. Ita segera berangkat keliling menjajakan singkong di keranjang, menawarkannya dari rumah ke rumah. Ternyata di perumahan itu banyak yang membeli, bahkan ada yang pesan dan minta di antar dua hari mendatang.
Singkong telah habis. Dengan wajah sedikit ceria, Ita pulang membawa hasil jualan yang sedikit lebih banyak dari hari sebelumnya. Tak lupa dia singgah di warung untuk membeli kebutuhan besok. Ita juga membeli kue kering untuk anak-anaknya.
Sampai di rumah, segera dia mengeluarkan belanjaannya. Dia membagikan kue kering kepada anak-anaknya. Wajah ceria dari empat bocah itu pun menghangatkan hati wanita ulet tersebut.
Kali ini empat anaknya sudah mandi. Meskipun tidak memakai sabun, karena belum ada uang untuk membeli. Tentu saja bau keringat masih sedikit menempel, tapi setidaknya mereka tidak merasa gatal.
Setelah makan malam, anaknya tertidur di ruangan yang sempit. Hanya berukuran 3×4 saja, lima orang berdesakan mencari tempat yang nyaman untuk berbaring. Ita merebahkan badannya yang terasa pegal di dekat Mia, agar jika sewaktu-waktu bangun bisa Ita susui dengan mudah. Hatinya sedikit lega, kebutuhan makan empat anaknya besok sudah tersedia.
Belum lama merebahkan diri, Ita pun terlelap menyusul anak-anaknya. Tak mereka pedulikan gigitan nyamuk di kulit mereka.
“Ta! Oh, Waita!” Gedoran pintu dan teriakan seseorang, membangunkan seisi rumah. Hari masih gelap, keriuhan dari tangis anak-anak yang terkejut karena gedoran di pintu pun terdengar.
“Suamimu kumat! Merusak jendela rumah Pak Rinto!” Kakak Ipar Ita menjelaskan sambil terengah-engah.
Ita berjalan mengikuti Kakak Ipar tanpa menghiraukan tangis anak bungsunya. Pikirannya tertuju pada suaminya yang sakit dan kembali berulah. Apalagi sekarang? Ita panik. Akibat perbuatannya bulan kemarin saja, masih harus Ita tanggung dengan mencicil.
Sampai di depan rumah mertuanya, banyak orang yang berkumpul dan terlihat suaminya dipegang dua orang tetangga. Wajahnya tampak merah padam, layaknya orang yang menahan marah.
Suara-suara sumbang dari tetangga, membuat Ita semakin tertekan. Bukan hanya memikirkan kerugian Pak Rinto, tapi juga anggapan mereka tentang suaminya yang dinilai tidak waras.
Seandainya ada biaya, tentu saja Ita ingin suaminya dirawat di rumah sakit. Bukankah sakit malaria bisa sembuh? Tapi kenapa malaria membuat suaminya berperilaku buruk? Pikiran Ita terus saja berputar-putar, memikirkan suaminya yang tak kunjung sembuh.
“Ta! kamu harus tanggung jawab! ganti kaca jendela rumahku hari ini juga!” Pak Rinto berteriak sambil mendekati kerumunan warga.
Semua orang beralih melihat Pak Rinto. Mereka semua tahu siapa dia. Orang kaya di kampung yang memiliki karakter keras. Tidak ada yang berani membantahnya.
Tanpa peduli dengan orang sekitarnya, Pak Rinto berlalu begitu saja. Diikuti tetangga yang membubarkan diri. Mungkin mereka memberi ruang untuk Ita dengan mertuanya memikirkan ganti rugi yang dituntut pemilik kaca jendela yang telah pecah.
Ita terduduk seperti tanpa tenaga. Hatinya menciut dan berpikir dari mana dapat uang untuk membeli kaca, tentunya tidak murah.
“Sudah. Tenang, Mamak ada cincin, sebentar Mamak jual. Mungkin bisa untuk ganti kaca yang pecah,” keputusan mertuanya membuat Ita sedikit lega.
“Pulang sana, kasihan anak-anakmu,” lanjut mertuanya dengan tatapan sedih.
Ita pun berdiri dan melangkah, bergegas untuk pulang. Hatinya sedikit lega, mertuanya membantu untuk meringankan bebannya. Meskipun di hati kecilnya Ita merasa tidak enak dan kasihan. Mertuanya sudah tua. Dengan penghasilan yang tidak berbeda jauh darinya, tetapi keadaannya juga tidak lebih baik.
Tanpa disadari, Ita sudah sampai di depan rumahnya. Meskipun bukan rumah sendiri, tapi di situlah tempat ternyaman untuk Ita dan anak-anak saat ini.
“Mak, kami sudah makan!” teriak Rehan, begitu Ita berdiri di depan pintu.
“Dianterin orang baru itu loh, Mak,” sambung Ami dengan menunjuk rumah yang ada di seberang.
Ita merasa lega luar biasa. Anak-anaknya sudah makan. Jadi, dia tinggal memasak untuk siang dan malam hari. Dia tidak peduli perutnya yang terasa perih karena lapar. Paling penting, anak-anaknya dulu sudah kenyang.
Ita bergegas mengerjakan semua pekerjaan rumah yang belum disentuhnya. Mencuci baju adalah hal pertama yang Ita kerjakan sebelum memasak.
Pekerjaan sudah selesai, sangat jarang Ita di rumah di siang hari, tapi hari ini Ita tidak bersemangat untuk ke kebun memanen singkong. Ita kehilangan semangat kerja, diperhatikan anak-anaknya yang bermain kelereng di depan rumah.
“Mbak, Mbak Ita!” Panggilan seorang tetangga baru mengejutkan Ita.
“Eh iya, Bu. Ada apa?” Ita menjawab, beranjak dari duduknya.
“Mbak Ita, mau gak, kerja di rumah saya?” sambungnya, sambil melihat anak-anak yang bermain.
“Sa-saya, ndak bisa masak, Bu. Setrika juga kurang halus, malah pernah membuat baju majikan saya berlubang, makanya saya diberhentikan.” Dengan sedikit malu, Ita menceritakan kejadian beberapa bulan lalu.
“Ndak apa-apa. Nanti pelan-pelan saya ajari,” lanjut ibu itu dengan ramah.
Selanjutnya, Ita pun belajar mengerjakan tugas-tugasnya dengan diajari Bu Susi, si tetangga barunya itu. Hingga tidak terasa, sudah enam bulan Ita bekerja di rumah Bu Susi.
Ita yang pada dasarnya sangat rajin dan ulet, membuat Bu Susi bersedia mengajari dan mempekerjakannya.
Perlahan kehidupan Ita mulai membaik. Dengan rutin berobat ke Puskesmas, suaminya sudah tidak lagi bersikap kasar dan merusak barang. Dia juga sudah bisa menjaga anak-anak saat Ita sedang bekerja.
Ami, anak sulungnya itu juga sudah masuk SD. Memang terlambat di usianya yang sudah sembilan tahun. Ini karena Ita baru bisa mengurus surat identitas diri untuk memenuhi persyaratan pendaftaran Ami.
Tentu saja ini berkat bantuan Bu Susi dan suaminya. KK, KTP dan akta kelahiran Ami, semuanya Bu Susi yang mengurus.
Ponsel bekas juga sudah bisa Ita beli untuk keperluan sekolah Ami yang saat ini menggunakan media daring.
“Mak, lihat! Aku buat video menyanyi. Tugas dari Bu Guru!” cerita Ami dengan antusias, sambil memperlihatkan layar ponsel yang memutar video dirinya menyanyikan lagu Garuda Pancasila.
Hati Ita menghangat. Dia sangat bersyukur anaknya bisa sekolah. Tidak seperti dia dan suaminya yang tidak sekolah. Harapannya, semua anak-anaknya bisa sekolah. Supaya kelak mereka tidak didera kemiskinan.(*)
Balikpapan, 8 Agustus 2021
Lilik Eka, seorang ibu yang ingin memberi contoh pada anaknya bahwa belajar itu tidak mengenal usia.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay