Hara (Terbaik 12, TL 21)

Hara (Terbaik 12, TL 21)

Tantangan Loker Kata 21

Naskah Terbaik ke-12

Hara

Oleh: Bulanilu

 

Siapa bilang luka batin itu tidak nyata? Bukan suatu hal valid? Siapa bilang trauma hanya kalimat FOMO saja? Mengikuti tren TikTok dengan menulis kalimat-kalimat sedih. Menjual air mata untuk menarik followers. Menaikkan viewers semata.

Rasa-rasanya Hara belum pernah ingin mengamuk separah ini. Batinnya merana. Sungguh. Bukan hanya sebuah kalimat galau agar postingannya terlihat estetik.

Hara menelungkupkan kepala ke lipatan kaki. Menelusupkan wajah di sela lipatan lutut. Terisak-isak. Sampai rasanya dadanya terasa akan meledak. Napasnya terasa berat dan panas. Meski begitu, Hara semakin menekan tangsinya kuat-kuat. Mengendalikan suara tangannya agar tidak terdengar sampai luar kamar.

Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Hara. Keinginan yang belum juga terlihat akan terjadi. Harapan yang mungkin tidak akan pernah tercapai?

Atau… sudah tercapai tapi Hara tidak menyadarinya.

Kepala Hara terangkat. Pandangannya langsung bertaut dengan sepasang mata berwarna madu. Rambut panjangnya berjatuhan di sisi kepala saat menunduk. Dihiasi dengan kepangan kecil di sisi dan jepit warna-warni berbentuk bulat kecil. Mekapnya natural, tapi yang membuat Hara terkesiap adalah wajahnya yang terasa familiar sekaligus asing secara bersamaan. Seolah-olah Hara pernah bertemu ribuan kali.

“Kamu baik-baik aja?” Suara itu mendayu. Lemah namun terkesan tegas.

Hara menganggukkan kepala ragu. Seingatnya dia sedang menangis di kamar, sendi… what?! Terus orang di depannya ini siapa?! Kenapa ada di kamar Hara?!

Mata Hara berkedip. Sekali. Dua kali. Berharap orang di depannya hilang setelah kedipan ketiga. Membuat orang di depannya menatap bingung setengahnya lagi heran.

Semuanya terasa nyata. Bahkan saat orang itu tiba-tiba menempelkan punggung tangannya di kening Hara. Terasa hangat.

“Kamu sakit?” Hara menggeleng. “Perpustakaan sudah mau tutup. Ayo keluar, kalau tidak mau dikunci sendirian di sini.”

Lebih dari apapun. Keheranan Hara sudah mencapai puncak. Bukan lagi sebuah mimpi yang seolah nyata. Derap langkah Hara terasa pasti. Langkah seseorang di depannya pun  terlihat mantap.

Melewati pintu kaca besar, Hara keluar dari perpustakaan. Disambut halaman luas dengan beberapa kursi tersebar tidak beraturan.

Satu meja bundar besar di ujung kiri dan dikelilingi kursi-kursi kecil. Ada seorang yang tengah duduk di sana. Hara refleks mengikuti orang di depannya. Berjalan menuju meja bundar itu.

Dari siluetnya terlihat seperti laki-laki. Mengenakan kaus hitam dan celana jins yang sudah mulai pudar warnanya. Mungkin karena mendengar suara langkah kaki mendekat, laki-laki itu menoleh. Senyumnya terulas lebar melihat orang yang berjalan menuju ke arahnya. Demikian pula dengan perempuan yang Hara ikuti. Namun tidak dengan Hara.

Napas Hara tercekat. Dadanya mendadak terasa berat. Matanya terasa mengembun dan panas. Berkedip sekali saja, air mata akan meleleh.

“Kalian!” Hara menggebrak meja. Mendahului langkah perempuan itu. Membuat laki-laki yang tengah duduk di sana menatap Hara tidak suka. Tapi peduli apa, Hara langsung menarik tangan perempuan  yang sejak tadi bersamanya yang terulur hendak bersalaman dengan laki-laki itu. Menyelipkan ke sela jari perempuan itu. Sedikit mencengkramnya erat.

“Apa-apaan kamu, bocah kecil?!” Laki-laki itu berdiri. Menatap Hara penuh tantangan.

Hara menggeleng. Luntur sudah pertahanannya. Air mata sudah meleleh di di kedua pipi. Dia menoleh menatap orang di sampingnya. Meminta dengan sangat jangan mendekat pada laki-laki itu.

Tahu pertanyaannya tidak mendapat jawaban, laki-laki itu beralih menatap perempuan di samping Hara. “Siapa dia, Ellen?!”

Itu dia! Nama perempuan itu. Perasaan familiar yang sejak tadi Hara rasakan sudah hilang. Hara mengingatnya.

“Ellen!”

Hara mundur dua langkah. Bersamaan dengan laki-laki itu melangkah maju, Hara menarik tangan Ellen. Menariknya menjauhi laki-laki itu.

“Siapa dia Ellen?! Kelakuannya tidak benar! Tidak punya sopan santun.”

Mata Ellen mengerjap. Pias wajahnya tidak bisa tertutupi. Bukan dari teriakan laki-laki yang berjalan maju dengan derap kuat itu. Justru dari isakan Hara dan panggilan yang Hara ucapkan lah kesiap itu bisa datang.

“Jangan ya, Ma. Plisss.”

“Kamu tunangan saya, Ellen. Kenapa kamu menuruti dia.” Sebelah tangan Hara mengepal. “Bocah kecil tidak tau sopan santun.” Seketika ingin memukul mulut itu sekuat tenaga.

“Ellen! Dari tadi saya tanya sama kamu, kamu diam saja. Bocah itu siapa?!”

“Mama.” Hara semakin terisak.

Panggilan kecil itu membuat Ellen berhenti melangkah. Membuat celah laki-laki itu bisa merebut tangan Ellen dari genggaman Hara. Tubuh Ellen terhuyung. Hampir terjungkal kalau saja tidak cepat berpegangan pada tubuh laki-laki itu.

Hara mengusap mata dengan cepat. Menatap Ellen sungguh-sungguh dari balik air matanya yang tidak berhenti mengalir. “Jangan sama dia, Ma. Plis. Dia bakal lebih jahat di masa depan.”

Tawa meremehkan terdengar. Mata Hara semakin bergetar. Apalagi melihat Ellen malah semakin mengeratkan jemarinya ke sela jari laki-laki itu.

“Masa depan?” Nada itu penuh cemoohan. “Kamu bilang masa depan? Di masa depan aku akan lebih jahat?” Tawa itu semakin keras. “Tau apa kamu, bocah?! Kamu itu tidak tau apa-apa tentang saya. Dan memangnya kamu siapa, sok tau tentang masa depan.”

Nadanya mencibir. Membuat Hara mengeratkan kepalan tangan kuat-kuat.

“Memangnya siapa dia, Ellen? Dari tadi saya bertanya tidak kamu jawab.”

Ellen menggeleng terbata. “Ellen tidak tau, Mas.” Menjawab terpatah-patah.

Binar beringas di mata laki-laki itu semakin membara. Menantang Hara. “Kamu dengar sendiri kan, Bocah?! Ellen bahkan tidak tau kamu siapa! Jadi jangan bertingkah macam-macam seperti orang gila! Sok-sok an berkata tentang masa depan!”

Darah Hara menggelegak kuat. “Aku tau!” Emosi sudah tidak bisa lagi Hara bendung. “Karena aku memang dari masa depan! Aku anak kalian! Mama Ellen. Dan kau, Setan!” Telunjuk Hara mengacung.

Satu pukulan menghantam kepala Hara. Anak itu hampir terjerembab di tanah.

“Sudah gila! Tidak punya sopan santun!”

“Kau pikir karena siapa?!” Hara balas berteriak.

Tawa sinis terdengar. “Kamu mau menyalahkan saya, bocah?! Saya bahkan tidak tau kamu siapa!”

“Sudah aku bilang, aku anak kalian!” Hara meraung. “Kau ayah yang nggak layak disebut ‘ayah’! Nggak layak disebut manusia! Kau lebih setan dari setan sendiri. Kau selalu mukulin aku! Selalu teriak-teriak! Ngamuk kalau yang kau mau nggak kesampaian! Aku tuh anak kalian! Kau pernah mukul aku pakai bata! berkali-kali nyundutin rokok ke badan aku! Ngelempar piring ke kepalaku! Jadi, plis, Ma.” Hara tidak peduli lagi saat pukulan kedua menghantam pelipisnya. “Jangan nikah sama dia, ya, Ma.”

Hara tidak tau bagaimana dia bisa terdampar di sini. Bertemu mama di masa mudanya. Sekaligus bertemu laki-laki yang di masa depan menjadi suami Ellen.

“Ma… Mama nikah sama setan itu, Mama ngehancurin diri Mama sendiri. Mama juga ngehancurin Hara! Mama ngelahirin Hara cuma buat samsak hidup setan itu.” Yang Hara tau, Hara diberi kesempatan untuk memisahkan Ellen dari laki-laki itu.

“Sekali lagi kamu bilang saya setan, Bocah. Saya laporkan kamu ke penjara!” geram laki-laki itu. Hantamannya hampir mengenai Hara tapi gadis itu berhasil menghindar.

“Lihat sendiri kan, Ma. Bahkan di masa lalu aja, saat aku belum lahir dari rahim Mama, setan itu udah mukul aku. Bagaimana nanti di masa depan?”

“Mama nggak sejahat itu sama Hara kan?” Karena masih ada harapan di hati Hara.

Cukup Ellen di masa depan saja yang diam saja saat Hara dipukuli habis-habisan. Cukup Ellen di masa depan saja yang tidak becus menjaga Hara dari amukan suaminya. Cukup sekali saja Hara bertemu Ellen. Cukup sekali saja Hara menjadi anak Ellen.

“Saya nggak tau.” Suara Ellen hilang beradu dengan napas kasar laki-laki yang Hara panggil setan itu.

“Ma….”

“Kamu! Bocah gila! Sudah mengaku-ngaku anak saya! Mengatai saya setan! Sok tau masa depan! mengatai saya macam-macam. Sekarang kamu mau menghasut tunangan saya?! Memang betulan gila otakmu itu, Bocah!”

Hara tidak berkelit saat sebuah telinga kiri dijewer kuat. Hatinya hancur. Kepalanya berdenging. Terasa sangat berat. Pelipisnya terasa sangat panas tepat di tempat pukulan tadi. Itu semua tidak cukup  menyakitkan dibanding kalimat yang Ellen ucapkan.

“Sudahlah, Mas. Namanya anak-anak. Pikirannya sedang aktif-aktifnya. Anak ini sedang belajar berimajinasi.”

Kepala Hara tersentak. Laki-laki itu melepas tangannya setelah mengibas telinga Hara dengan kuat. Kepala Hara rasanya seperti di hantam batu berton-ton. Darahnya terasa mendidih.

“Untung saja tunangan saya baik.” Laki-laki itu mendengus.

“Mama bukan baik, Mama lemah. Mama nggak berani lepas dari laki-laki itu. Mama takut diamuk. Mama takut setan itu mengejar Mama. Menghancurkan hidup Mama. Mama nggak berani mengambil sikap. Mama nggak berani ngelaporin laki-laki itu. Mama takut. Sampai akhirnya Mama tega ngasih anak Mama sendiri buat dijadiin samsak hidup. Mama bukan baik. Justru Mama nggak punya hati.”

“Mengatai tunangan saya apa, kamu?!”

“Dek… mulutnya dijaga.” Nadanya pelan. Tapi Hara masih bisa mendengar nada tersinggung pekat di sana.

Hara menggeleng. “Kenapa?! Mama nggak terima?! Mama nggak terima Hara bilang begitu?! Bahkan di masa depan, Mama lebih baik dari itu.” Jelas bukan baik yang sebenarnya. Karena, “Mama selalu ngebela setan itu, bilang kalau Ayah lagi capek lah. Bilang kalau Ayah baru aja ditipu temannya lah. Ayah barusan kehilangan uangnya lah. Mama selalu menormalisasikan kelakuan Ayah ke Hara. Mama selalu minta Hara sabar. Selalu minta Hara mengerti.”

Ellen menggelengkan kepala. Menolak mendengar yang Hara katakan. Hara melihatnya dari balik air mata. Juga amarah tersinggung yang bermain di hati perempuan itu.

“Makanya, Ma, percaya sama aku. Percaya sama Hara. Jangan nikah sama dia. Dia bakal jadi setan. Dia bakal ngam-“

“Diam!”

“Dek!”

“Ma… Jangan ya Ma. Di masa depan, Mama bakal kehilangan kehidupan bahagia Mama. Mama bakal sakit tiap hari. Hari-hari Mama kaya di neraka.”

“Belum selesai juga kamu bicara tidak jelas, Bocah?!”

Hara menggeleng. Kesempatan ini. Di mana Hara bisa bicara sebegini jelasnya pada Ellen hanya datang satu kali. Kesempatan ini tidak akan Hara sia-siakan.

Ellen harus mendengarnya.

Ellen harus menerima semua yang Hara katakan.

Ellen harus berpisah dari laki-laki itu.

“Ini bukan cuma buat Hara, Ma. Di masa depan, Mama yang paling banyak berkorban. Hara nggak mau, Mama kesakitan lagi.”

Kalau masa lalu ini memiliki masa depan, jangan ada ikatan keluarga di antara mereka.

Kalau masa ini akan berlanjut. Hara harus memastikan, Ellen tidak memilih jalan seperti kehidupannya yang lain.

“Dek, saya tidak tau kamu siapa. Tapi kamu kayaknya Mas benar. Kamu benar-benar tidak waras. Tidak ada yang tau masa depan akan seperti apa.” . “Tidak ada yang bisa menebaknya. Mungkin setelah kami menikah, Mas tidak akan menjadi seperti yang kamu bilang. Ada kemungkinan Mas akan berubah.” . “Dan mungkin anak kami bukan kamu.”

Hara menggeleng. Air matanya mengalir lebih deras dari sebelumnya. Kepalanya yang tadi dipukul terasa berdenyut.

“Ma, plis. Jangan sama dia.” Ellen menggeleng.

“Mama bakal jalanin neraka bahkan sebelum Mama mati.”

“Itu tidak mungkin, Dek. Kami saling mencintai. Tidak mungkin Mas akan setega itu.”

Cinta ya? Alasan yang sama yang Ellen katakan pada Hara. Alasan kenapa mereka memutuskan menikah. Alasan kuat kenapa Ellen bersikeras memilih laki-laki itu. Tapi tidak berhasil menjadi alasan kuat untuk tidak ada kekerasan dalam rumah tangga mereka.

“Lagipula saya tidak percaya kamu dari masa depan.”

Telak!

Hara terduduk. Meraung. Menggeram. Menangisi bahkan di masa yang bukan masa dia hidup, Ellen tidak bisa mempercayainya. Di masa yang tidak seharusnya Hara berada, Hara tetap merasakan pukulan itu. Hara tetap menjadi samsak hidup.

Betapa Hara muak. Dari yang sudah terlihat di depan mata, Hara berkali-kali dipukul. Dijewer kuat-kuat. Ellen tidak juga tersentuh.

“Mama paling tidak punya hati di dunia. Di seluruh masa. Kalian pasangan monster.”

Ada kelebat emosi di wajah Ellen-

“Tidak ada orang tua yang tega dan tidak sayang pada anaknya.”

“Ya. Memang benar. Dan kalian bukan termasuk orang tua itu.”

Luruh sudah harapan Hara. Hara gagal meyakinkan Ellen. Gagal memisahkan mereka.

Masa ini, akan tetap berlanjut seperti yang sudah dilalui-

“Hara, Nak. Ayahmu capek banget, Nak. Teman Ayah bertingkah dan Ayah harus nyelesaiin tugas dia-“

Hara merasa usapan di punggungnya. Pelan-pelan dia mengangkat kepala. Langsung berhadapan dengan wajah mamanya.

Titimangsa: 3 Agustus 2025

Bulan, sangat menyukai malam dan bulan yang sekarang sedang giat belajar menulis. Motivasi bulan: “Merangkai kata untuk menyampaikan rasa.”