Hantu Air

Hantu Air

Hantu Air

Oleh: N. Insyirah

 

Pagi masih buta dan di luar begitu sepi. Harusnya aku kembali tidur dan bangun dua jam lagi. Namun, aku bangkit, merapikan pakaian dan beberapa barang yang dibutuhkan lalu memasukkannya ke dalam tas. Setelah itu aku membangunkan Romi. Adikku itu tampak enggan membuka mata, dia bahkan membalikkan tubuhnya ke kanan dan kembali bergelung layaknya trenggiling. Aku terus memanggil namanya sambil mengguncang-guncang pelan tubuhnya.

Setelah agak lama, barulah Romi bangun. Bergegas aku memakaikan jaket merah favoritnya untuk menghalau dingin ketika matanya masih setengah terbuka dan mulutnya berulang kali menganga lebar—menguap. Kami harus segera pergi dari sini jika tidak ingin hantu air datang dan membunuh kami.

“Kita mau ke mana pagi-pagi begini, Kak?” tanya Romi.

“Kita akan pergi jauh.”

“Ke mana?”

“Nggak tahu.”

“Apa nggak bisa siangan? Aku masih ngantuk banget, Kak,” rengeknya.

Aku diam, tak lagi menjawab pertanyaan Romi. Kuatur napas sebelum membuka pintu, yang harus sedikit diangkat agar tidak roboh, lalu menatap sekitar. Semua jendela rumah panggung di danau ini masih tertutup, tapi aku yakin orang-orang bukan sedang asyik tidur, melainkan sudah pergi meninggalkan tempat ini begitu keadaan dirasa aman. Terlihat dari hilangnya sampan-sampan yang diikat pada tiang-tiang tangga.

Sudah dua pekan kami berpikir untuk meninggalkan tempat yang kami tinggali sejak lahir ini. Beberapa orang yang sedikit lebih tua dariku dan Romi mengambil keputusan lebih cepat. Katanya, tinggal di mana nanti, itu soal belakangan, yang penting harus meninggalkan tempat berhantu ini. Tapi tidak dengan orang-orang tua. Sementara aku dan Romi tetap tinggal karena tak tahu hendak ke mana jika pergi dari sini.

Sayang, hantu air makin sering muncul kala malam. Ditandai dengan air yang beriak semakin kencang dan asap tebal yang mengaburkan pandangan. Lalu dalam sekejap akan ada seorang dari warga di sini yang tewas dengan kondisi tubuh kebiruan dan mulut berbusa.

Begitu juga yang terjadi semalam. Air kembali beriak semakin kencang dan asap tebal muncul mendadak, membuatku sulit melihat. Segera aku mendekap Romi yang duduk di sampingku dan menyuruhnya memejamkan mata kuat-kuat. Berbagai doa kurapalkan, berharap hantu air tak datang ke rumah kami dan memangsa salah satu di antara kami. Sampai kemudian, sebuah jeritan pecah dari rumah panggung di sebelah rumahku. Raungan di tengah isak tangis itu cukuplah untuk membuat badanku gemetar hebat. Ada korban nyawa lagi!

Aku menuruni anak tangga sambil menggenggam erat tangan adikku, mengabaikan bunyi berderit yang akrab di telinga. Lalu, ketika berhadapan dengan anak tangga yang patah, aku sedikit melompat turun sebelum menggendong tubuh kurus Romi.

Sekali lagi, kuedarkan pandangan. Lalu berhenti ketika melihat tetes darah yang jatuh sedikit-sedikit dari rumah panggung di sebelah kami. Rasanya memang tak mungkin lagi untuk bertahan sedikit lebih lama. Bahkan saat ini, di danau ini, hanya tersisa aku dan Romi saja.

Lanjut menuruni dua anak tangga lagi, kami kemudian berhenti di depan sampan. Aku naik ke atas sampan lebih dahulu, menjulurkan tangan untuk menuntun Romi naik. Untunglah masih ada satu sampan tersisa. Setelah dirasa Romi sudah berpijak dengan baik di atas sampan, aku melepas tali yang terikat di tiang tangga dan mendayung perlahan.

“Bernyanyilah!”

Aku menyuruh Romi bernyanyi untuk mengusir kesunyian, serta mengusir rasa takutku. Entah karena hari yang masih begitu dini atau karena angin yang berembus kencang sehingga tubuhku rasanya ngilu. Tanganku juga terasa kaku dan sulit digerakkan untuk terus mendayung. Dan syukurlah Romi mau bernyanyi tanpa bertanya untuk apa atau menolak dengan alasan malas dan masih ngantuk.

Aku terus memaksakan diri mendayung. Membuat sampan bergerak semakin jauh meninggalkan rumah kami dan semakin dekat menggapai daratan.

Namun, dari semak-semak di depan kami, terdengar bunyi kasak-kusuk yang lumayan keras. Romi terus menatap ke sana, ke arah rumput-rumput liar yang menjulang tinggi dan bergerak di kejauhan, lalu bergerak makin dekat, makin dekat, makin dekat. Dan aku berhenti mendayung.

SU, 13 Juni 2022.

 

N. Insyirah, perempuan yang sedang belajar menulis ini menyukai warna oranye dan buah orange.

 

Editor: Imas Hanifah
Gambar: Pixabay

 

 

Leave a Reply