Halusinasi Indah

Halusinasi Indah

Halusinasi Indah

Oleh: Auralia Sazka

 

 

Cassia mengedipkan matanya beberapa kali dan tersadar. Lalu, setelah pandangannya tidak kabur lagi, baru ia bisa melihat dengan jelas tempatnya berada saat ini.

“Di mana aku?” gumamnya.

Yang ia pijak sekarang adalah sebuah jalan setapak dengan dedaunan kering yang sudah jatuh menutupi tanah lembapnya. Di sisi lain, sekitar Cassia hanyalah pohon-pohon rimba yang menjulang tinggi, sedikit menutupi langit dan akses matahari masuk.

Hutan belantara. Itulah tempatnya sekarang. Akan tetapi, gadis itu sama sekali tidak memiliki ingatan apa pun bagaimana ia bisa berakhir di tempat ini. Ia tidak begitu mengenal siapa dirinya. Seolah-olah ia seperti terbangun dari tidurnya dan tiba-tiba sudah ada di dunia lain.

Cassia ingat namanya, tetapi tidak kehidupannya. Ia tidak mengenal apa yang terjadi pada dirinya selama hidupnya, bagaimana keluarganya, kesehariannya. Terkecuali satu hal yang ia ingat dengan jelas, mendiang ibunya. Cassia mengingat gelang mutiara putih yang ia pakai saat ini adalah peninggalan mendiang ibu kandungnya sebelum ia meninggal, barang yang sangat berharga untuknya.

“Seingatku terakhir kali … aku seperti sedang meminum sesuatu. Aku tidak ingat apa lagi yang terjadi setelahnya,” gumamnya.

“Omong-omong, setidaknya aku harus pergi dari sini dulu. Tempat ini kelihatannya berbahaya untuk orang yang berkeliaran sendirian tanpa benda pelindung sepertiku, barangkali aku menemukan sebuah desa,” ujarnya lagi.

Sebelum Cassia melangkahkan kaki, tiba-tiba suara derap langkah kaki lain yang menginjak dedaunan kering membuatnya terperanjat. Ia balik badan dan seekor kucing berlari ke hadapannya, kaki belakang kucing itu sedikit berjinjit bersiap-siap untuk meloncat.

“E-eh?” Cassia tertegun.

“Meong!”

Kucing berwarna abu-abu dengan corak putih itu melompat tepat ke hadapan wajahnya, Cassia yang merasa hendak diserang, berusaha menghindar dengan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Akan tetapi ia tak merasakan gigitan mau pun cakaran dari kucing itu, badan melayang kucing itu yang sedang di dekat tangan Cassia segera menggertakkan giginya dan merampas gelang mutiara dari pergelangan tangan gadis itu dengan mulutnya, menarik gelang itu hingga talinya putus dan lepas lalu berakhir di cengkeraman mulut si kucing.

“Ah, gelangku!” teriak Cassia setelah menyadari barang miliknya sudah direbut oleh si kucing abu-abu.

Si kucing berhasil mendarat di tanah dengan selamat. Kepala kucing itu berpaling sedikit untuk memandangi wajah Cassia sesaat, Cassia bertatapan dengan bola mata berwarna zamrud dan pupil oval si kucing. Kucing itu berbalik, kemudian menggerakkan keempat kakinya dan berlari dengan cepat, sambil melompat, memanjat beberapa pohon kecil.

Cassia, masih berdiri. Ia tidak dapat mengerti apa yang baru saja terjadi. “Seekor kucing … baru saja merampas gelangku? Tiba-tiba?”

“Ah, tunggu! Gelangku! Itu gelang dari mendiang ibuku!” Cassia tersentak dan segera berlari mengejar kucing itu.

Kucing itu masih berada di depannya, berlarian sambil sesekali Cassia menyadari kepala kucing itu menengok untuk meliriknya. Seolah-olah kucing itu menyuruh Cassia untuk mengikutinya.

“Hei, kucing! Tunggu dulu!” teriaknya dengan napas yang terengah-engah karena tidak bisa melampaui si kucing. Sebenarnya alasan apa kucing itu mengambil gelangnya? Bukankah seharusnya kucing liar akan menyerang manusia jika mereka merasa terancam?

Setelah beberapa lama mereka bermain kejar-kejaran, Cassia tidak menyadari ternyata di depannya sudah muncul sebuah rumah kecil dengan pagar berumput mengitarinya, di sisi-sisi tembok depan rumahnya terdapat beberapa pot yang diisi bunga lily, kesukaannya.

Jalan setapak tadi mengarah dan berakhir di rumah itu. Si kucing yang tadinya menghilang dari hadapan lalu melompat tepat di depannya dan segera mengeluskan tubuhnya ke kaki Cassia sambil mengeong kecil.

“Ah, kucing … tolong kembalikan gelangku.” Cassia berjongkok dan menyodorkan telapak tangannya di depan kepala kucing itu. Seperti mengerti perkataan Cassia, kucing itu melepas gigitannya dan meletakkan gelang mutiara Cassia dengan sempurna.

Cassia mengulas senyum. “Terima kasih. Omong-omong, tempat apa ini? Apa kamu menyuruhku ke sini, kucing?”

Kucing abu-abu itu hanya mengeong sebagai bentuk balasan, tetapi Cassia merasakan rasa penasaran yang sangat dalam. Ia melangkahkan kaki ke beberapa batu pijakan yang ditanam ke tanah untuk penghias jalan. Si kucing mengikutinya, lalu Cassia mengetuk pintu kayu dengan pelan.

Tidak ada jawaban. Sekali lagi Cassia merasakan perasaan aneh, seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya. Rasa yang sangat amat rindu dan senang melihat rumah itu, padahal ia tak pernah melihatnya di mana pun. Cassia bahkan tidak merasakan takut sama sekali ketika mendekati rumah itu.

Kucing itu lalu mencakar pintu dan mengeong dan akhirnya mau tak mau Cassia menggerakkan gagang pintu dan membukanya. Ketika dibuka, ia melihat ruangan yang diisi dengan perabotan kayu dan empat orang yang sedang duduk di meja makan. Setelah mendengar suara langkah kakinya masuk, mereka memalingkan wajah dan memandangnya dengan senyuman.

“Selamat datang kembali, Cassia,” ucap mereka berempat serentak.

“Eh?” Cassia tertegun.

“Kak Cassia, aku sudah menunggumu!” Seorang gadis kecil berambut ikal yang duduk di pojok kanan, bangkit dari kursinya dan berlari ke dekapan pelukannya.

Cassia masih merasa heran dan kebingungan, kenapa orang-orang asing ini menyambutnya dengan hangat seolah-olah mereka sudah mengenalnya dengan akrab?

Tapi yang lebih anehnya, Cassia mengenal siapa nama mereka. Gadis yang memeluknya saat ini bernama Marie.

“Ayo kita makan bersama, Kak Cassia! Kakak pasti sudah lapar, ‘kan?” Marie menarik tangannya dan membawanya ke satu kursi kosong di meja makan.

Di sampingnya, seorang wanita bermata biru bernama Margaret tersenyum ceria sambil memindahkan beberapa piring berisi makanan ke tempat Cassia makan, kemudian menyendok nasi dan bergerak menyuapi Cassia.

“Makanlah yang banyak, Sayang.”

“Itu benar, anakku. Kau harus makan dengan banyak agar sehat.” Suara lain datang dari pria di depannya, Reynold. Pria dengan rambut berwarna kecokelatan dengan lesung di kedua sisi dekat bibirnya.

“Uh, kenapa mereka menganggapku sebagai keluarganya, ya? Lalu kenapa juga aku malah dengan santainya menerima perlakuan mereka ….” Cassia bergumam.

“Alice merusak gelang kesayanganmu, ya? Maaf, dia memang nakal sekali. Sini berikan gelangmu, aku akan perbaiki,” ucap suara yang sedikit berat dari sampingnya.

Dada Cassia tiba-tiba berdebar dan pipinya sedikit memanas. Ia merasakan perasaan menggelitik seperti malu yang tidak biasa.

Saat ia menoleh, pria berambut hitam dengan struktur wajah yang menawan di dekatnya itu tersenyum. Ash. Itulah namanya. Cassia mengenal perasaan ini, pria ini adalah orang yang ia sukai.

“Cassia? Kamu baik-baik saja?” Perkataan Ash menyadarkan lamunannya, ia menggeleng dan segera menyodorkan gelang miliknya kepada Ash.

“Ya ampun, Cassia. Pipimu memerah lagi, kamu sebegitu sukanya dengan Ash, ya?” tanya Reynold dengan nada yang menggoda. Cassia menunduk malu.

“Wajar saja, Kak Cassia sudah lama berteman dengan Kak Ash sejak kecil, Ayah. Berteman, loh, berteman, ‘kan? Hihihi.” Marie ikut menggoda.

“Berhenti menggoda Cassia, kalian berdua. Sayang, tidak usah dipedulikan, ayo makan lagi. Buka mulutmu, aaa ….” Margaret memegangi ujung sendok, Cassia tersenyum khawatir dan menggeleng.

“Anu … aku bisa makan sendiri. Aku tidak mau menyusahkan.”

Cassia terperanjat dan jantungnya berdegup dengan kencang untuk sesaat. Sebuah kenangan yang tak ingin ia ingat tiba-tiba terputar di kepalanya.

Dasar anak manja! Menyusahkan! Masih untung kamu dibiarkan hidup, jangan minta diberi perhatian!”

Bayangan seorang wanita berambut merah muncul di gambaran ingatannya. Wanita itu, di dalam ingatannya, akan selalu membawa sebuah cambukan kuda, masuk ke kamarnya, membuka baju Cassia, dan ….

Aaaaakh! Ibu, sakit! Tolong hentikan!” Cassia merasakan perih dan panas yang amat mendalam dari punggungnya yang tersayat cambukan.

Berisik! Ini hukumanmu karena membuat keributan di pesta perayaan tadi! Kan sudah kubilang tugasmu itu diam dan menonton saja! Kenapa kamu malah menumpahkan minuman pada gaun Putri Karina dan membuatku malu?! Dasar anak tidak tahu diri, seharusnya kamu bersyukur diundang ke pesta, tapi malah merusaknya.”

Seluruh tubuh Cassia gemetar hebat dan ia hanya bisa menangis sambil meringis kesakitan. Setelah puas mencambuk punggung Cassia hingga memerah, wanita itu keluar dari ruangan dengan langkah kaki terhentak-hentak karena kesal.

Lalu, bayangan lain mulai muncul. Kini seorang gadis pirang di hadapannya sedang tertawa sambil menumpahkan segelas jus ke kepala Cassia hingga basah dan menetes ke wajah.

Ya ampun. Tanganku agak licin, nih. Sepertinya bereaksi karena alergi anak haram, ya?” ucapnya. Cassia melihat sekelilingnya, semua mata para putri bangsawan yang sedang hadir di pesta teh hanya tertuju padanya, saling terkikik dan dan berbisik.

Sepulang dari pesta teh dengan gaun yang kacau, ia memasuki ruang kerja ayahnya sambil air mata dengan deras keluar dari matanya.

Ayah, tolong saya. Saya ditindas para putri bangsawan di pesta teh, saya sudah tidak kuat lagi tolong biarkan saya kembali ke panti asuhan, saya ingin pergi ….”

Permohonan yang Cassia rasa adalah harapan terakhirnya. pupus setelah tatapan dari mata yang tajam dan penuh kedinginan itu mendelik padanya, menyiratkan kemarahan.

 

Dasar tidak sopan! Setelah aku dengan memberimu tempat tinggal, kamu bilang kamu tidak ingin di sini? Betapa tidak tahu diuntungnya kamu.”

Tapi Ayah .…”

Keluar dari ruanganku. Sekarang!”

Cassia menggigit bibirnya, merasa sangat terluka karena ayahnya sama sekali tidak pernah membalikkan pandangan kepadanya, bahkan untuk sekali saja.

Cassia keluar dari ruang kerja ayahnya, dan melangkahkan kaki dengan cepat, berlarian di sekitaran kediaman rumahnya. Sepanjang koridor para pembantu yang lewat berbisik dan tertawa kepadanya. Cassia sudah tidak tahan.

Cassia berlari tanpa tahu arah sampai tak terasa ia berada di dapur belakang. Sendirian. Cassia menutup pintu dan bersandar pada pintu, badannya menggeser sampai ia berjongkok dan menutupi wajahnya dengan tangan. Ia tak tahu lagi harus meminta tolong kepada siapa.

Cassia mengerjapkan matanya setelah tersadar dari bayangan yang ia kenal itu, Dahlia, ibu tirinya yang selalu menyiksanya. Eunice, saudari tirinya yang selalu merendahkannya. Serta ayahnya, yang selalu memalingkan wajah dan acuh tak acuh ketika melihatnya, bahkan ketika melihat Cassia sedang disiksa.

Cassia ingat begitu jelas, siapa dirinya dan lingkungan dunia yang terasa seperti membencinya dan tidak menerimanya hanya karena ia adalah anak haram. Hanya karena satu orang membencinya, semua orang ikut memandang buruk Cassia dan ikut membencinya. Tidak ada tempat untuk Cassia berlari dan melepas rasa sakit. Hanya ada tutur kata jahat dan siksaan yang mengerikan yang akan selalu datang padanya. Ia hanya ingin sebuah keluarga yang menerimanya.

Cassia merasakan pusing yang amat berat. Ia menggosok dahinya.

“Ugh ….”

“Astaga, anakku! Kamu tidak apa-apa?” Wanita di sampingnya itu mengusap kepala Cassia dengan lembut. Cassia menatapnya dan sekitarnya, seluruh orang memandangnya dengan wajah yang khawatir. Berbeda dengan wajah orang-orang yang ia biasa kenal, yang selalu menatapnya dengan tatapan seolah-olah membenci kalau ia bernapas dengan tenang.

“Kak Cassia, Kakak sakit?” tanya Marie yang turun dari kursinya dan mendekat kepadanya.

“Kamu pasti kelelahan berada di luar. Setelah makan kamu istirahat, ya,” ucap Reynold.

Ash, yang di sampingnya terlihat lebih cemas dari siapa pun. “Cassia, di mana yang sakit?”

Cassia tertegun sejenak. Menarik bibir bawah antara giginya dan air matanya menggenang. Saat itu juga tangisnya pecah dan ia segera menutupi wajahnya dengan telapak tangan.

Semua orang panik dan berusaha menghibur Cassia, bertanya-tanya ada apa yang terjadi dengannya. Cassia akhirnya memberanikan diri mengangkat kepalanya.

“Kenapa … kenapa kalian begitu hangat kepadaku? Kenapa kalian menganggapku sebagai keluarga? Kenapa kalian menerimaku?” tanya Cassia dalam isak tangisnya.

Semua orang berdiam dan saling memalingkan wajah untuk bertatapan, kemudian tersenyum pada Cassia.

“Kenapa? Karena kamu adalah orang yang kami tunggu, Cassia. Bukankah kamu selalu menginginkan kami?”

Sekarang Cassia ingat, mereka semua adalah orang-orang yang pernah Cassia gambar pada saat ia masih kecil di kertas kusut ketika Eunice membuang pensilnya ke tanah, lalu Cassia memungut pensil itu dan menggambar keluarga impiannya yang selalu ia harapkan. Keluarga yang hangat. Kebahagiaan yang tak berujung. Tidak perlu gelar bangsawan atau pun uang, keluarga kecil yang tinggal di rumah kecil, tapi dengan senang hati menerimanya.

Mereka berempat dengan serentak turun dari kursi dan mendekat untuk memeluk Cassia dengan erat. Cassia membalas pelukan mereka. Ia sangat bahagia.

Pandangan Cassia kabur, ia meneteskan air mata. Ia melihat sekitarnya dengan lemas, darah kental yang keluar dari tenggorokannya mengalir menuju lantai. Tubuhnya tergeletak di lantai berdebu dengan sebuah gelas jatuh di samping tubuhnya.

Cassia tersenyum dan memejamkan mata. Memimpikan sebuah kebahagiaan yang hangat, sebelum akhirnya racun belladonna dari dapur yang ia teguk beberapa menit yang lalu melahap habis seluruh kesadarannya.

25 Mei 2022

 

Auralia Sazka, seorang remaja penyuka kesendirian, menggambar, dan menulis. Baginya, menulis untuk mengekspresikan diri. Pernah menulis beberapa antologi cerpen dan novel solo pertamanya berjudul That Pale Girl. Kontak Ig: @reimurinzeu Fb: Gladiora Florissa.

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply