Halusinasi
Oleh: Fuka Hana
Tantangan Lokit 2: Membuat cerita berdasarkan gambar
“Kamu janji, kan, selalu di sampingku sampai kapan pun?”
Aku mendongak. Menatap binar mata yang selalu berlompatan darinya, sirat cinta dan kerinduan. Aku mengangguk.
“Tentu saja. Sampai kapan pun.” Aku mengusap rahang kokoh nan tegas itu. Terasa kasar oleh bakal janggut yang tumbuh.
Aku menyandarkan tubuhku kembali, ke dada bidangmu. Tempat teraman sekaligus ternyaman yang aku miliki.
“Gimana kalau suatu hari, justru aku yang ninggalin kamu?”
Tercenung sejenak, lalu aku menggeleng kuat.
“Tidak. Itu tidak boleh, Dave. Kita tidak akan berpisah, kita sudah berjanji akan selalu bersama, kan?”
Kau meraih kedua bahuku lalu menegakkan punggungku menghadapmu.
“Alena, tidak ada yang bisa menolak takdir. Tapi, aku hanya berandai-andai. Dan aku janji, selama aku bisa, aku akan selalu mendampingimu.” Kau meraihku ke dalam pelukan.
Hangat. Perlahan kemeja biru yang kau kenakan basah oleh air mata.
“Kalau begitu, aku yang akan menentang takdir, Dave,” bisikku pelan.
***
Seperti biasa, ruang kerjaku penuh dengan map dan kertas-kertas yang membuat keningku berkerut tiap kali membacanya. Beberapa laporan dari asisten dan perawatku tentang perkembangan para pasien, sejenak membuatku pening.
Aku butuh sesuatu untuk mengalihkan perhatianku.
Ah, iya. Kamu. Kamu selalu punya cara untuk membuatku tersenyum di tengah padatnya kesibukan yang menderaku.
Kutekan dial di angka 8 yang tersambung dengan nomormu. Kau tentu ingat kenapa aku memilih angka itu.
Itu seperti menjelaskan tentang cinta kita. Angka 8 adalah lambang infinity. Dan sesuai harapan kita, cinta kita terus berkesinambungan tanpa terputus.
Tak ada jawaban. Biasanya kau langsung menjawab di dering kelima. Atau lebih dari itu, tapi tak pernah sampai suara dering itu berganti menjadi suara wanita yang mengatakan nomormu tak bisa dihubungi.
Aku mencoba sekali lagi. Tetap tidak bisa.
Ah, sudahlah. Mungkin kau memang sedang sibuk. Aku meletakkan gawaiku kembali ke atas meja. Kembali meratapi tumpukan kertas itu. Aku mencoba berkonsentrasi. Namun tidak bisa. Pikiranku melayang. Entah mengapa, firasatku mengatakan kau sedang tak baik-baik saja.
Aku beranjak dari kursiku menuju jendela. Pemandangan taman samping langsung menyambut pandanganku. Beberapa pasien mengenakan baju biru, tampak menikmati sore yang tenang. Ada yang duduk di bangku taman, tak sedikit yang duduk di kursi roda.
Aku menghela napas. Caraku ini, tak berhasil untuk melupakan firasat aneh itu.
Bunyi panggilan masuk di teleponku, membuatku terlonjak dan langsung meraihnya serta menyapukan jariku dalam sekejap.
Aku tersenyum sekilas saat mendapati nomormu yang menghubungiku.
“Halo, Sayang? Kamu lagi ngapain, sih. Aku telepon dari tadi—”
“Maaf, saya cuma mau mengabarkan pemilik HP ini sekarang sedang dirawat di rumah sakit Jl. Kemuning, tadi dia mengalami kecelakaan tunggal. Kebetulan saya yang membawanya ke rumah sakit ….”
Perkataan orang itu selanjutnya tak dapat lagi kudengar. Aku begitu terkejut, hingga tanpa sadar gawaiku terlepas dari tangan.
Dave, kau tidak akan meninggalkanku, kan?
***
Aku menautkan jemariku cemas. Koridor rumah sakit ini terasa lebih mencekam dari biasanya. Aku sudah berulang kali menangani kasus yang parah hingga ada meregang nyawa di rumah sakitku, tapi tak pernah benar-benar merasakan kecemasan yang berlebihan seperti ini. Karena aku biasanya akan berada di dalam. Di ruang dengan pintu tertutup rapat dan lampu menyala di atasnya.
Aku biasanya berjuang bersama rekan dokter, perawat dan tentu saja pasien, untuk mempertahankan sebuah nyawa tetap tinggal dalam raganya. Dan berada di luar seperti ini, membuatku benci. Aku sudah mendesak untuk ikut membantu di dalam, tadi. Tapi mereka tak mengizinkanku.
Aku terlihat pias dan gemetar terus menerus, hingga mereka khawatir aku akan syok. Dan pula, rumah sakit ini bukan rumah sakit tempatku bertugas. Aku tak bisa seenaknya menolong proses operasi, tanpa prosedur sebelumnya.
Oh, Dave. Tidak akan terjadi apa-apa padamu, ya, kan?
Aku hampir memekik lega saat lampu di atas pintu itu padam. Dengan tak sabar, kusambut dokter yang menanganimu yang bahkan belum melepas maskernya.
“Pasien mengalami pendarahan yang cukup hebat. Dia mengalami koma. Harapan kita sangat tipis. Anda pasti tahu berapa persen kemungkinan mereka untuk bertahan hidup, Dokter Alena. Kita hanya bisa berharap yang terbaik.”
Dokter itu menepuk lenganku pelan, seperti hendak menguatkanku. Aku hanya mengangguk lemah. Bahuku merosot turun.
Kau pasti akan bertahan, iya, kan, Dave?
***
Aku tersenyum lebar saat langkah tegapmu berjalan menghampiriku. Aku memelukmu erat. Sangat takut kau pergi. Aku nyaris kehilanganmu, beberapa waktu lalu.
Tapi sekarang, aku mendapatkanmu kembali. Tentu saja dengan kerja kerasku. Meski pihak rumah sakit mengatakan tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk menyelamatkanmu, aku tidak percaya. Aku mengajukan proposal untuk merawatmu dalam pengawasanku sendiri. Di salah satu ruanganku yang kusulap persis ruang ICU.
Dan voila! Kau sembuh seperti sediakala. Bukankah sudah kukatakan, kita akan tetap bersama, meski harus menentang takdir?
“Kamu selalu ceria seperti biasa, Alena. Apa kamu merindukanku?” tanyamu dengan senyum takjub.
Bodoh! Bicara apa kau ini. Tentu saja aku setengah mati merindukanmu. Bulan-bulan yang sulit kita lewati bersama. Dan sejak saat itu, setiap detik bersamamu, amatlah berharga.
“Tentu saja. Apa kamu tidak merindukanku?” aku balik bertanya dengan nada merajuk.
Kau tertawa. Kau mengusap kepalaku pelan.
“Aku juga merindukanmu. Kita sudah lama tidak bertemu.” Kau tersenyum.
Aku membalas senyummu. Ya, benar. Kau berpetualang begitu jauh dan lama. Hingga pada satu titik, aku hampir menyerah. Sebelum kesadaran itu menyentakku. Kita tidak boleh berhenti berjuang. Meski sebelumnya, kau divonis meninggal.
“Ayo, kita makan siang. Kamu pasti belum makan, ya, kan?” Kau meraih tanganku lalu menggandengnya. Perlakuan sederhana ini, yang selalu membuatku jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama.
Kulirik dari sudut mataku, bibirmu menggumamkan beberapa pilihan menu. Aku bersyukur. Usahaku tak sia-sia.
***
Jujur kuakui, semenjak selesai operasi itu, kau sedikit berubah. Kebiasaanmu, sikapmu, dan mungkin juga perasaanmu, aku tidak mengerti. Tapi aku memaklumi, benturan di kepalamu memang sangat keras. Hingga aku terpaksa mengulangi operasi yang dilakukan dokter di rumah sakit itu. Mungkin kau mengalami sedikit amnesia.
Kau, meskipun hangat seperti biasa, tetap saja aku merasakan perubahan itu. Kau seperti menjaga jarak dariku.Seperti malam ini, kita makan dalam diam. Padahal, biasanya kau menebarkan cinta di setiap momen kita. Kau menggodaku, memujiku, hingga melontarkan kata-kata manis untukku. Namun saat ini, kau memilih sibuk dengan ponselmu. Sesekali keningmu mengerut, kadang juga senyum tipis mengembang di bibirmu.
Ah, Dave. Tak apa. Asal kau kembali padaku, itu sudah cukup.
***
“Alena.”
Aku menoleh. Segera kutinggalkan kertas yang berserakan itu hanya untuk menghampiri lalu memelukmu. Kau tampak tak baik-baik saja saat ini. Ada yang salah.
Kita duduk di sofa. Kau menyandarkan kepalamu di dadaku. Aku mengelus rambutmu, menenangkanmu.
“Kamu kenapa, Dave?” tanyaku pelan.
Kau menarik napas. Terasa hangat napasmu menyapu lenganku yang memelukmu.
“Aku hancur, Alena. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku?” Kau berkata dengan sesak yang terdengar dari suaramu.
“Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Tapi dia dengan mudahnya mencampakanku. Kamu tahu rasanya, Alena? Sakit.”
Tercekat. Tenggorokan seperti tercekik. Detak jantungku berpacu lebih cepat dari biasanya. Bagaimana bisa? Dave mempunyai kekasih lain, selain aku?
“Aku dan dia berpacaran hampir tiga tahun lamanya. Bayangkan, Alena! Tiga tahun aku memupuk cinta untuknya. Tapi dia menyakitiku dengan mudah.”
Aku tak berkata apa pun. Hanya terus mengusap rambut dan punggungnya berulang kali. Dave-ku terlihat sangat hancur. Dan itu menyakitiku.
Keheningan menyelimuti kami untuk beberapa saat lamanya. Hanya terdengar deru napas yang bersahut-sahutan.
Dave yang kucintai begitu dalam, ternyata mencintai orang lain, di belakangku. Aku tak tahu bagian mana yang lebih menyakitiku saat ini. Dave yang mengkhianatiku, atau Dave yang hancur di mataku?
“Iya, aku tahu. Aku tahu rasanya, Dave. Itu sangat menyakitkan,” jawabku pelan.
***
Aku berlari dengan terburu-buru. Tidak. Ini tidak boleh terjadi lagi. Aku harus melakukannya dengan cepat. Aku tidak mau melewati masa itu lagi.
Dalam hati, aku marah pada Tuhan. Bagaimana bisa Dia melakukannya dua kali? Dendamkah Dia padaku?
Napasku sesak saat melihat tubuhmu terbaring tak berdaya. Layar di monitor menampakkan garis-garis tak beraturan yang terus berjalan. Sementara suster berusaha menekan pelipismu yang terus mengucurkan darah.
Dadaku seperti dihantam palu. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Aku harus mencegahnya, sekali lagi. Mencegah takdir yang berusaha memisahkan kami.
Dengan cepat, aku mengambil jarum dan benang jahit yang diulurkan suster kepadaku. Tanganku bergetar. Bukan karena ngeri melihat keadaanmu, tapi aku takut, aku kalah hari ini.
Dave, kumohon. Kembalilah berjuang.
***
Masa kritis itu sudah terlewati. Kondisimu sudah mulai stabil. Kau pun sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Meski sedikit pucat, kulihat binar kehidupan membayang di wajahmu.
Aku tersenyum saat tatapan kita bertemu. Sorot matamu tampak terluka. Aku menghela napas. Berusaha menghalau kesedihan yang menghimpit tiba-tiba.
“Ma—maafkan aku,” ucapmu terbata-bata.
Aku menggeleng. Polisi sudah menyelidiki kecelakaan yang menimpamu. Dan hasilnya, kau mengendarai mobil dalam keadaan mabuk. Untung saja tidak ada korban jiwa karena mobilmu menabrak pohon di samping jalan.
“Tidak apa-apa, Dave,” aku terpaksa mengatakannya meski berat di lidah. Kita sedang “tidak apa-apa”. Kau dengan patah hatimu karena gadis itu, dan aku, karena perbuatanmu.
Tapi kenapa, aku enggan menyerah.
“Alena, aku benar-benar minta maaf. Aku sudah menyusahkanmu.” Kau menarik tanganku lalu menggenggam jemariku.
Aku menarik napas lalu mengembuskannya.
“Berjanjilah, kau tidak akan seperti ini lagi. Kau tidak tahu, aku ….”
Aku tak mampu meneruskan ucapanku, mengingat keadaanmu waktu itu. Rasanya, seperti dikuliti hidup-hidup. Menyiksa.
Kau menarikku supaya mendekat lalu menyandarkan kepalaku di atas dadamu.
“Aku minta maaf. Dan aku berjanji tak akan melakukan hal bodoh itu lagi.”
Dave, tahukah kamu, sepintas kalimatmu yang terdengar biasa saja. Seperti hujan salju yang turun di sahara kerontang, dalam hatiku.
***
“Alena, kamu mau dinner denganku?” Kau mengerling dengan sebelah alis terangkat. Aku tertawa. Kucubit lenganmu keras. Kau mengaduh.
“Tentu saja aku mau,” aku menjawab dengan antusias.
Hampir dua bulan lamanya kau terbaring di ranjang rumah sakit. Selama itu pula aku mengawasi perkembanganmu langsung. Jika biasanya perawat rumah sakit yang akan menyuapimu, memandikanmu, hingga mengganti bajumu, aku melakukan itu sendiri untukmu. Meski sibuk, kusempatkan setiap waktu aku melihat keadaanmu. Syukurlah, semuanya berjalan sesuai harapan, kau kembali sehat seperti sediakala.
Bahkan yang lebih membahagiakan, kau perlahan bangkit dari sakit hatimu. Kau mulai terbuka, bercanda, berbagi cerita, dan banyak hal lain yang menampakkan kau bahagia. Seperti janjiku, aku selalu ada di sampingmu.
Aku senang. Mungkin dengan ini, kau perlahan mengingat hubungan kita, lebih dari sekadar sahabat. Kau membimbing tanganku masuk ke restauran itu lalu menarik kursi untukku. Aku tersenyum. Kau balas tersenyum. Tapi perlahan senyummu memudar, tatkala tatapanmu melebar sempurna pada satu arah. Aku menoleh.
Seorang gadis dalam balutan gaun selutut berwarna kuning cerah, tersenyum manis pada seorang pria. Tampak jelas, kebahagiaan mengisi ruang antara mereka.
Aku mengerti. “Dave, kamu tidak apa-apa, kan? Apa sebaiknya kita pulang?”
Kau tergagap, lalu menggeleng. “Tidak, Alena. Kita kan, belum makan,” guraumu dengan setengah tertawa.
“Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Buat apa aku memikirkannya? Bukankah aku sudah memiliki kamu di sampingku?” Kau tersenyum sangat manis.
Aku tercekat. Lalu mengangguk ringan.
Embun bening saat ini membayangi bola mataku. Aku menunduk agar kau tak melihatnya.
Aku bahagia, Dave.
***
Aku memijit pelipisku dengan mata terpejam. Pekerjaanku lumayan banyak hari ini. Ada beberapa pasien yang harus dioperasi. Bahkan aku baru sampai rumah saat jam di dinding menunjukkan angka dua belas malam.
Ruang tamu ini terasa sunyi. Mungkin kau sudah tidur. Biasanya, kau tiduran sambil menonton TV. Aku tersenyum. Semenjak kejadian mengerikan itu, aku senang kau memutuskan tinggal bersamaku.
Aku menguap lebar. Saat langkahku melewati kamarmu, aku terhenti. Kudengar suaramu seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Ada nada riang di sana. Penasaran, aku menempelkan telingaku di dinding.
“Cantik, kau sedang apa?”
Dadaku memanas. Ingin rasanya kugedor kamarmu lalu menanyakan siapa yang tengah kau telepon itu. Tapi aku menahannya. Buku-buku tanganku memutih karena aku mengepalkan tangan terlalu kuat.
“Ok, mimpi indah, Sayang. Love you, Amanda.”
Sudah cukup. Aku kembali melangkah dengan bahu terasa berat. Aku harus melakukan sesuatu.
***
Kupandangi tubuh semampai yang tergeletak lemah tak berdaya itu. Aku tersenyum miring. Sudah cukup aku hampir kehilangan kamu tiga kali. Kali ini tidak bisa kubiarkan dia merebutmu dariku.
“Si—siapa kau?” Dia terbangun. Wajah putihnya tampak pucat. Aku tersenyum. Tanpa sadar, ia bergerak mundur karena ngeri melihat senyumku.
“Amanda.” Aku menggumam. Dia terkejut.
“Bagaimana kau tahu namaku?” tanyanya gugup.
“Kau tahu siapa aku? Aku malaikat mautmu. Sudah cukup main-mainnya. Ayo, kuantar kau ke neraka,” aku berkata dari balik masker yang menutupi hidung dan mulutku.
Amanda berteriak. Hah, percuma saja. Tidak ada yang akan bisa mendengar jeritannya di ruang bawah tanah ini.
Setengah jam kemudian, aku sibuk memisahkan organ dalam milik Amanda dari syaraf dan ototnya. Lumayan, rumah sakitku memang membutuhkan paru-paru, jantung, hati, dua ginjal, dan dua bola mata ini. Lihat kan, Amanda. Kau tidak mati sia-sia. Aku berbaik hati padamu dengan menjadikanmu pahlawan untuk orang yang membutuhkan. Daripada kau hidup, menyusahkanku saja.
Selanjutnya, aku menjahit bagian depan tubuhnya yang terbuka karena pengambilan organ dalam itu. Tak perlu bagus, toh sebentar lagi dia masuk ke liang kubur.
Aku menyelesaikan pekerjaanku dengan senandung riang menggema di ruangan kerjaku.
Dave, kau aman sekarang.
***
Aku meletakkan sentuhan terakhirku yakni berupa vas berisi bunga mawar putih di atas meja yang tertata rapi itu. Aku berjalan ke belakang untuk menatap hasil karyaku. Sempurna.
Sebuah meja makan dengan dua buah kursi berhadapan, dengan lilin berpendar kecil dan vas bunga mawar putih, juga dua gelas anggur, tertata di meja beralas putih itu.
Tak lupa, kelopak mawar merah dan putih bertaburan di sekeliling meja ini. Bulan yang membulat sempurna, menjadi lentera kita malam ini. Kelap-kelip lampu kota di bawah, berpadu indah menambah kesyahduan malam ini.
Aku sudah menyiapkan ini jauh hari. Aku memang sengaja merencanakan semua ini demi kamu, Dave. Kamu ingat, kan, dulu, kau menyatakan perasaanmu padaku, di atas gedung ini. Mudah-mudahan dengan mengulang momen itu, kau akan mengingatku kembali.
Derap langkah kaki terdengar dari tangga. Aku segera mengambil tempatku di samping pintu. Kau membuka pintu perlahan. Aku segera menutup matamu dari belakang.
“Alena?” kau berbisik. “Ada apa kau memintaku kemari?”
Aku hanya tersenyum, tak menjawab pertanyaanmu. Aku membawamu duduk di kursi, lalu perlahan membuka matamu.
Kau terkejut. Tentu saja. Mungkin ingatanmu kembali secara perlahan.
“Alena, apa maksud semua ini?” kau bertanya hampir menyerupai gumaman.
“Kau tidak ingat, Sayang? Ini hari anniversary kita. Kita berjanji menjadi sepasang kekasih, lima tahun lalu, di sini.” Aku menjelaskan dengan pelan.
Kau menggeleng. “Tidak, Alena. Semua ini salah.”
Aku menatapmu tak mengerti.
“Aku sedang bersedih karena Amanda menghilang, sudah hampir seminggu ini ….”
“Dave, hentikan!” Cukup. Sudah cukup kesabaranku. Aku tidak bisa membiarkan Dave terus-terusan menyebut nama gadis lain di depanku.
“Dave, aku mengerti kau amnesia. Tapi, ini aku, Dave. Aku Alena. Kekasihmu sejak lima tahun yang lalu.” Air mataku mulai berlinang. Kau terpaku.
“Alena … kau salah,” kau berkata lemah.
“Dave, aku sangat mencintaimu. Aku rela melakukan apa pun demi kamu. Apa pun. Kenapa kau tega menyakitiku seperti ini?” Aku menatap dengan pandangan terluka.
Kau memalingkan muka. Menghela napas sejenak, kau menggeser kursimu lalu berdiri. Kau berjalan menjauh, hampir mencapai ujung atap gedung ini.
“Dave, aku tidak bisa membiarkanmu terus seperti ini. Tidak bisakah kau menghargai perasaanku?” Aku masih mencoba. Aku berjalan menghampirimu dengan air mata yang terus mengalir.
“Dave,” panggilku. “Aku mencintaimu. Aku rela melakukan apa pun. Termasuk menyingkirkan Amanda.”
Kau berbalik. Raut wajahmu sarat akan keterkejutan.
“Cukup, Alena!” Kau menyentakku. Aku tercekat. Tatapanmu, terlihat marah dan menyesal.
“Aku minta maaf, tidak ada di sampingmu saat kamu butuh. Aku minta maaf, tidak bisa memelukmu saat kau terpuruk. Aku minta maaf. Seharusnya, aku melakukan itu.” Bahumu bergetar. Aku terperanjat. Ingin rasanya aku memelukmu saat ini.
“Aku minta maaf. Tapi, kumohon. Kumohon, Alena. Hentikan semua ini.”
Aku masih terdiam. Terlalu bingung dan sakit dengan ucapanmu.
“Aku Davin, Alena. Aku bukan David. David sudah meninggal. Aku adikmu!”
***
Davin’s POV
Wajah itu mendadak pucat pasi. Bibirnya bergetar. Tubuhnya terguncang hebat.
Angin malam mulai menyapu tubuh kami. Dingin, dan sunyi. Seperti tatapan Alena saat ini.
Aku menunduk dengan mata terpejam. Ya, semua ini salahku. Aku seharusnya ada saat dia terjatuh. Aku yang harus memapahnya, saat dia butuh pegangan.
Namun, aku malah memilih pergi. Kecelakaan tragis yang menimpa kedua orang tua kami, membuat kami sama-sama terpukul. Aku melarikan diri ke luar kota, berharap menyembuhkan lukaku di sana. Tapi, aku lupa. Di sini ada Alena. Dia jauh membutuhkanku, sebagai satu-satunya keluarga yang ia punya.
Kupikir, kehadiran David di sisinya sudah cukup. David lelaki yang baik, lembut dan penyayang. Kami bersahabat baik sejak lama. Rumah kami dulu bertetangga. Bahkan tak jarang kami menginap secara bergantian.
Alena memanggil David dengan sebutan Dave. Sama seperti ia memanggilku. Terkadang, kami menertawakan hal itu bersama-sama, saat aku dan David menoleh karena panggilannya. Melihat David begitu menyayangi Alena, kupikir itu sudah cukup baginya. David adalah segalanya. Segala yang ia punya.
Hanya saja, sebuah kecelakaan tunggal beberapa bulan yang lalu merenggut nyawa David. Membuat Alena nyaris gila. Ia menolak vonis kematian David dan memilih merawatnya di sebuah ruang bawah tanah dalam rumahnya.
Berbulan-bulan lamanya, ia bersikukuh David akan baik-baik saja. Sampai suatu hari, orangtua David meneleponku, meminta bantuan padaku dengan isak tangis pecah. Mereka hanya ingin memakamkan David secara layak. Mereka ingin David tenang ‘di sana’. Alena rupanya menghalangi siapa pun untuk bertemu dengan David.
Akhirnya, aku pulang. Setelah bertahun-tahun lamanya, tak melihat keadaan kakakku itu, aku sangat terpukul. Ia tak baik-baik saja. Ia menderita. Aku membujuknya keras, membawanya menyingkir dari rumahnya untuk beberapa hari, hingga orangtua David bisa mengambil jasad anaknya. Semenjak itu, aku memutuskan untuk tinggal bersama Alena. Aku sadar, sekarang hanya aku yang ia punya. Kami memang terpaut usia tak jauh. Hanya setahun, Alena lebih tua dariku.
Kami menjalani hidup berdua. Alena tak banyak berubah. Ia tampak pulih seperti sediakala. Ceria, tegar, kuat, dan tangguh. Aku kagum melihat ia mampu bangkit dari keterpurukannya. Dan saat ini, aku sadar, Alena tetap wanita. Ia rapuh. Hanya saja, ia bersembunyi di balik topeng tangguhnya.
Ia begitu hancur. Hingga tak mampu menarik jiwanya sendiri, yang tersesat jauh. Alena jatuh sedalam-dalamnya. Hingga mampu melakukan apa pun karena halusinasinya.
Alena masih menatapku nanar. Ia berlari menerjangku.
“Jika David memang benar sudah mati, maka kita akan menyusulnya, bersama-sama.” Sempat kudengar ucapannya berbisik di telingaku. Kami melayang, jatuh dari atap gedung.
Semuanya lalu berganti gelap. Saat rasa sakit merajamku teramat sangat. Dan suara bunyi benda terjatuh itu, memekakkan telingaku.
Aku tidak mengingat apa-apa lagi. Hanya langit yang runtuh tepat di atasku. Lalu cairan hangat, membanjiri pelipis dan telingaku. Mataku tak bisa kubuka. Dan napasku pun hilang entah ke mana.(*)
Fuka Hana, adalah nama penaku. Aku hanya seorang wanita yang suka baca dan menghayal.
FB: Fuka Hana
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita