Halu
Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik …. Suara jam yang berdetak. Setiap detik. Sepanjang menit, terus bergerak dan berbunyi sepanjang hari. Terdengar datar, tapi memberi makna pada sunyi. Apakah sunyi memiliki makna jika ia diam tak memiliki suara. Tanpa suara ombak yang sedang memukul-mukul bibir pantai. Tanpa desir angin yang menampar daun-daun. Tanpa bunyi deras hujan yang jatuh ke tanah melewati genting atap. Sunyi memiliki makna bila memiliki bunyi. Entah bunyi detik jam di dalam ruangan ini, entah desah napas yang berembus, entah juga bunyi decit engsel jendela yang bergeser tertiup angin. Sunyi adalah mati bila sunyi sendiri tak memiliki teman. Sunyi tak dapat disebut “sunyi” bila tidak memiliki keterkaitan dengan yang lain.
*
Tempat ini tidaklah sesunyi seperti yang orang kira. Itulah sebabnya Ayah mengirim saya ke sini. Suatu tempat bagi orang-orang yang selalu merasa sunyi. Kata Ayah: “Biar kamu tak lagi merasa kesepian di tempat yang ramai, biar kamu tak lagi merasa sendiri di rumah meskipun ada Ayah, Ibu, Kakak, juga Adik yang selalu menemani dan mengajakmu berbincang-bincang. Juga biar kamu tak lagi bicara sendiri di dalam kelas atau di tempat-tempat yang ramai.” Sesederhana itu alasan Ayah. Beliau tidak mengetahui yang sebenarnya. Saya hanya ingin ditemani!
*
Senyap kembali menyelimuti ruang ini. Begitu kosong dan hampa. Sejenak suara tik-tik-tik seolah berhenti dan tak terdengar suara apa pun. Namun kali ini ada gema lain yang berbunyi, bukan bunyi jam dinding yang bergerak statis, berbisik resah. Gema yang berbeda bunyinya satu sama lain. Suaranya terdengar sayup-sayup namun terdiri dari banyak lapisan suara. Begitu riuh, lalu berkumpul, lalu mengeras dan mengelilingi isi kepala. Kepala saya rasanya sakit sekali, seperti ditekan-tekan, dipukul-pukul, diinjak-injak. Seolah ada banyak orang yang sedang berpesta dan merayakan sesuatu di dalam kepala saya. Ada yang sedang bernyanyi dengan suaranya yang sember. Ada suara seorang gadis yang sedang merintih. Ada suara rengekan seorang anak kecil yang sedang meminta sesi kepada ibunya. Ada pula suara seorang lelaki yang berteriak-teriak dan memaki penuh amarah, dan tidak jelas juga kepada siapa ia sedang marah-marah. Lalu yang ini … suara seorang lelaki tua yang sedang menghadapi sakratulmaut. Begitu mengerikan. Semua suara itu bergantian, mencoba mengambil alih kendali otak. Menggedor-gedor pintu jiwa. AAAHHH, saya berteriak!
Suara itu tiba-tiba saja berhenti. Lenyap. Senyap! Kembali bunyi jam yang berdetak dan mengisi ruang. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tak mengapa, saya suka—yang penting saya bisa merasa sedikit lega. Napas saya mulai teratur dan jantung saya juga tidak berdebar-debar. Biarlah sunyi seperti sediakala, yang penting saya tidak tersiksa. Hanya dinding kamar yang berwarna muram yang lapisan cat putih pada plafonnya telah mengelupas sana-sini. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik … waktu telah berubah, ternyata pukul jam 12 malam. Saatnya untuk tidur. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik. Tik …. Kali ini bunyinya lebih nyaring, jernih, menggema memenuhi seisi ruangan. Menghipnotis. Mencipta ilusi, bukan lagi suara. Ada seorang perempuan yang berambut lurus dan sangat panjang. Ia duduk tenang sambil memejamkan matanya di bawah sebuah pohon yang sangat besar. Dan angin yang bertiup semilir meniup anak rambutnya. Di belakangnya, duduk seorang nenek tua yang terlihat sedang asyik mencari-cari sesuatu pada kepala perempuan itu. Tangannya mencari-cari yang tak terlihat. Lalu ia menemukan sesuatu yang tak terlihat itu dan mengigiti dengan dua giginya yang belum tanggal dan meludah ke sembarang tempat. Tiba-tiba nenek tua menoleh ke arah saya. Ia yang tak memiliki mata dengan dua rongga kosong yang gelap menatap mata saya. Saya bergeming, barangkali ini cuma di dalam mimpi, tidak nyata. Tetapi tiba-tiba nenek tua itu meloncat secepat seekor harimau. Mencengkeram dan mencoba untuk mencekik leher saya sekuat tenaganya. Saya tercekat dan tak mampu bernapas, bahkan tidak mampu untuk berontak. Kedua tangan dan kaki saya hanya mampu menendang-nendang ke udara. Saya mencoba meraih sesuatu dan berusaha meloloskan diri dari cengkeramannya. Tapi saya tak berdaya, tak mampu bergerak. Saya pasti mati! Aaaaaah ….
*
“Pasien ini sudah disuntik penenang, Sus?” suara seorang lelaki yang mengenakan kacamata minus membangunkan tidur saya.
“Sudah, Dok. Tengah malam tadi ia berteriak-teriak dan membangunkan semua orang. Ia mengalami halusinasi berat,” seorang perempuan yang mengenakan baju seragam berwarna putih menjawab.
“Kalau masih ngamuk kembali, nanti beri Risperidone, Sus! Segera hubungi keluarga pasien, biar saya tahu riwayatnya. Sepertinya ia butuh penanganan yang lebih tepat.”
“Oke, Dokter. Biasanya ayahnya yang sering berkunjung. Nanti saya mintakan jadwal wawancara,” suster itu menjawab.
*
Kesunyian tidak selalu berarti senyap. Bunyi detak waktu pada jam di dinding yang bergerak mampu mengisi kekosongan. Tak ada yang berbisik. Tak ada yang bergumam di kepala. Kali ini kesunyian terasa sempurna, meski detik waktu berhenti dan tak lagi berbunyi. Mataku perlahan semakin berat. Cahaya lampu kamar pun terlihat semakin samar. Saya ingin tidur …. ©
KarnaJayaTarigan, seorang penulis amatir yang kini bertempat tinggal di pinggir Jakarta.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata