Hadirnya Sang Mantan

Hadirnya Sang Mantan

Hadirnya Sang Mantan
Oleh: Cici Ramadhani

Seperti ada aliran listrik saat Bima mengandeng tanganku begini. Sengatannya membuatku seketika lupa bahwa dia ada yang memiliki, begitu juga dengan diriku. Aku begitu melayang-layang, merasa penuh bangga berjalan dengannya. Sepertinya benih cinta mulai tumbuh di hatiku.

Sudah dua mal kami jelajahi namun hasilnya tetap nihil. Bima mengambil ponsel dari saku jaket kulitnya saat berada di parkiran. Aku seperti melihat Ali Sihasale pemeran Ali Topan Anak Jalanan. Keren. Dia melakukan panggilan, sepertinya seorang teman yang mengerti seluk-beluk kota Medan. Dia menanyakan detail alamat sebuah toko kaset. Kami segera meluncur ke alamat tersebut. Bima menurunkan gas motornya ketika mendekati sebuah bangunan yang menjadi pertanda jalan masuk ke dalam toko kaset. Pelan laju motor, dia memperhatikan seksama nama jalan. Akhirnya toko yang kami cari ketemu. Sebuah toko kecil berada di belakang bangunan tinggi-tinggi di sekitarnya.

“Kalau disuruh ke sini sendirian, aku tak akan ingat alamat ini,” kataku saat turun dari boncengan sambil melepaskan helm dan menyerahkannya kepada Bima.

Aku dan Bima segera masuk ke dalam toko, seorang penjaga toko menyambut dengan ramah. Dengan bantuan penjaga toko, akhirnya kaset musik etnis Tari Piso Surut berhasil kami temukan. Ada perasaan lega.

Sebelum mengantarku pulang, Bima membawaku ke warung makan nasi uduk di pinggir jalan. Nasi uduk ayam penyet menjadi pilihan kami berdua. Entah mengapa aku merasa tidak lapar sedikit pun. Sebelum menyuapkan nasi ke dalam mulut, kusisihkan setengah dari tumpukan nasi ke pinggiran piring makanku.

“Kenapa disisihkan nasinya?” tanya Bima heran saat satu suapan berhasil lolos di tenggorokan.

“Kenyang,” jawabku sambil tersenyum kikuk. Ah, lucu sekali. Asli, cuma lima suap yang masuk ke perutku. Tidak mungkin aku merasa malu makan di hadapannya, ini bukan kali pertama kami makan berdua. Aku benar-benar merasa kenyang. Apa karena hatiku terlalu bahagia?

“Ya udah, biar aku makan sisanya, sayang kalau dibuang.” Bima memindahkan nasi dan sisa ayam dari piringku ke piringnya. Aku tersenyum melihat gerak-geriknya. Dia makan dengan sangat lahap. Tak ada jijik sama sekali memakan sisa makananku. Dia bahkan meminta satu piring nasi tambahan. Wajar saja rasanya dia makan dengan porsi jumbo, mengingat badannya yang besar dan aktivitasnya yang berat pasti membutuhkan nutrisi lebih banyak dibandingkan diriku.


Aku semakin dekat dengan Bima. Sekarang panggilan Rian sering kuabaikan. Justru panggilan dari Bima yang sering kunantikan, seolah tak cukup setiap hari bertemu di sekolah. Ah, entah mengapa aku tak lagi peduli dengan segala hal tentang Rian. Kini segalanya berganti dengan Bima. Hari-hariku lebih bersemangat karenanya. Aku tak pernah lagi merasa kesal menunggu angkot karena Bima dengan senang hati akan menjemput atau mengantarkanku pulang.

“Halo, Kak,” ucap Ayu di seberang.

“Kenapa, Dek?” tanyaku heran. Tidak biasanya Ayu menelepon. Aku sudah minta izin pulang telat hari ini.

“Kakak masih lama lagi pulangnya? Ada Bang Rizal di rumah.”

“Rizal? Siapa?” Aku mengerutkan kening, berusaha mengingat nama itu.

“Itu, loh, Kak, sepupunya Nur. Cowokmu, dulu.” Ayu berusaha mengingatkan secara detail.

“Hah?” Antara kaget dan kesal ingatanku tentangnya kembali. “Mau apa dia? Suruh pulang aja. Kakak masih ada undangan.” Kataku sedikit kesal.

“Enggak tahu, udah dari tadi, nih. Ayu udah bilang Kakak pulang sore, dia ngeyel mau nungguin. Sekarang dia malah ketiduran di dalam rumah. Kata Ibu, Kakak harus pulang sekarang juga.” Suara Ayu terdengar kesal dan cemas.

“Ya udah, Kakak pulang sekarang,” kataku sebelum mengakhiri sambungan.

Dengan berat hati aku berpamitan kepada guru-guru lain untuk pulang duluan, begitu juga dengan Bima. Sebelumnya kami sudah berencana setelah undangan akan pergi ke rumah Kak Tari, menjenguk ibunya yang sakit. Terlihat rasa kecewa di wajah Bima. Tadi malam saat di telepon kami sudah sepakat sepulang sekolah akan pergi setelah pulang undangan.

Sepanjang jalan pulang hatiku penuh kesal. Kurutuki Rizal, mengapa dia hadir sekarang?

Ponselku bergetar, tanda SMS masuk. Kubaca sebuah pesan dari Bima. “Kenapa tiba-tiba pulang? Apa karena Rizal? Siapa dia?”

Ah, pasti Bima mendengar sepotong percakapanku dengan Ayu di telepon tadi.

“Dia mantanku, seorang tentara. Pergi tanpa kabar, tiba-tiba datang ke rumah. Enggak mau pulang, jadi aku diminta Ibu menemuinya.” Aku merasa berhutang penjelasan pada Bima. Bagaimanapun aku harus memberikan alasan mengapa membatalkan janji. Dan aku merasa tidak ada hal yang harus ditutupi.

Kupandangi terus layar ponselku, menunggu balasan dari Bima. Tapi tak ada. Mungkin Bima merasa tidak ada lagi hal yang perlu di bahas.

Aku sampai di rumah. Ayu menyambut di depan pagar.

“Dimana dia?” tanyaku dengan menahan marah.

“Tidur, di depan TV.” Ayu mengapit lenganku, menggiringku masuk ke dalam rumah.

“Kak, kutinggalkan kalian ya. Ayu mau nyusul Ibu ke rumah Bang Dira.” Ayu pun pergi meninggalkan ku. Bang Dira adalah anak sulung Pak Mulyadi, abangnya Ayu. Jarak rumahnya hanya seratus meter dari rumah.

Aku duduk di ujung kaki Rizal, kupandangi sebentar wajahnya. Wajah dan nama yang sempat memudar dari ingatan. Empat tahun lalu, saat pertama kali berkenalan. Dia tinggal di rumah sepupunya, Nur, yang rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku. Sering melihatku ketika berangkat atau saat pulang kuliah. Dia meminta Nur, untuk memperkenalkan kami.

“Kak, Abang sepupu Nur mau kenalan,” bisik Ayu ketika aku sedang menonton TV. Saat itu malam Minggu, Bapak dan Ibu sedang tidak berada di rumah karena ada undangan. Aku mengernyitkan dahi, tak paham maksud perkataan Ayu. Ayu yang tak sabar melihat reaksiku langsung menarik lenganku berjalan ke teras rumah, ada Nur di sana.

“Kak, maaf mengganggu. Abang sepupuku mau kenalan sama Kakak.” Nur menunjuk seorang laki-laki yang berdiri tak jauh di belakangnya. Dalam temaram lampu jalan, samar kulihat wajahnya tersenyum malu-malu. Manis. Itulah kesan pertamaku padanya. Setelah perkenalan malam itu, kami menjadi teman dekat dan baru kusadari dia memiliki wajah yang tampan. Usianya empat tahun lebih tua dariku. Dia ramah dan penyabar. Dia memiliki seorang adik perempuan yang seumuran denganku. Dia seorang sarjana pendidikan, dan ingin mencoba peruntungan dengan mengikuti test Sekolah Calon Bintara Polri. Setelah enam bulan berpacaran, dia meninggalkanku karena tidak lulus. Dia balik ke Aceh, ke rumah orang tuanya. Aku setia menanti kabar darinya. Terkadang bertanya juga pada Nur dan menitipkan nomorku pada Nur, kalau-kalau Rizal menelepon Nur. Dan dari Nur aku tahu setahun setelah dia pergi tanpa kabar, dia sudah menjadi seorang tentara.

Kugoyang-goyang kakinya, mencoba membangunkannya.

“Bang, bangun,” kataku pelan. Seberapa kesalnya hatiku, aku tetap harus menghargainya sebagai tamu di rumah ini. Aku teringat sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, berbunyi: Dan siapa saja yang beriman pada Allah SWT dan hari akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya.

Rizal mengerjapkan matanya berulang kali, kemudian duduk dan mengusap wajahnya dengan kedua tangan.

“Adek sudah pulang?” tanyanya tersenyum ke arahku. Senyum itu masih sama, seperti empat tahun yang lalu, manis.

Ah, aku hampir saja terperdaya oleh senyum itu, padahal sedari tadi aku hendak memuntahkan rasa kesalku padanya. Kembali kupasang raut wajah kesal.

“Sudah, baru saja. Abang sudah makan?” Bagaimanapun dia adalah tamu, menjamunya adalah kewajiban bagiku.

“Sudah, tadi makan ditemani Ayu.” Lagi-lagi dia tebar senyum. Dari dulu dia memang suka tersenyum. Mendadak aku muak, memori yang lalu terus bermunculan. Aku berjalan meninggalkannya ke kamar, meletakkan tas di atas tempat tidur.

“Dek, Abang numpang shalat,” katanya saat aku kembali duduk di sampingnya. Kutunjukkan arah kamar mandi, kemudian membentangkan sajadah di kamar untuknya. Pintu kamar dibiarkan terbuka, aku bisa melihatnya salat dengan jelas dari ruang TV.

Setelah salat dia kembali duduk di sampingku. Sejenak suasana menjadi hening. Aku bingung harus mulai dari mana. Banyak hal yang ingin kutanyakan. Apakah masih penting lagi aku mendapat jawaban? Namun rasa penasaran terus saja merongrong bibir ini berucap, “Abang kemana aja selama ini? Abang pergi tanpa pernah menghubungiku. Kenapa sekarang abang datang lagi?” kutatap matanya, sesaat rasa kesal menguap seiring kata-kata yang terucap.

Lagi-lagi dia tersenyum, sebelum berkata, “Maaf, ya, Dek. Abang selalu pindah-pindah tugas.”

“Kenapa Abang enggak pernah berusaha menghubungiku? Abang melupakanku?” Ada sedih mengingat penantianku beberapa tahun kemarin.

“Tidak, mana mungkin sekarang Abang di sini kalau abang melupakan adik. Abang selalu mengingatmu.” Rizal mendekatkan wajahnya ke arahku.

Sejurus kemudian aku bergerak mundur. “Abang mau apa?”

Dia tak menjawab, hanya wajahnya yang semakin mendekat. (*)

Cici Ramadhani menyukai literasi sejak SMP. Namun sempat terhenti hingga beberapa waktu. Kini, setelah menjadi IRT dan bergabung dalam grup literasi, mencoba kembali mengasah hobi lama dan mulai menyampaikan pesan melalui kata. Suatu saat berharap bisa bercerita tentang alam karena sangat menyukai warna birunya laut, suara air terjun, dan dinginnya pegunungan. Semoga dalam tiap cerita dapat tersampaikan hikmah dan bermanfaat bagi pembaca.

Editor: Evamuzy

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.

Leave a Reply