Hadiah Ulang Tahun dari Alan?

Hadiah Ulang Tahun dari Alan?

Hadiah Ulang Tahun dari Alan?

Oleh: Hanifah

Zombie itu bergerak-gerak, memukul-mukul, mencakar, berusaha memecahkan kotak kaca yang mengurungnya. Sungguh seram sekali hadiah ulang tahun yang kudapat kali ini. Aku belum berani mendekat dan hanya memperhatikannya sedikit lebih jauh. Aku membayangkan zombie-zombie yang ada di dalam film, mereka akan menggigit, mencabik-cabik manusia dan membuatnya jadi seperti mereka juga. Aku merinding.

Tadinya, jujur saja, aku hanya bergurau pada Alan. Ya, saat dia mulai menyinggung hari ulang tahunku dan meminta ditraktir makan, aku menagih hadiah juga. Alan bertanya apa yang sangat kuinginkan. Kujawab sekenanya, bahwa aku sangat menginginkan zombie. Kalau tidak salah, saat itu, aku tengah menonton ulang film Resident Evil dan kami mengobrol via whatsaap. Sungguh, itu hanya gurauan!

Namun dua hari kemudian, tepat di hari ulang tahunku, tengah malam, dia bersama rombongan teman-teman datang. Ya, mereka semua membawa hadiah. Hadiah-hadiah yang banyak yang dibungkus dengan kertas warna-warni. Tak lupa kue dan lilin berbentuk angka delapan belas. Seperti acara anak TK saja, tapi ya, mereka memang seperti itu. Suasana meriah sekali. Alan yang datang dengan membawa kotak paling besar, pamit lebih dulu untuk pulang. Ia menarikku untuk bicara di tempat yang sedikit sepi. Bahkan, suaranya pelan sekali.

“Jon, ini hadiah dariku, tapi kamu harus membuka kotak ini sendirian, di kamar. Aku yakin, isinya, akan membuatmu kaget.” Alan tersenyum puas. Aku mulai bertanya-tanya apa isinya. Sungguh, tidak terbersit sedikit pun, bahwa isinya adalah zombie seperti apa yang aku katakan kepada Alan tempo hari.

Maka, di sinilah aku sekarang. Sejak dua hari lalu mendapatkan hadiah mengerikan, dua hari pula tidak dapat tidur dengan tenang, memperhatikan mahluk ini dengan perasaan takut. Aneh, konyol, tidak terduga, tidak dapat dipercaya, mustahil. Sejak kapan yang zombie itu benar-benar ada di dunia nyata? Bukankah itu hanya ada dalam dunia fiksi saja?

“Hei!” kataku sambil mengetuk kotak kaca. Zombie hanya terus mencakar, memukul dan meraung tanpa suara. Ya, kotak kaca ini canggih, entah siapa yang membuatnya, sehingga kedap suara. Di belakang kotak kaca, juga ada bolong kecil. Kecil sekali, mungkin seukuran lingkar jari kelingking. Ah, zombie juga butuh bernapas, bukan?

Baiklah, jika ini merupakan sebuah takdir, bahwa pada akhirnya sisa hidupku ini harus dihabiskan untuk memelihara zombie, maka tak apa, aku akan memeliharanya. Namun, apa yang harus kulakukan agar zombie ini tetap hidup? Darah dan daging manusia? Hei! Ini ekstrim sekali, aku harus bagaimana? Dan ibuku? Gawat jika sampai dia tahu.

“Hei, kuberi kau nama, Zom.” ucapku datar. Ajaibnya, ia tak lagi meraung, tak lagi mencakar kotak kaca.

“Zom, kau suka nama itu?”

Zom mengangguk. Matanya yang semula bergerak liar, perlahan jadi diam. Kalau dilihat, ia sudah hampir mirip dengan manusia saja. Ya, karena memang zombie itu kan manusia. Maksudku, dia terlihat mirip lebih normal. Kecuali, tubuh kurus dan kulit buriknya.

“Zom, aku kembalikan kau pada Alan ya?”

Zom menatapku tajam. Matanya kembali liar. Ia kemudian kembali meraung, mencakar, memukul-mukul kotak kaca. Apakah itu pertanda bahwa ia tak ingin dikembalikan?

“Oke, aku hanya bercanda.”

Zom diam.

“Baiklah Zom, mungkin aku bisa memeliharamu beberapa waktu, tapi apa makananmu?”

Zom tak menanggapi.

“Maksudku, aku tidak mungkin memberimu daging manusia, dan eh kau masih hidup dua hari tak makan, tapi kalau tiga hari atau seminggu, mungkin kau akan mati. Bagaimana?”

Aku menatap cemas ke arah Zom. Dia hanya menggeleng. Apa maksudnya?

***

Seminggu sudah, hadiah ulang tahun dari Alan membuatku merasa tidak hidup di dunia nyata. Aku masih tak percaya. Jujur saja, ingin sekali aku memotretnya dan dan membagikannya di media sosial. Mungkin aku akan jadi viral, bisa masuk televisi dan media online. Ya, bisa saja aku jadi orang kaya dalam sekejap. Namun, hal buruknya, Zom akan jadi bahan tontonan, bisa jadi ia akan diambil paksa oleh para peneliti di negeri ini. Mungkin juga, dibeli oleh Amerika. Tidak, aku tidak ingin itu terjadi. Meskipun dia adalah zombie yang mengerikan, namun dia sudah kuanggap seperti temanku sendiri. Saat aku mendengarkan lagu, ia ikut mendengarkan. Bahkan dia suka sekali lagu-lagu James Arthur. Matanya akan terpejam demi menikmati lagu-lagu itu. Saat aku bermain game, dia ikut memperhatikan. Saat aku membaca novel, dia mendengarkan dengan seksama. Dia adalah seseorang yang tak bisa kujelaskan betapa berartinya.

Zom yang aneh memang tak bicara. Ia hanya mengangguk dan menggeleng saja. Namun aku merasakan sesuatu. Ya, sesuatu yang lain. Bahwa seperti ada ikatan yang menghubungkan aku dengannya. Aku merasa tak ingin jauh-jauh dari Zom. Jika pergi ke suatu tempat, aku selalu ingat Zom dan ingin segera pulang. Aku sering menceritakan keseharianku padanya. Ya, dia memang seorang teman. Sekali lagi, tak bisa kujelaskan teman macam apa Zom ini.

Selama ini, aku bisa menyembunyikan Zom. Kotak kaca yang mengurungnya, aku tutupi dengan kain hitam yang lebar. Kamarku luas dan ibu jarang masuk. Tentu saja, ia selalu malas melihat isinya yang berantakan. Itu merupakan sebuah keuntungan. Ia juga sibuk mengurusi berbagai pekerjaan kantor.

Berminggu-minggu, Zom masih hidup. Aku paham sekarang mengapa Zom menggeleng saat kutanya tentang makanannya. Ia tenyata tak makan. Aku pernah menghubungi Alan. Bertanya dari mana, ia mendapatkan hadiah ulang tahunku itu. Ia dengan datar berkata, bahwa ia membelinya dari toko. Aku hanya tertawa mendengar hal itu. Rupanya, Alan memang pandai bercanda. Kemudian, aku berterima kasih padanya, telah memberiku hadiah yang berharga yang rasanya, tak akan bisa kudapatkan dimanapun.

Suatu sore, saat hujan turun lebat, dan guntur meledak-ledak, aku tertidur. Zom juga. Aku bermimpi tentang sesuatu yang aneh. Di dalam mimpi itu, Zom adalah seseorang yang sangat kukenal. Ya, dia berdiri di depanku dan mata, hidung, serta wajahnya mirip sekali denganku. Seperti kembar, benar-benar mirip.

Lalu, saat aku terbangun, aku berada di dalam sebuah kotak. Kotak kaca yang tebal, sempit dan pengap.

Di luar kotak, seseorang mengetuk-ngetuk.

“Hei!” katanya sambil tersenyum menyeringai. Seseorang itu, sangat mirip denganku.

Aku memukul, meraung dan mencakar kotak dengan segenap tenaga yang ada.

“Akan kukembalikan kau pada Alan,” ujarnya sambil masih tersenyum. Manakutkan, dia sangat menakutkan.

Aku menggeleng cepat. Kembalikan diriku!

“Haha, aku hanya bercanda. Begini, sebenarnya, Alan sama sekali tak memberimu sebuah hadiah yang sangat kauinginkan itu. Ia hanya memberimu ini,” ujarnya seraya memperlihatkan sebuah jam tangan mahal. Jadi ini maksud Alan tentang ia membeli di toko?

Aku kembali meraung, mencakar, memukul kotak.

“Tidak, ini salahmu. Mempercayai seseorang terlalu cepat. Selamat menjadi diriku.”

Kemudian, ia menutupkan kain hitam yang lebar. Aku masih meraung, mencakar dan memukul kotak. Siapa Zom sebenarnya? Dari mana ia berasal?

2019

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci.

Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply