Guru Karto

Guru Karto

Guru Karto

Oleh: Aryati

Karto baru baja menghempaskan pantatnya di kursi kayu di ruang tengah sewaktu istrinya baru selesai mengangkat jemuran kering. Ia memijit-mijit keningnya. Ia memejamkan mata dan meluruskan kakinya ke lantai. Angka-angka di layar komputer tadi membuatnya cukup pusing. Mendekati akhir semester ini, ia mesti menyiapkan laporan murid-muridnya. Sore-sore begini biasanya tiga anaknya selalu menyambutnya, tapi kali ini rumah sepi. Anak-anaknya tak ada satu pun yang tampak.

Pintu samping dibuka dari luar. Dengan keranjang penuh pakaian kering, istri Karto masuk rumah dengan kepayahan. Beberapa hari yang lalu, mereka baru saja menikmati liburan di sebuah vila. Kebetulan waktu itu bertepatan dengan cuti bersama disambung dengan hari minggu, dilanjutkan dengan hari libur nasional.

“Pah, kita cari asisten saja, ya. Mama capek tiap hari nyuci baju-baju segini banyaknya.” Sambil meletakkan keranjang di pojok ruang, Sarti mulai merajuk. Karto masih memejamkan matanya, tapi ia telah berhenti memijit keningnya. Ia memindahkan posisi tangannya ke belakang kepala. Kemudian sedikit menurunkan badan, ia menyandarkan kepala pada tangan yang menempel di kursi.

“Martabak pesananku mana, Pah?” tanya Sarti lagi.

Karto masih diam, tapi tangannya menunjuk ke arah motor. Sarti segera mengambil bungkusan kresek yang menggantung di motor. Kunci motor masih menggantung di lubangnya.

“Papah ini ngawur, kunci, kok, ditinggal-tinggal.” Sarti menggumam sambil menarik kunci motor dari lubangnya. Karto mungkin tak mendengarnya.

Sarti segera membuka bungkusan kresek itu dan meletakkannya di atas meja. Dibukanya bungkusan yang masih panas itu, kemudian perempuan menjelang 40 tahun itu mengambil ponsel. Ia mengambil foto makanan itu dari jarak dekat. Sesudah mendapatkan hasil yang bagus, ia segera menuliskan sesuatu di bawah foto itu. Langsung dibagikannya di media sosial.

Sarti membuka galeri foto-foto beberapa waktu lalu, tepat ketika ia dan keluarganya berlibur di vila. Sebagian foto-foto itu juga sudah dibagikannya di media sosial. Dilihatnya lagi, siapa saja yang sudah melihat foto-foto itu. Sarti tersenyum.

***

Beberapa hari sesudahnya.

Pukul 8 Karto sudah sejak tadi duduk di kantornya. Pak Yadi, kepala sekolah tempat Karto mengajar, mengabarkan bahwa hari ini akan diadakan rapat kerja. Semua guru dan karyawan sudah berada di tempat duduknya masing-masing.

Dengan suara berwibawa Pak Yadi membuka rapat. Lelaki lima puluhan tahun, yang kelihatan lebih muda dari usianya itu, menginformasikan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai program. Sebagian besar yang hadir dalam rapat memperhatikan dengan serius. Yang lainnya, termasuk Karto, tampak tengah menyentuh layar ponselnya. Sesekali ia menoleh ke arah Pak Yadi.

“Jadi, bagaimana Bapak Ibu sekalian? Laporan penilaiannya sudah selesai? Saya harap semua sudah menyelesaikannya, karena beberapa hari lagi penyerahan laporan akan dilaksanakan. Kemudian untuk pembayaran buku-buku dari masing-masing wali kelas untuk segera disetorkan pada bendahara,” lanjut Pak Yadi lagi. Kecuali Karto, guru dan karyawan lain mengangguk.

Rapat dilanjutkan dengan sesi diskusi. Salah satu guru yang juga merupakan bendahara melaporkan keuangan sekolah, anggaran untuk kegiatan dalam waktu dekat, serta pembiayaan lainnya. Guru lainnya menyampaikan informasi mengenai siswa-siswa mereka, terutama yang memiliki permasalahan belajar. Guru yang lain saling menyampaikan pendapat.

Kegiatan rapat berlangsung selama hampir 2 jam. Ketika hendak masuk kembali ke kelas, Karto dipanggil Jun, salah satu guru yang juga bertugas jadi bendahara di sekolah tersebut.

“Ya, Bu,”

“Maaf, apakah anak-anak sudah melunasi pembayaran buku-buku semester ini?” tanya Jun sopan.

“Saya cek dulu, ya, Bu. Kalau sudah nanti saya laporkan.” Karto duduk kembali di kursinya, sementara Jun berlalu menuju kelasnya setelah mengucapkan ‘baik, Pak’.

Karto segera mengambil buku besar berisi catatan pembayaran buku anak-anak. “Masih kurang dua anak,” ucap Karto pelan. Karto mengambil amplop besar putih dari dalam tasnya. Karto menghela napas. Terdengar istigfar lirih dari mulutnya.

***

“Masing-masing anak 475 ribu, jadi ….” Istri Karto mulai menghitung. “Lumayan juga, Pah.”

Karto diam, duduk sambil merokok di teras samping rumahnya, sementara Sarti berdiri.

“Papah ada tabungan?” tanya istrinya lagi. Karto menggeleng. “Kalau begitu ambil lagi dari koperasi.”

“Sudah nggak bisa pinjam lagi, Mah. Yang di bank saja masih 5 tahunan.”

Istri Karto berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang. “Pinjam Bapak, Pah.” Karto menoleh ke istrinya, kemudian membuang puntung rokok yang masih separo. Karto mengambil ponsel di meja dan segera masuk ke rumah.

Banjarnegara, 24 Juli 2024

 

Aryati, penyuka hitam yang mulai suka putih juga.

 

(*)

 

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply