Good Bye!

Good Bye!

Good Bye!
Oleh: Fuka Hana

“Ada mayat di unit satu. Segera susul aku ke sana.” Reno mematikan sambungan teleponnya.

Aku mendesah. Bahkan tugasku di unit tiga belum selesai, tapi ada mayat lagi yang harus kutangani. Benar-benar merepotkanku saja.

Aku menyudahi penyidikan pada jenazah di depanku ini, mencatat sebentar pada papan pencatat lalu memberikannya kepada Adri, rekan sekaligus asistenku.

“Aku akan pergi ke unit satu. Ada keperluan forensik di sana. Sisanya tolong kau bereskan.”

Adri mengangguk. Matanya mengamati hasil tulisanku dengan sesekali menatap jenazah itu bergantian.

Aku melirik sekilas pada meja panjang tempat jenazah itu diletakkan. Membetulkan letak maskerku lalu bergegas pergi ke tempat yang disebutkan Reno.

—————–

“Pembunuhan sadis. Lihat! Betapa lihai dia memisahkan anggota tubuh korbannya tanpa merusak jaringan syaraf atau tulangnya. Sangat mendetail.”

“Eh, apa ini?” Reno mendekatkan wajahnya di lengan si korban yang terpisah dari tubuhnya. Di lengan itu tampak sebuah goresan, seperti sandi rahasia.

Reno membolak-balikkan lengan putus tersebut. Keningnya mengerut. Sejenak, ia mengalihkan perhatiannya untuk menulis sesuatu di buku kecilnya. Aku masih sibuk menggunakan alat pengukurku. Kuambil penjepit untuk meneliti hasil potongan lengan itu lebih jelas. Kira-kira alat apa yang digunakan si pembunuh dalam menjalankan aksinya.

“Hei, aku tahu.”

Aku menoleh. Reno masih menyeriusi buku kecilnya, lalu diacungkan padaku.

“Lihat! Ini sebuah sandi rahasia. Tapi penulisnya terlalu bodoh atau memang ia ingin tertebak dengan mudah?”

Aku melihat apa yang ditulis Reno dalam bukunya. Sebuah urutan huruf alfabet yang cukup unik menurutku.

A B C D E F G H I J K L M
N O P Q R S T U V W X Y Z

Sedangkan di bawahnya bertulis, Tbbq olr. Susunan huruf yang Reno dapat dari goresan lengan tersebut.

“Lalu, apa maksudnya?” Aku mengembalikan buku itu pada Reno.

Reno berdecak pelan. “Ini sebuah sandi yang sangat mudah. Masa kau tidak paham?”

Aku mengangkat bahu. “Tugasku sebagai dokter forensik, bukan detektif.”

Reno kembali berdecak. Ia mendekatkan buku itu padaku.

“Lihat huruf-huruf yang ditulis si pembunuh ini. Lalu lihat huruf sebaliknya. Bila T maka G. Begitu seterusnya.”

Aku mengamati sekali lagi lalu mengangguk. “Good bye?”

Reno mengacungkan jari telunjuk ke depan wajahku. “Tepat sekali.”

“Maksudnya apa? Si pembunuh memberikan salam perpisahan? Benar-benar pembunuh yang bertatakrama,” ujarku sarkastik.

Reno tertawa. “Ya, mungkin semacam itu. Dan kita harus menyelidikinya. Apa kau sudah selesai?”

Aku mengangguk, menyerahkan hasil penyidikanku.

“Nama, tidak diketahui. Umur sekitar 30 tahun. Jenis kelamin laki-laki. Tinggi sekitar 175 sentimeter.”

Reno mengangguk. Ia membaca hasil catatanku. “Ed, kau hebat sekali. Semakin lama semakin cepat dan tepat dalam pekerjaanmu,” puji Reno.

Aku tersenyum tipis, mengangkat sedikit kacamataku.

“Kurasa itu karena kebiasaan. Sudah hampir setahun aku menjadi dokter forensik untuk kepolisian.”

Reno mengangguk. Tatapannya fokus ke depan dengan ekspresi berpikir.

***

“Hai, Na. Aku akan menjemputmu sebentar lagi. Bisakah kau menungguku?” Aku memegang ponselku dengan tangan kiri, sementara tangan kananku sibuk membolak-balikkan halaman map yang sedang kubaca.

Ryena tak menjawab. Aku merasa aneh.

“Ryena, ada apa? Kau sakit?” tanyaku khawatir.

“Oh, eh, tidak, Ed. Aku tidak sakit. Aku hanya … eum … aku ada janji makan malam dengan teman-temanku. Maaf, kali ini aku tidak bisa pulang bersamamu.” Terdengar nada gugup dalam suara Ryena.

Aku menarik napas pelan. Mengamati keadaan sekitar yang mulai menggelap. Senja sudah tiba. “Baiklah, hati-hati di jalan, ya.”

Ryena menutup sambungan telepon setelah mengucapkan terima kasih.

Akhir-akhir ini, aku merasa Ryena semakin bersikap aneh. Kekasihku itu sering menolak tiap kali aku hendak mengantar-jemputnya. Padahal kantornya tidak seberapa jauh dari tempatku bekerja. Searah malah. Dulu semasa masih PDKT, kami sering berangkat maupun pulang bersama.

Sudahlah, barangkali Ryena memang agak sibuk belakangan ini.

***

Aku bersenandung kecil saat memasuki lobi kantor, berpapasan dengan Adri yang menyambutku gugup.

“Pa—pak, ada sesuatu yang terjadi.” Adri gelisah. Aku menatapnya heran.

“Tenangkan dirimu dulu. Ada apa?” Aku menyentuh bahunya. Adri menarik napas dan mengembuskannya perlahan, mulai tenang.

“Pa—pacar Bapak. Ryena.” Adri menelan ludah.

“Kenapa dengan Ryena?” Suaraku terdengar parau. Khawatir.

“Kita ke unit empat sekarang. Ada Pak Reno di sana.” Adri tampak sangat gelisah.

“Baiklah.”

Kami berjalan cepat menuju lift. Untunglah lift sedang kosong. Aku tafakur. Tidak sabar rasanya segera sampai ke ruangan yang dimaksud Adri.

***

“Ada apa, Ren?” Aku menyerbu Reno dengan kecemasan begitu pintu terbuka.

Reno menggeleng. Raut wajahnya tampak sangat berduka. Ia menghela napas berulangkali. “Sabar ya, Ed.”

Aku menatapnya tak mengerti. Saat tubuh Reno sedikit miring, memberi jalan untukku, barulah aku tahu apa maksudnya. Sesosok tubuh yang telah dimutilasi, tergeletak di ranjang tempat kami mengotopsi jenazah.

Aku menahan napas saat mendekati jenazah tersebut. Wajah cantik itu tampak datar dan mengerikan. Separuh rusak, tapi masih sangat jelas untuk dikenali.

“Ryena?” aku berbisik. Kakiku goyah. Reno memegang lenganku, mencoba menguatkanku.

Kondisi Ryena sangat mengerikan. Dengan isi perut yang keluar, lengan terpotong-potong, leher yang nyaris putus, serta wajah yang penuh dengan darah dan sayatan.

Siapa yang melakukan ini pada Ryena?

Aku menggeleng. Padahal baru kemarin kami bercakap-cakap di telepon, sekarang ia sudah tak bernyawa.

Aku mengusap wajahku, gusar. Reno menepuk bahuku berkali-kali.

“Kita akan segera menemukan pembunuhnya. Lihat! Pembunuhnya adalah orang yang sama karena huruf dan sayatannya sama.” Reno menunjukkan potongan lengan Ryena.

Bau anyir darah sudah tak lagi kurasakan, aku sudah terbiasa dengan hal-hal mengerikan seperti ini. Tapi, melihat kekasihmu terpotong dengan cara tak lazim, bukanlah hal yang menyenangkan.

“Untuk sementara ini kau boleh libur dulu. Kau pasti butuh waktu untuk menenangkan diri. Tenang saja, kami yang akan mengambil alih tugasmu. Kami turut berduka.” Reno mendesah. Adri mengangguk mengiyakan ucapan Reno.

Aku menatap mereka berdua bergantian lalu mengangguk.

“Terima kasih. Kalian memudahkan tugasku.”

***

Pembunuhan demi pembunuhan semakin marak terjadi. Dengan sandi yang sama. Kami semakin dipusingkan dengan kasus ini. Bagaimana mungkin seorang pembunuh sadis bisa menghilang tanpa jejak, dan anehnya dia malah memberikan semacam kode tentang dirinya? Benar-benar mengerikan.

Pembunuhan ini pasti bukan didasari dendam atau kejahatan biasa. Ia benar-benar psikopat. Selalu, korban yang ditemukan sudah tak berbentuk jenazah manusia. Terpotong-potong bagai ayam di pasar.

Aku tertawa sendiri karena membayangkan perumpamaan itu. Aku lelah. Ingin sekali aku berhenti menjadi dokter forensik khusus kepolisian ini. Tapi bagaimana lagi? Aku sudah disumpah untuk menolong sesama manusia, apa pun dan bagaimanapun kondisinya. Dengan melakukan otopsi ini, setidaknya aku membantu mengenali jenazah untuk memberi tahu anggota keluarganya.

Kasus ini berjalan sebulan dengan hampir selalu ada korban di setiap harinya. Pembunuh “Good bye” ini benar-benar licin bagai belut. Tim Bareskrim bahkan mengerahkan seluruh anggotanya untuk menguak misteri kasus ini.

Inspektur Polisi 2, Reno Irawan, sahabatku itu semakin geram dibuatnya. Pembunuhan itu tidak akan terjadi saat pihak polisi mengetatkan patroli. Sebaliknya, saat polisi yang berpatroli lengah sedikit saja, pembunuhan akan terjadi. Sepertinya sang pembunuh ini sangat paham jadwal polisi yang berjaga.

“Ada korban!” Adri berseru di pintu unit satu. Sontak kami menoleh. Reno dan aku berpandangan selama beberapa saat.

“Korbannya bukan warga sipil biasa, melainkan salah satu anggota tim reserse kita.”

***

Reno memijit pelipisnya keras. Kami baru saja melakukan otopsi jenazah. Tria, anggota termuda tim reserse menjadi korban kali ini. Tubuhnya nyaris tak bisa dikenali. Lencana dan dompetnyalah yang membantu kami berhasil mengidentifikasinya.

Parahnya, korban diperkirakan dibunuh dua hari yang lalu. Dari bercak darah dan bagian tubuh yang mulai mengeluarkan bau tak sedap, kami menyimpulkan si pembunuh menyimpannya di suatu tempat sebelum membuangnya. Padahal kata atasannya, ia mengirim pesan mengambil cuti mendadak karena ibunya meninggal dua hari yang lalu. Bisa jadi si pembunuhlah yang mengirimkan pesan tersebut.

“Sebulan ini kita benar-benar buntu,” keluh Reno. Aku mengangguk setuju. Kami bahkan tak dapat menemukan bukti apa pun. Semua dugaan kami seolah patah begitu saja. Pembunuh ini membunuh secara acak, tidak menentukan gender, usia maupun ras.

“Aku jadi teringat Zodiac Killer,” aku menggumam. Reno menoleh.

“Kau tahu? Maksudku, kalau kita tidak segera menangkapnya, bisa saja nanti psikopat ini menjadi Zodiac Killer versi Indonesia,” gumamku melanjutkan.

Reno menggeleng tegas. “Tidak akan. Aku akan mengerahkan seluruh kemampuanku untuk mengungkapkan kasus ini. Apa pun. Meski nyawaku menjadi taruhannya. Aku yakin, pembunuhan ini akan segera terungkap dan pelakunya dijerat hukum paling berat,” Reno berkata dengan berapi-api. Sikap arogannya muncul. Aku tersenyum tipis.

“Benar. Kita akan segera mengungkapnya,” imbuhku.

***

“Ada berita bagus, Pak. Pak Reno bilang, ia sudah berhasil menemukan pembunuhnya dan akan sesegera mungkin menangkapnya.” Terdengar nada lega dalam suara Adri. Aku tersenyum.

“Oh, ya? Syukurlah. Reno mengatakan itu padamu?” Aku meletakkan pisau bedah yang baru saja kubersihkan.

“Iya. Tapi Pak Reno tidak mengatakan namanya. Dia hanya bilang, dia sudah tahu.”

“Terima kasih, Adri. Aku akan berbicara dengan Reno sebentar lagi.”

“Baik, Pak. Semoga benar kasus ini akan segera terungkap.”

Klik. Sambungan terputus. Aku membersihkan diriku di kamar mandi. Hatiku seringan awan. Seperti sebuah beban terangkat dari pundakku.

***

Aku memencet bel berulangkali. Mungkin Reno masih sibuk makan malam atau apa, aku tidak tahu. Yang jelas rumah Reno tak pernah terlihat rapi. Maklumlah, Reno tinggal sendiri. Ia belum berkeluarga.

“Siapa?” Suara serak Reno terdengar. Aku mengangkat alis. Reno sepertinya sangat lelah.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Reno membelalakkan mata begitu melihatku. Wajahnya terlihat kusut dan sayu. Ia mungkin tak tidur semalaman demi memecahkan kasus ini.

“Ed? Mau apa kau ke sini?”

“Kau tampak lelah sekali, Ren. Beristirahatlah.” Aku tersenyum.

Reno menggeleng. Menatapku tajam. “Sudahi sikap berpura-puramu itu, Ed. Aku tidak menyangka … ternyata—”

Belum selesai Reno berbicara, sebuah pisau tipis dan tajam menancap tepat di jantungnya. Mata Reno kembali membelalak, memegang pangkal pisau itu dengan tubuh terhuyung ke belakang.

Tubuh Reno membentur dinding. Tusukan di perut, di dada, hingga di leher, menyusul bertubi-tubi. Bau besi memenuhi ruangan ini. Membuatku sedikit mengernyit. Darah Reno menggenang di bawah kakiku. Aku mendecak. Ternyata membunuh Reno sangat mudah. Tak sesulit saat aku mengeksekusi Ryena.

Aku menatap jasad Reno yang bersimbah darah. Oh, ya, aku lupa satu hal.

“Good bye, Reno.” (*)

 

Fuka Hana, nama pena dari wanita 23 tahun kelahiran Pasuruan ini. Sekarang menetap di Bangkalan bersama keluarga kecilnya. Melalui tulisan, ia menyampaikan banyak hal ke seluruh dunia. FB: Fuka Hana

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita