Golden Girl
Oleh: Nur Aviva
“Aaa…!” suara teriakan itu melolong di tengah kegelapan hingga menegakkan bulu roma bagi siapa saja yang mendengarkannya.
Tepat berasal dari rumah paling ujung di Perumahan Eleibor. Angin berembus cepat seperti hendak menembus pori-pori makhluk-Nya. Anjing sekitar mulai menggonggong seperti sedang menangkap sekelebat bayangan hitam, meski begitu ada tali-tali yang bertugas membatasi irama gerak mereka, hingga bayangan itu hilang di dekat semak belukar. Menciptakan suasana mencekam.
Tak lama lampu-lampu menyala. Satu per satu warga keluar dari persembunyian mereka. Penasaran dengan hentakan kaki anjing yang seperti ingin menunjukan sesuatu.
“Ibuuu …!” terdengar teriakan pilu.
Tap … tap … tap ….
Beberapa kaki berlarian menuju asal suara. Terlihat seorang gadis berpiyama putih sedang memeluk tubuh wanita paruh baya yang bersimbah darah.
Terkejut? Tentu saja!
Tapi tragedi ini bukan terjadi untuk pertama kalinya. Ini sudah sering terjadi sejak beberapa tahun silam. Sayangnya hingga kini tak ada yang berani untuk melawan, karena itu sama saja menyerahkan diri mereka untuk mati. Monster itu—seperti itulah para penghuni menyebutnya—memangsa siapa saja. Hewan juga manusia.
“Ini tidak bisa dibiarkan, Guru!” geram laki-laki berkaus merah. Bola matanya menampakkan kemarahan sekaligus kekhawatiran.
Semua orang mengangguk.
“Betul, Guru. Kami setuju dengan Winter. Jika kita tak melawan terlebih dahulu, maka sama saja. Ini hanya tentang siapa yang mati lebih dulu,” sahut yang lain.
Kini, semua mata memandang gadis muda berpakaian silat warna kuning. Dia bukanlah salah satu warga di sini, apalagi pemimpin. Tapi karena keahlian bela dirinya itu membuat semua warga menjadikannya sebagai panutan. Golden Girl, begitulah orang-orang di sini menjulukinya, sebab tidak ada satu pun yang tahu nama asli gadis itu.
Bola mata birunya menyorot ke depan. “Baik, kita atur jadwal jaga,” akhirnya ia angkat bicara, “Winter! kau dan Hans tugas jaga pertama,” titahnya.
“Baik,” sahut Winter dan Hans berbarengan.
“Semuanya kembali. Tapi ingat, tetap waspada! Aku tidak mau tragedi yang menimpa Bibi Maria terulang lagi.” Mereka semua mengangguk serempak.
Beberapa orang mengurus mayat Bibi Maria, sedangkan yang lain kembali untuk beristirahat. Tak berselang lama, sebuah seringai muncul di antara pepohonan yang kemudian lenyap secepat angin.
“Akhirnya kau menganggapku serius.”
***
Burung-burung kecil mengitari Black Rose Residence. Di sini adalah ajang perkumpulan pesilat di bawah asuhan Golden Girl. Aktivitas mulai terlihat, meski pukul sembilan nanti akan ada upacara pemakaman. Ini persiapan diri demi mengatasi sang monster. Tak peduli muda maupun manula, semua bersiap untuk berjaga.
Sedangkan sepuluh meter dari sana terdapat sebuah ruangan yang berdesain klasik dengan warna kuning yang mendominasi setiap sudut. Berlembar-lembar kertas dan buku tertata indah di rak menyerupai sebuah kata. Terlihat jelas kalau itu menyusun kata “reinos taam”. Entah apa maksud tulisan itu.
“Ibu haruskah aku membunuhnya?” samar-samar terdengar suara sendu, “tapi … bagaimana dengan mimpiku?” Tubuh mungilnya berbalik, mata menatap nyalang ke segala arah.
“Aku mencintainya,” kukuh alam bawah sadarnya.
Ia masih ingat petemuannya kala itu. Saat seorang bocah berlesung pipi menyapanya
“Hai, aku Zidan dari keluarga Greg. Salam kenal,” suara itu kembali terdengar lagi
Suara gemericik air membuat suasana di sekitar begitu tenang. Dia menoleh dan tersenyum tanpa mengucap sepatah kata pun. Membuat Zidan, bocah yang bersamanya menjadi terpesona karena wajahnya yang cantik juga tubuh mungilnya.
“Bisakah kita terus bersama?”
“Tidakah kau lelah?” Sebaris air mata turun, membasahi pipinya yang mulus. “Aku, sudah tidak sanggup.”
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu membuyarkan semua. Dengan cepat tangan mungil itu menyeka air mata. “Iya, masuk!” titahnya dengan suara yang sedikit bergetar.
“Guru, pemakaman akan segera dimulai,” lapor laki-laki bertato sambil menunduk. Di lengannya bertuliskan “Rey”.
Golden Girl mengangguk dan bergegas menuju Graveyard, bangunan yang dikhususkan sebagai tempat pemakaman.
Mereka melakukan upacara seperti biasa. Baju-baju berwarna serba hitam, juga terdapat beberapa jenis buah dan sebotol sake di depan peti mati. Pun beberapa tangkai bunga yang sengaja diletakan satu per satu orang-orang yang menghadiri upacara pemakanan tersebut.
Kali ini upacara berjalan khidmat. Setiap pasang mata yang ada di sana berkaca-kaca. Perjalanan Bibi Maria sudah terhenti sampai di sini, meninggalkan kesedihan mendalam bagi putrinya. Lengang. Hanya ada suara isak tangis Angel yang terdengar sesekali.
***
Matahari kian condong ke arah barat. Hanya ada kukukan burung hantu yang memperketat penjagaannya. Embusan angin terasa dingin malam ini, membuat orang-orang di padepokan menjadi lebih cepat mengantuk dan tertidur.
Tak lama seseorang berpakaian hitam berhenti menatap gerbang di hadapannya. Melompati gerbang setinggi tiga sentimeter bukanlah hal yang sulit baginya. Hanya dalam hitungan menit pun sekarang ia sudah berada di dalam.
“Hei, siapa kau?!” seru seorang perempuan bertato arak yang menandakan kalau namanya adalah Geneva. Itu dia dapatkan karena kesukaan ayahnya menenggak berbotol-botol arak.
“Sial, ternyata kau berikan sihir itu pada gadis ini!” gerutunya.
Sosok hitam itu mendekati Geneva. Sorot matanya yang tajam terus menatap gadis yang dikuncir kuda tersebut. Pun pertarungan terjadi begitu saja. Membuat suasana malam ini menjadi sangat menegangkan untuk keduanya. Sementara di dalam kamar masing-masing semua orang sedang terlelap.
Sret!
Entah bagaimana bisa, dengan cepat sosok itu membunuh Geneva.
“Kau sedikit gesit daripada wanita kemarin gadis kecil,” ejekannya.
Baru saja ia hendak pergi, tapi seorang wanita berpakaian kuning menghadang. “Akhirnya, kau menampakan dirimu, Sayang.” Senyuman manis mengembang.
Golden Girl berdiri angkuh di sana. Menatap tajam sosok berpakaian hitam itu dengan sedikit kerinduan yang masih menyelinap dalam hatinya. Beragam emosi memenuhi perasaannya. Marah, benci, rindu, juga perasaan lainnya seperti mengaduk-aduk hatinya dalam sekejap.
Hening. Lima menit sudah berlalu, tapi mereka masih saling memandang satu sama lain, tak beranjak dari tempat mereka berdiri tadi.
“Akhirnya kau datang juga.”
Setelah berdiam cukup lama, ia langsung berlari dan memeluk sosok tersebut. “Kau bodoh!” cerca Golden Girl sambil menangis.
Pria itu hanya tersenyum seraya mendekap erat-erat tubuh Golden Girl. Sebaris air mata mengalir begitu saja.
“Ikutlah bersamaku,” ajakan dengan suara yang lembut.
“Belum waktunya, aku masih ingin berada di sini,” tegas Golden Girl.
Tanpa berkata apa pun lagi gadis bertubuh mungil itu berlari ke dalam. Meninggalkan pria berpakaian hitam yang sebelumnya telah membunuh Geneva. Membuat pria itu tersenyum, untuk kemudian pergi meninggalkan pedepokan.
***
Lagi, kematian menjadi momok menakutkan. Peti perak itu sudah siap dikuburkan. Namun di luar derap langkah kaki berlari terdengar begitu cepat.
Brakk!!!
Semua orang yang berada di dalam ruangan terkejut melihat Winter dengan napasnya yang tersengal-sengal. Wajahnya penuh keringat dan tampak kumal. “Se—sebentar … biarkan aku mengatur napas.” Winter sedikit menunduk, kedua telapak tangannya menempel di lutut, wajahnya terangkat menatap semua orang bergantian. Ia menarik napas dan mengembuskannya berkali-kali.
“I—itu, Guru … menghilang!” teriaknya dengan napas yang masih terengah.
“Apa?!” Semua orang saling berpandangan satu sama lain.
Sontak saja hari pemakanan kali ini menjadi hari paling memilukan bagi mereka. Bukan karena kehilangan salah satu anggota keluarga, tapi mereka juga kehilangan seseorang yang sangat berharga.
“Pasti ini ulas Monster itu!”
***
New York, 10.00 AM.
Dua minggu berlalu, suasana di Black Rose Residence berubah drastis. Monster yang selama ini mereka takuti tak pernah lagi menampakkan dirinya apalagi membunuh salah satu warga di sana.
Sementara itu, berjuta-juta kilometer dari Black Rose Residence, sebuah rumah mewah bertengger di puncak bukit. Rerimbunan pohon menutupi pandangan para pendaki alam, bahkan sering terdengar kabar akan keangkeran wilayah ini. Jika saja orang-orang meniliknya lebih dalam, di sana terdapat sekumpulan warga yang sedang berpesta pora. Merayakan hari kembalinya pemimpin mereka.
“Kau tidak ikut, Sayang?” Seorang lelaki tampan berlesung pipi mengernyit heran.
Wanita berkulit pucat menggeleng, menerawang bulan dari balkon. “Tidak. Aku lebih suka di sini,” jawabnya.
Zidan, pria berlesung pipi itu melangkah. Kedua tangannya melingkar di pinggang wanita yang ada di hadapannya.
“Hei! Kau masih memikirkan mereka?” tanyanya setengah berbisik.
Wanita itu mengangguk tenang. Mereka adalah impianku. Jika saja bisa … mungkin aku tidak akan mengambil keputusan konyol semacam ini.
“Tenang saja, Lumina. Mereka akan hidup tenang. Bukankah kita sudah membahas ini sebelumnya? Kau menyetujuinya dengan ikut ke sini bersamaku.”
Wanita berambut pendek itu menatap Zidan dan tersenyum lebar, membuat gigi taringnya yang panjang terlihat jelas. Di leher sebelah belakang, ada gambar bunga mawar berwarna hitam. Ia juga masih mengenakan baju kuning kesukaannya.
Wanita itu, Lumina Show. Bukan! Tapi Lumina Greg. Istri dari Zidan Greg, penguasa vampire selatan Kerajaan Reinos Taam.
Jika saja manusia lebih pintar, tentu mereka akan mengerti maksud tulisan itu. Kalau mereka mengacak tulisan tersebut huruf per huruf, maka kata lain akan terbentuk. Reinos Taam menjelma I am Treason yang artinya, aku adalah pengkhianat.(*)
Nur Aviva, si mungil pengagum senja dan hujan. Bernaung hidup di Provinsi DI Yogyakarta. Senang menonton film yang berbau horror serta action. Jika ingin berkenalan bisa melalui IG: @nava_jingga, atau FB: Nur Aviva
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita