Judul: Gila Mati
Oleh: Diah Estu Asih
Aku mengenalnya sebagai seorang penyakitan. Pengidap tumor otak yang berkali-kali disarankan untuk operasi. Akan tetapi, barangkali, tumor otak juga yang membuat sifat keras kepalanya menjadi-jadi. Dia menolak operasi, menolak terapi, membangkang saat jadwal minum obat, juga tidak peduli pada peringatan dokter agar tidak kelelahan.
Tidak ada bayang ketakutan akan mati karena tumor otak. Justru yang terlihat, dia seperti menunggu saat-saat itu. Dia memang manusia gila. Gila untuk mati. Setiap malam dia bertanya padaku, kapan Malaikat Izrail akan menemuinya? Terkadang, kapan Malaikat Izrail akan menculiknya? Pernah sewaktu juga, aku bosan dengan hidup di dunia.
Aku sering sekali terpaksa harus menyebutnya sebagai wong gendeng. Kalau tak ingat ada tumor yang kerap kali membuatnya mendengung kesakitan, pasti kepalanya sudah aku lempari dengan batu-batu yang tertumpuk di depan kontrakan. Karena tak kuasa melakukan kekerasan fisik, aku senang memakinya panjang lebar. Menyebut nama-nama binatang menjijikkan, mengatakan betapa bodohnya dia. Tapi dia hanya tertawa, terlihat senang saat aku berubah seperti manusia kesetanan.
Katanya, daripada meratapi nasibnya yang akan segera mati, lebih baik memaki. Sepuasnya. Sesenangnya. Semaunya. Mumpung masih ada orangnya. Sebentar lagi mati, tidak ada lagi yang bisa dimaki.
Hampir di setiap kesempatan, dia mengungkit kematiannya yang tak kunjung datang. Saat kami di kamar, hendak tidur, baru bangun, sebelum dan selesai salat, sebelum makan, selesai makan, sebelum bepergian, sepulang bepergian. Semua kesempatan, kapan pun, di mana pun, selama dia mau, maka kematian akan selalu masuk dalam pembicaraan kami.
***
Enam tahun lalu, dia menemukanku di gang sempit kota Solo. Kebingungan mencari tempat tinggal. Uang pas-pasan, sewa indekos mahal. Tidak punya kenalan. Bermodal nekat untuk mengecap pendidikan di sebuah universitas kota Solo. Dia yang memang dilahirkan sebagai sosok ramah, menyengir lebar menatapku. Giginya berderet rapi, putih. Kulitnya bersih, kontras sekali dengan kulitku yang hitam dan mengilat. Dia melambai-lambai padaku. Namun, karena takut aku tak mau mendekat. Dialah yang mendekat kemudian, menepuk pundakku, mengajak berkenalan, menawarkan bantuan.
Pertama-tama, dia mengajakku berkeliling mencari indekos. Namun, semua tempat yang kami datangi menawarkan harga di atas kemampuanku. Lalu dia mengajakku kembali ke gang sempit tadi, memasuki rumah kecil. Aku bisa tinggal di sana bersamanya, katanya. Sampai aku lulus kuliah, empat, lima, enam, bahkan boleh sepuluh tahun. Semauku. Tapi tidak gratis. Tapi dia juga tidak mau dibayar dengan uang. Sebagai gantinya, aku harus rela menjadi teman baiknya.
Menjadi teman baik buatnya adalah orang yang akan dikenalkan kepada keluarganya. Dua hari setelah tidur dalam satu kamar dengannya, dia menghubungi ibunya. Mengatakan bahwa ada seorang yang ingin dia kenalkan. Itu adalah aku, teman baiknya. Ibunya menyambut senang, setidaknya, dari suaranya aku menebak begitu. Kemudian dia lanjut menghubungi ayahnya, memperkenalkan aku sebagai teman baiknya. Lelaki itu menanggapi tak lebih banyak dari ibunya.
Sepanjang kami hidup satu atap, hanya beberapa kali aku melihatnya berkomunikasi dengan bapak ibunya. Aku yang bukan siapa-siapa mereka justru lebih sering dihubungi oleh bapak ibunya. Dia mengatakan ini sebagai bentuk balas budi. Balas budi akan kebaikannya yang sudah bersedia merawat anak malang ini.
Ibunya seorang manajer, bapaknya pemborong. Dia bukan dari keluarga kekurangan. Untuk melakukan operasi pengangkatan tumor otak, uang bapaknya tak akan habis sampai separuh. Tabungan ibunya juga pasti cukup. Tapi jangankan untuk memberi uang, bahkan mereka belum mengetahui kondisi putranya yang sedang gila mati.
Aku juga tidak pernah bertemu ibu bapaknya. Mereka tidak pernah datang berkunjung, dia pun tak pernah mengajakku mengunjungi. Setiap lebaran tiba, aku pulang ke kampung. Sebelum pulang aku tanyakan padanya, kapan akan pulang juga? Jawabannya, pulang ke mana? Wong ini rumahnya.
***
Dia melarangku mencari pekerjaan. Sebagai gantinya, dia memberiku kerja serabutan. Kadang jadi supir, jadi tukang kirim barang, tukang fotocopy, tukang print, mengurus akun instagram bisnisnya, membelikannya makanan, masak, bersih-bersih kontrakan. Apa pun yang bisa aku kerjakan, asal aku punya waktu luang.
Setelah lulus kuliah, dia masih menahanku. Sudah telanjur nyaman, aku pun tak kuasa menolak. Meski kerjaku serabutan, tidak selaras dengan jurusan yang kuambil, tetapi dia memberikan gaji yang lebih dari cukup.
Hal yang paling aku sayangkan adalah bisnisnya yang tak kunjung membesar. Penghasilan membuka usaha bertahun-tahun tentu menghasilkan cukup banyak uang. Tapi dia menolak saranku agar membuka cabang di lain tempat. Dia memilih membawaku menelusuri gang-gang kecil di tempat-tempat yang tak pernah kupikirkan ada, setiap sebulan sekali. Menyumbangkan uangnya di sana. Kadang juga ke panti, rumah sosial, atau untuk donasi.
***
Soal tumor otak yang akan membuatnya segera mati, dia melarangku memberi tahu ibu bapaknya. Meski sudah membujuk berkali-kali, dengan berbagai cara, dia tetap melarang. Dia tak mau menjawab saat aku tanya kenapa. Merasa tak begitu punya hak, aku pun tak banyak bertanya lagi.
Siang ini aku tawarkan lagi agar memberi kabar pada ibu bapaknya. Tapi dia masih bersikeras menggeleng. Padahal nyawanya sedang ada di ujung tanduk. Tak habis pikir, apakah tidak punya keinginan bertemu keluarganya sebelum keinginannya untuk mati benar-benar terwujud?
“Kalau aku sudah mati, baru kabarkan pada mereka.” Begitu dia menjawab. Tenang, tanpa beban. Padahal untuk bernapas saja seperti kesulitan.
“Gendeng!” makiku tanpa kasihan. Siapa yang peduli pada manusia gila mati. Aku juga tak mau peduli. Dia tidak suka menerima tatapan khawatir dan kasihan dariku. Sebagai bukti, sekarang dia menyengir lebar. Padahal itu tak menyenangkan untuk dilihat. Justru menyeramkan karena wajahnya yang memucat.
“Kata dokter, tinggal beberapa bulan,” katanya menggoda, yang lagi-lagi itu tidak menyenangkan sama sekali.
Aku memakinya sekali lagi, lalu membanting pintu ruang rawat dan menjauh dari sana. Menyusuri koridor rumah sakit, menuju kantin. Dia yang mengharapkan kematian segera datang, aku yang cemas. Hampir setiap hari aku berdoa tanpa suara, kalau keinginannya untuk mati terwujud, tolong segera pertemukan aku dengan orang sepertinya. Sebagai ganti dirinya.
Dia yang tidak takut mati, aku yang takut ditinggal mati. Konspirasi macam apa ini? Gendeng, memang gendeng!
Perlahan, dengan rasa bersalah, aku menghubungi bapaknya. Panggilan pertama tak mendapat jawaban. Maka aku kirimkan pesan, berisi tentang penyakit yang diderita anaknya dan bagaimana kondisi anaknya saat ini. Lalu aku copy pesan itu, mengirimkan pada ibunya. Diikuti permohonan maaf sebesar-besarnya, entah untuk apa. Dentuman jantungku meningkat, tetapi ada perasaan lega. Syukurlah, akhirnya berani mengambil tindakan ini.
Sahabatku, saudaraku, teman baikmu ini sedang membuka jalan untukmu.
Aku kembali menyusuri koridor, menuju ruang rawatnya. Dokter baru saja keluar dari sana, dengan dua orang suster di belakang mereka. Ini hal biasa. Aku mendekati dokter, menanyakan keadaannya. Dokter itu tak menjawab, malah menepuk pundakku diiringi galengan kepala. Aku heran, lantas masuk dan melihatnya tengah tertidur. Bibirnya tersenyum tipis. Meski pucat, aku melihat ini lebih manis dari biasanya.(*)
Gendeng: gila
19/10/2020
Diah: seorang penikmat kata.
Editor: Erlyna