GILA 2
Oleh: Noery Noor
“Aku positif hamil, Las!” celoteh bahagia Inten ketika senja itu pulang bersama Mas Nawan. Wajahnya tampak sumringah bercahaya. Mas Nawan yang berjalan di sebelahnya pun tampak bahagia. Tapi hatiku merintih pedih mendengarnya.
“Akhirnya Bapak akan punya cucu juga, Las. Meskipun bukan dari kita, setidaknya itu masih dari keturunan keluarga kita, darah daging Hardi,” kata Mas Nawan tak kalah sumringah. Sumringah yang berubah menjadi bara di dadaku. Meski menyambutnya dengan senyum, namun rasa sakit masih menyelip di dadaku.
Aku tak ingin merusak kebahagiaan mereka. Kebahagiaan Mas Nawan dan Inten, meskipun alasan mereka mungkin berbeda, namun lahir dari kondisi yang sama, kehamilan Inten. Bagaimanapun anak yang dikandungnya keponakan kami, darah daging dan keturunan bapak dan ibu Mas Nawan yang memang sudah lama mereka harapkan.
“Kau baik-baik saja, Las?” masih kata-kata itu juga yang keluar dari bibir Mas Nawan sepeninggal Inten. Aku hanya mengangguk, kemudian menghambur di pelukannya. Entahlah rasanya diriku begitu rapuh, meskipun aku masih sempat berucap, “Saat ini hanya kita, Mas. Hanya kita keluarga Inten yang ada di sini. Apa pun yang menjadi kebutuhan dan permasalahannya hanya kita yang bisa membantu,” kataku pada Mas Nawan, “ kau tak perlu merasa bersalah setiap harus pergi bersama Inten.”
“Kau bisa, ‘kan, turut menjaga kandungannya? Kau awasi dia, kondisi emosinya masih labil,” kata Mas Nawan sambil membingkai wajahku dengan kedua tangannya.
“Ya, Mas. Akan kulakukan,” jawabku lirih. Masih terasa pedih.
Sejak hari itu aku makin banyak mengamati Inten. Mengingatkannya waktu makan, “Bayimu butuh asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat, Ten,” kataku selalu saat menyuruhnya makan. Kamilah yang selama ini mencukupi kebutuhan Inten. Termasuk mengurus beberapa dokumen terkait dengan kematian Hardi.
“Las, boleh tidak kalau nanti malam aku tidur dengan Mas Nawan?” tanyanya tiba-tiba sore itu.
“Kau ini waras tidak, Ten?” kejutku meyambut pertanyaannya. Kutatap matanya yang tampak polos seolah tak berdosa.
“Lha aku kan cuma nanya, kalau kamu nggak boleh ya sudah,” jawabnya sekenanya.
“Jawab sendiri pertanyaan itu. Kalau aku minta Hardi tidur denganku, kau mengijinkan tidak, Ten?” tanyaku sewot.
“Tentu saja boleh, sana susul di kuburan …,” jawabnya sambil terkekeh.
Aku terkesima, “Kau baik-baik saja, ‘kan Ten?” Mataku menatap tajam wajahnya. Meneliti hingga di setiap senti permukaannya. Perempuan ini benar-benar sudah gila!
“Kau yang aneh, Las!” jawabnya disertai tawa berderai, ”aku tahu kau menyimpan sesuatu di balik dadamu yang membusung itu. Curiga dan cemburu pada kedekatanku dengan Mas Nawa!” Suara renyah terdengar di antara tawa yang berderai, membuatku harus menghela nafas panjang.
“Ten, aku tahu saat ini kau masih belum bisa menerima kepergian Hardi. Jadi aku tak perlu membebani diriku dengan rasa curiga dan cemburu padamu. Semuanya sudah cukup berat buat kita, mengapa masih harus ditambah dengan hal-hal yang tidak perlu?” suaraku sepelan mungkin.
Kami duduk berhadapan di teras rumahnya. Senja cerah datang dengan warna kuning emas yang menyelimuti semesta. Kulit Inten yang kuning langsat turut memancarkan cahaya senja, meski wajahnya tersaput awan hitam. Air mata mulai meluncur satu persatu di pipi yang kian kurus.
“Hardi sudah pergi, tak peduli kita bisa menerima atau tidak. Dia bukan milik kita lagi. Dia tak kan pernah hadir lagi, Ten! Mau tidak mau kita harus terima keadaan ini, memulai hidup yang baru tanpa Hardi lagi,” kataku lirih. Lebih berharap agar Inten tak mendengarnya.
“Kita?” mata polosnya kini menatapku penuh tanya.
“Ya, kita. Kau, aku dan Mas Nawan,” bisikku pelan sambil menggenggam kedua tangannya yang dingin dan gemetar.
“Jaga dan rawat bayimu dengan baik, itu akan jadi kebahagiaan dan harapan kita, Ten,” bisikku lagi sambil mengusap pipinya yang penuh air mata.
“Jadi, malam nanti aku boleh tidur dengan Mas Nawan, Las? Demi bayi ini?” mata polosnya kembali memohon.
“Ten …,” aku bimbang. Keraguan dan kebimbangan melilitku. Kalau aku penuhi permintaannya, semua orang pasti akan bilang aku sudah gila. Kalau aku tolak, Inten akan semakin marah dan bisa kubayangkan akibatnya. Kondisi emosinya yang sudah labil bisa jadi tak terkendali.
“Sepertinya Mas Nawan hari ini ada acara, mungkin malam baru pu …,” namun belum selesai aku bicara, Mas Nawan dengan motornya melintas di depanku.
Aku terdiam.
Berbohong selalu bukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah, meskipun hanya sementara. Sebenarnya aku ingin membohongi Inten, bahwa malam ini Mas Nawan tidak ada di rumah, agar Inten tak pernah punya kesempatan untuk bersama Mas Nawan. Namun usahaku gagal dan sia-sia. Biarlah Mas Nawan yang mengambil keputusan tentang ini.
Apalagi yang bisa aku lakukan?
Kepalaku terasa amat berat, seolah ada banyak bongkahan kesedihan yang tersimpan di dalamnya. Bayangan ketakutan terhadap sikap Inten berkelebatan di kepalaku, desak-mendesak meminta ruang untuk menetap. Senyum kenes dan lagak manjanya mendidihkan darah dalam nadiku terus mengikutiku ke mana pun aku pergi.
Dengan langkah terhuyung aku melintas masuk ke rumah bersamaan loncat kegirangan Inten mendekati Mas Nawan yang baru memarkir motornya. Bisa diduga apa yang mereka bicarakan, pun jawaban Mas Nawan, bila Inten mengatakan, “Demi bayi yang kukandung!” Berkali-kali aku menghela nafas, mencoba menenangkan diri, untuk melihat segala kemungkinan, termasuk hal terburuk yang terjangkau anganku.
Malam itu Mas Nawan meminta izin untuk pergi ronda. Aku hanya mengiyakan, meskipun aku yakin ia akan menemui Inten malam ini. Terdengar suara derit pintu tanda seseorang baru menyelinap keluar. Dari korden aku bisa melihat bayangan Mas Nawan melintas halaman samping menuju rumah Inten yang pintunya terbuka.
Aku tahu betul posisi kamar-kamar dalam rumah itu. Aku juga hafal di mana kamar Inten selama ini. Segera aku berjingkat menyusul Mas Nawan memasuki rumah mungil itu. Mengendap di setiap kamar, kemudian ….
Aku melihat pemandangan yang meyakitkan itu. Entah kapan aku mulai berubah, tapi tak ada lagi keinginan untuk megendalikan diri. Aku masuk ke ruangan itu, berdiri di antara mereka. Sebatang gunting yang masih aku pegang kugunakan untuk meyerang Inten bertubi-tubi. Apa pun yang aku jangkau aku gunakan untuk menyerangnya, aku tak peduli lagi. Rasa sakit dan benci tiba-tiba memuncak membuatku terus memukul, menendang dan menjambak rambut perempuan gatal itu.
Aku dengar Mas Nawan memannggil dan mencoba menghetikan aku, namun tak kuhiraukan lagi, bahkan kemudaian aku menumpahkan kekesalanku padanya, hingga kini keduanya terkapar bersimbah darah.
Aku telah melukai mereka, atau bahkan … ah tidak … mungkinkah aku telah membunuh mereka?
Malam yang hening itu menjadi riuh oleh tetangga yang berdatangan. Beberapa pasang tangan kokoh memegangiku hingga aku tak bisa lagi berkutik, meskipun terus berteriak memanggil nama Mas Nawan. Orang-orang membawaku dalam gelap, kegelapan yang memaksaku untuk terus berjalan di dalamnya.
***
Hangat sinar matahari pagi menerobos memasuki halaman depan rumahku yang ditumbuhi rumput hijau. Embun pagi tampak berkilauan saat tertimpa sinar mata hari pagi.
“Aku pergi dulu, Las,” kata lelaki muda berbaju seragam keki itu berpamitan padaku. Hampir setiap pagi dia berbuat seperti itu. Berpamitan, menggenggam tanganku kemudian mencium punggung tanganku, dan mengecup lembut keningku. Setelah itu melangkah pelan, dan akan berbalik serta melambaikan tanngannya ke arahku, kemudian mengucapkan beberapa kata pada perempuan paruh baya yang selalu berdiri di sampingku, “Jaga Lasmi, Bu. Saya berangkat kerja dulu,” pesannya sebelum kemudian benar-benar berlalu dari hadapanku.
“Mas!” tiba-tiba aku ingat sesuatu.
Dan lelaki muda itu berbalik menatapku. Menampakkan senyum di wajah berkulit kecoklatan. Ada binar bahagia di mata itu saat menatapku.
“Kau ingat sesuatu, Las?” tanya lelaki itu tergopoh mendekatiku. Kedua tangannya segera merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Kau ingat sesuatu?” ulangnya sambil merenggangkan pelukanya. Mataku menatap ke arah pintu rumah di depanku yang terbuka.
“Inten belum bangun, Mas? Apakah bayinya baik-baik saja?” tanyaku lagi pada lelaki di depanku. Kedua tangannya memegang pundakku, dan mata itu menatapku. Sebelum kemudian memelukku erat.
“Las, kau sudah kembali. Las. Alhamdulillaahhhi, yaa Allah …,” ucap laki-laki itu berkali-kali sambil terus memeluk dan menciumi wajahku.
“Apa lagi, yang bisa kau ingat, Las?” Matanya tak lepas menatapku saat kami sudah duduk di kursi panjang yang ada di teras rumah.
“Las, lihat aku, tatap aku, Las …,” katanya sambil mengangkat dahuku. Aku menuruti perintahnya, “Mas Nawan …, ayo ucapkan itu,” pintanya padaku.
“Mas … Na … wan,” pelan aku tirukan.
“Bagus Las, aku yakin kau akan baik-baik saja, semuanya akan pulih seperti sedia kala,” kata penuh harap itu keluar dari bibir tipisnya.
“Mana Inten, Mas? Bagaimana bayinya? Andaikan saja malam itu …,” tanyaku sedikit panik. Selintas berkelebat bayangan peristiwa di malam itu, namun bayangan itu segera menghilang secepat ia datang.
“Las, dengar aku …,” kata Mas Nawan sambil menatapku. Aku pun menatapnya seperti yang dia minta.
“Tidak ada yang terjadi malam itu. Inten sudah lama pulang ke Bojonegoro, kota asalnya, tiga bulan setelah Hardi meninggal, setengah tahun yang lalu, Las. Yang hamil itu kamu, Las,” kata Mas Nawan sambil mencium perutku yang membuncit, “semua hanya delusimu,” bisiknya pelan, “tapi aku bahagia, hari ini kau menampakkan kemajuan yang luar biasa,” lanjutnya setengah tertawa.
Ya, aku baru ingat, setelah kejadian di malam itu aku tak ingat apa pun. Aku bahkan tak tahu ada di mana dan apa yang kulakukan selama ini. Kepalaku terasa pusing memikirkannya. Mas Nawan memapah tubuhku yang terhuyung limbung, mendudukkannya di kursi.
Sejenak serpih-serpih peristiwa itu kembali berkelebatan di ingatanku, meskipun masih terasa membingungkan.
“Maaasss …,” rintihku pelan sambil memegangi perut yang tiba-tiba terasa mulas. Dahi lelaki di depanku berkerenyit sejenak, namun kemudian tertawa senang saat meraba perutku yang mengencang, “Bayi kita akan segera lahir, Las,” bisiknya sambil membelai dan mencium perutku.
Saat seorang perempuan paruh baya keluar menemuiku, aku pun mengenalinya, itu ibuku! Aku merasa sangat beruntung dan bersyukur, karena mereka selalu ada untukku di saat aku tak bisa menjadi sesuatu yang berarti bagi mereka.(*)
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita