GILA (Bagian 1)

GILA (Bagian 1)

GILA (Bagian 1)
Oleh: Noery Noor

GILA

“Aku gila tidak, Las?” tanya Inten padaku. Matanya menatapku tajam. Kutentang tatapnya. Heran, juga penasaran karena pertanyaannya yang tiba-tiba.

“Mengapa kau tanyakan itu?” aku balik bertanya sambil menatap matanya yang menghunjam tajam, seolah menetak pusat nadiku.

“Aku tanya padamu, Las? Aku gila tidak?” nadanya meninggi. Terselip ancaman dalam kata yang diucapkan. Tangannya memukul meja, membuat nyaliku semakin ciut. Sepasang alis yang menaungi mata indahnya nyaris bertaut. Bibirnya mengatup, rahang rampingnya tampak tegang.

“Ten, bisanya orang gila tak sadar kalau dirnya gila,” jawabku pelan.

“Benar? Aku tidak gila?” tanya Inten lagi. Memintaku untuk meyakinkannya.

Kupandang wajahnya yang tetap terlihat cantik, dengan hidung mancung dan bibir merah merekah terukir sempurna oleh Sang pencipta, dengan perasaan teraduk tak tentu campuran dan komposisinya. Kulitnya yang kuning terlihat semringah, meski akhir-akhir ini kurang terawat. Rambut hitam mayang berombak dibiarkan jatuh tergerai di pundak yang dibiarkan sedikit terbuka. Sepasang matanya masih saja mencengkeramku, menghadirkan rasa bergidik yang aneh.

“Kau tahu, Las. Setelah kepergian Mas Hardi aku selalu membayangkan setiap laki-laki itu dirinya. Tatapan mata dan gaya bicara Karyono mirip dengan Mas Hardi saat dia bicara dan menatapku. Postur tubuhSutejo juga mirip dengan mas Hardi. Bahkan kemarin, waktu Revan yang masih kuliah lewat di samping rumah juga kukira Mas Hardi karena parfum yang dipakai merknya sama dengan punya Mas Hardi. Bukankah itu gila namanya, Las?” matanya yang tadi beriak tiba-tiba luruh menatap lantai. Tangan kurusnya terjulur menuangkan teh untukku. Bibir ranumnya mengukir senyum lembut sambil menawarkan minum padaku. Senyum yang tampak aneh di mataku.

“Kurasa itu wajar, Ten. Kau baru saja ditinggal suami yang kau sayangi. Pernikahanmu yang baru seumur jagung harus berakhir dengan tragis, wajar kau punya pikiran-pikiran seperti itu, Ten,” aku mencoba menenangkannya. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sebagai sesama wanita aku bisa memahami perasaannya saat tiba-tiba harus kehilangan suami yang dicintainya. Bagaimana tidak, pagi itu aku masih menyaksikan keduanya bercengkrama sebelum Dik Hardi, suami Inten berangkat berangkat bekerja. Selang tiga puluh menit kemudian kami mendapat kabar Dik Hardi kecelakaan dan meninggal di tempat kejadian.

Sepenuhnya aku bisa memahami tingkahnya yang aneh akhir-akhir ini. Kebiasaannya berubah drastis. Inten yang periang, kini sering menyendiri. Bibir ranum yang biasa menyunggingkan senyum menawan lebih sering terkatup rapat. Tatapan matanya sering terlihat kosong, menerawang jauh. Dulu aku sering dibuat gemas dengan kelakuannya yang kenes dan pesolek, tapi kini aku merasa prihatin dengan kebiasaan barunya. Inten betah duduk berjam-jam di depan pintu, menatap ke arah jalanan di depan rumahnya, mungkin berharap suaminya akan muncul di ujung jalan sana. Aku harus berkali-kali meningatkan sekedar untuk mandi atau makan.

“Tapi kau juga ingat si Wahyu itu, to? Cucu Mbah Kromo yang belum nikah tapi anaknya lima? Dia bilang semua anak-anaknya itu hasil perkawinannya dengan Budiman yang pegawai kecamatan, karena dia mengira semua lelaki adalah Budiman,” suara Inten memecah lamunanku. Mata elangnya masih saja menatapku, ujung paruhnya bagai menancap di dadaku. Seolah ada sepasang cakar mencengkeram kuat jantungku hingga tak sanggup lagi berdetak. Mungkin begini rasanya saat seekor kelinci berhadapan dengan seekor serigala di tengah rimba.

“Itu bukan gila, Ten … tapi tergila-gila,” selorohku mencoba bercanda. Namun tampaknya tak berhasil. Mata itu kian kuat mencengkeramku. Debur kemarahan kian membuncah di kelam matanya.

“Apa kau pikir aku tidak tergila-gila sama Mas Hardi, Las?” sergahnya kasar. Mata itu kini bagai sepasang tangan yang menyambar kemudian dengan cepat mencekik leherku. Begitu cepat! Tanpa memberiku kesempatan menghindar.

“Ehh … maksudku gini …,” suaraku terbata dan terpatah-patah, “Si Wahyu memang sejak dulu sudah gila. Sebelum kenal Budiman, dia sudah gila. Itu beda dengan kamu, Ten,” bujukku dengan nada rendah. Aku bangkit, duduk di sampingnya kemudian mengelus-elus pundaknya pelan.

“Kau cuma perlu waktu untuk menerima kepergian Mas Hardi,” sekali lagi aku mencoba menenangkannya. Tanganku mmengelus kedua pundaknya pelan, meskipun tidak yakin akan berhasil, namun setidaknya aku telah berusaha. Kini bahunya terasa bergetar dalam elusan tanganku. Inten mulai menangis. Aku membiarkannya. Biar ia menumpahkan semua kesedihan dan kehilangannya dengan air mata. Kupikir itu lebih baik daripada memaksanya untuk bersikap tegar, namun hatinya bagai terkoyak oleh duka yang dirasakannya.

“Mas Nawan ada di rumah, Las?” ini ketiga kalinya adik ipar Mas Nawan itu mencarinya. Sehari sebelunya datang karena ada genteng yang bocor, dan dua hari sebelumnya karena krannya macet.

“Tidak, dia kerja,” jawabku sambil merapikan jahitan tanpa menatap Inten. Mataku berkonsentrasi pada celah jahitan yang benangnya lepas.

“Ada genteng yang bocor lagi, ya? Atau krannya macet lagi?” tanyaku mencoba bersikap ramah, namun mataku tak teralih padanya, meskipun dada serasa terbakar. Akhir-akhir ini aku melihatmereka berdua semakin dekat. Ada saja alasan Inten agar Mas Nawan datang ke rumahnya. Dari sekedar remot TV atau hape yang tak berfungsi sampai harus membetulkan atap genteng yang bocor.

“Nggak. Cuma nanya aja, nanti kalau dia pulang kasih tau supaya main ke rumah, ya?” pesannya sebelum kemudian sosok seksi itu kembali ke dalam rumah.

Hardi adik Mas Nawan itu sebabnya kami menempati pekarangan yang sama. Rumah kami berdekatan, hanya berbatas halaman kurang lebih tiga meter lebarnya.

“Dasar perempuan stress,” keluhku diam-diam setiap melihat Inten berdekatan dengan Mas Nawan. Perempuan itu sering menampakkan sikapnya yang aneh akhir-akhir ini. Tentu saja di bandingkan kang Karyono, sutejo ataupun Revan Mas Nawan lebih mirip dengann Hardi, karena mereka kakak beradik. Pernyataan Inten tempo hari seolah bagai teror yang terus menghantui diriku. Bukan tidak mungkin suatu saat ia kan menganggap Mas Nawan adalah Hardi. Bisa jadi ia sudah tak peduli mana Nawan dan mana Hardi.

“Mas Nawan ada di rumah, Las?” ini ketiga kalinya adik ipar Mas Nawan mencari. Sehari sebelumnya datang karena ada genteng yang bocor, dan dua hari sebelumnya karena ada kran macet.

“Tidak, dia kerja,” jawabku dingin sambil merapikan jahitan tanpa menatap Inten. Mataku berkonsentrasi pada celah jahitan yang benangnya lepas.

“Ada genteng yang bocor lagi, ya? Atau ada kran macet?” tanyaku mencoba bersikap ramah, namun mataku tak teralih padanya, meskipun dada serasa terbakar. Akhir-akhir ini mereka semakin dekat. Ada saja alasan Inten agar Mas Nawan datang ke rumahnya. Dari sekedar remot TV atau hape yang tak berfungsi sampai harus membetulkan atap genteng yang bocor. Sejauh ini masih kuanggap biasa, belum terlihat ada hal-hal aneh dan mencurigakan dalam hubungan mereka.

“Nggak, cuma nanya aja, nanti kalau dia pulang kasih tau supaya main ke rumah, ya?” pesannya sebelum kemudian sosok seksi itu kembali menghilang dalam rumahnya.

Hardi adik Mas Nawan, itu sebabnya kami menempati pekarangan yang sama. Rumah kami berdekatan, hanya berbatas halaman kurang lebih tiga meter lebarnya. Rumah kami sama-sama menghadap ke barat, di depan rumah ada jalan raya. Halaman samping menyatu dibiarkan terbuka, berharap bila kelak anak-anak kami lahir mereka bisa bermain di halaman samping yang diapit rumah-rumah kami. Namun hingga tahun ketiga perkawinanku dengan Mas Nawan kami belum juga dikaruniai buah hati.

“Dasar perempuan stress,” keluhku diam-diam setiap melihat Inten berdekatan dengan Mas Nawan.

Perempuan itu sering menampakkan sikapnya yang aneh akhir-akhir ini. Tentu saja di bandingkan Kang Karyono, Sutejo ataupun Revan, Mas Nawan lebih mirip dengann Hardi, karena mereka kakak beradik. Pernyataan Inten tempo hari seolah bagai teror yang terus menghantui diriku. Bukan tidak mungkin suatu saat ia kan menganggap Mas Nawan adalah Hardi. Bisa jadi ia sudah tak peduli mana Nawan dan mana Hardi.

Meskipun aku lebih percaya pada Mas Nawan.

“Kamu mencurigaiku, Las?” tanya Mas Nawan saat aku menyampaikan pesan Inten untuk ke rumahnya. Matanya menatap wajahku yang mungkin terlihat aneh di matanya.

“Buat apa curiga?” jawabku tanpa mengalihkan pandangan pada kain yang sedang k pegang. Beberapa potong pakaian ini harus segera selesai, karena akan segera dipakai untuk menyambut tamu dari kota.

“Las …,” Mas Nawan mengambil pakaian yang aku pegang, kemudian membimbing tanganku untuk duduk.

“Kau baik-baik saja, kan?” matanya menatap lekat bola mataku seolah tembus ke hati. Tapi aku tak mau membalas tatapan itu. Sebongkah rasa yang tak kumengerti tiba-tiba masuk dan mengeram di dadaku. Nyeri … dan … entahlah.

Ada apa to, Mas?” Jawabku tanpa memandangnya, merasa aneh dengan tatapan Mas Nawan. Sunyi tiba-tiba.

“Mas Nawan kuatir aku cemburu pada kedekatanmu dengan Inten akhir-akhir ini?” tebakku sambil mencoba bercanda. Namun seolah ada aliran listrik ribuan watt membuat Mas Nawan terlonjak. Wajahnya tampak merah padam saat mentapku.

“Jadi benar dugaanku selama ini? Kau berpikir seperti itu tentang kami?” Mas Nawan tak kalah terkejut.

Ealah, piye to iki? batinku bingung. Lha kok malah aku dikira cemburu! Kesalku dalam hati. Tapi sudahlah aku malas menjelaskannya. Ada baiknya bila Mas Nawan menyadari ini, agar dia lebih bisa menjaga perasaanku. Alhamdulillaahhi jika dia bisa membicarakan ini dengan Inten agar menjaga sikapnya di depanku.

“Dua minggu lagi keluarganya akan menjemput,” jelas Mas Nawan sambil mendekat.

“Maksudnya?” tanyaku sambil menatap matanya.

“Keluarganya akan menjemput Inten kembali ke kota kelahirannya, setelah peringatan seratus hari kematian Hardi,” jelasnya padaku.

Aku bernafas lega mendengarnya. Setidaknya aku tidak harus berjuang sendirian melawan perasaanku karena kedekatan mereka.

“Kau makin pendiam, Las. Ada apa?” tanyanya sambil menatapku, “dan kurang peduli dengan dirimu sendiri, terlalu sibuk memeikirkan Inten.”

“Semua baik-baik saja, Mas. Kedekatanmu dengan Inten juga bukan masalah buatku,” akhirnya kata-kata itu bisa keluar juga dari mulutku, meskipun dalam hati aku merasa Mas Nawan mulai membandingkan aku dengan Inten.

Sepertinya Mas Nawan tidak bisa percaya begitu saja. Sambil memegang kedua bahuku, matanya dipicingkan, seolah ingin melihat lebih jauh dan lebih dalam lagi isi hatiku. Jangan sampai ada yang terlewatkan.

Aku mencoba tersenyum dan mengangguk kemudian mencium punggung tangannya untuk meyakinkan bahwa semua memang baik-baik saja.

Baru saja aku ingin memeluknya, terdengar suara Inten bertanya, “Mas Nawan sudah pulang? Pesanku sudah kau sampaikan belum, Las?” entah dari arah mana dan kapan datangnya Inten sudah berdiri di belakang Mas Nawan. Tangannya telah melingkar di pinggangnya dari belakang.

Seketika aku terkesima, bagai tersambar ratusan petir dan halililntar di siang terik dan panas. Kuhentakkan tangan Mas Nawan, kemudian beranjak pergi untuk menyiapkan minum, sambil membawa lari rasa panas yang kian membakar dada melihat adegan itu. Mas Nawan tampak kikuk dan serba salah.

“Aku baik-baik saja, Mas,” jawabku sambil tersenyum saat melihat Mas Nawan berdiri di pintu sambil menatap melas wajahku.

“Tak perlu kau bikinkan minum, Las! Kami akan segera pergi. Iya kan, Mas?” suara seksi Inten terdengar, kemudian paras cantiknya muncul dibelakang Mas Nawan dengan dagu melekat di pundak. Tangannya saling mengait di perut Mas Nawan. Inten memeluknya dari belakan.

“Ayo, Mas! Kita pergi sekarang, nanti kesorean,” tangannya bergayut mesra di lengan Mas Nawan kemudian menariknya keluar, tanpa memberi kesempatan pada suamiku untuk mengucapkan sepatah kata pun padaku.

Aku terduduk lunglai. Sebuah beban terasa begitu berat menindihku. Rasa sakit meluluh lantakkan pertahananku, hingga air mata meluncur deras tak lagi bisa ku cegah.

Aku bukan Inten yang ketika marah mengucap sumpah serapah, atau membanting apa saja yang teraih dan tergenggam. Aku Lasmi Narindrati, yang selalu memilih pasrah dan nrima, di saat disakiti. Tapi cukupkah ruang hatiku menampung semua sengsara ini? Karena aku bukan pemilik hati seluas samodra dalam kisah-kisah para pahlawan. Aku hanya Lasmi Narindrati.

Bersambung.

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita