Gerimis

Gerimis

Gerimis
Oleh: Ismail Mony

Aku ditugaskan meliput kegiatan pendakian di sebuah pulau terpencil. Deretan pegunungan yang tinggi menambah suasana pulau itu tampak mencekam. Masyarakatnya masih terbelakang, primitif. Bahkan di sana juga terdapat tradisi-tradisi unik seperti pemujaan batu lestari indah. Ini merupakan tugas terberat yang pernah aku rasakan sebagai reporter untuk mengisi Acara Alam Indonesia, yang akan tayang di stasiun Televisi Nusantara.

Jalan menuju pulau tersebut dilalui dengan menyeberangi lautan luas bergelombang. Pulau itu memisahkan diri dari gugusan pulau yang lain, serta jarak tempuh yang lumayan jauh. Meski begitu, aku harus menerimanya dengan lapang dada, melaksanakan tugas yang diembankan padaku dengan penuh rasa tanggung jawab.

***

Mentari pagi terpampang indah menebarkan percikan sinarnya yang hangat. Sebuah kapal kayu kecil bermuatan enam orang penumpang melaju menebas gelombang. Aku bersama Jamil, pacarku, duduk persis di bagian depan. Ia seorang kameramen yang aku banggakan dan cintai. Sementara kru lain berada di belakang kami.

“Mil, sebenarnya aku takut ke pulau itu, hanya berusaha agar tampak lebih baik dari biasanya. Bagaimana denganmu?” tanyaku seketika. Jamil yang asyik memandangi laut lepas sambil merekahkan sebaris senyum menoleh pelan ke arahku, menatap wajah kecutku.

“Aku tak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaanku yang terasa damai seiring perjalanan ini. Setiap embusan nafas terasa berarti. Hening dan asri. Angin segar menari-nari menyentuh wajah kita, membiarkan kita menghirupnya, masuk ke dada dan membersihkan paru-paru. Sejak lama aku memimpikan perjalanan seperti ini, menuju sebuah pulau asing nan damai. Tak ada kebisingan. Tak ada topeng-topeng. Aku akan menangkap gambar-gambar asli lewat kameraku. Orang-orang yang polos dan pastinya takut melihat keberadaan kita, atau mungkin bagi kita, mereka adalah bahaya,” ucap Jamil panjang lebar, dengan nada puitis yang baru kudengar kali ini.

Aku tak menanggapi apa yang baru saja disampaikan Jamil, memilih memandang jauh ke pulau yang belum juga terlihat bayang-bayangnya. Perasaan takut semakin membuncah membuat getirnya jiwa tak tentu arah. Sementara kapal yang kutumpangi sangatlah kecil untuk mengarungi lautan seluas ini. Serupa onggokan sampah hanyut terbawa arus di permukaan laut.

“Jauh banget,” batinku.

“Bagaimana, Jun? Udah kelihatan pulaunya, belum?” teriak produserku yang duduk paling belakang.

“Masih belum tampak, Pak!” seruku.

“Pulau itu masih jauh, Pak. Kita baru saja meninggalkan dermaga, ini belum sampai seperdua perjalanan,” tambah Jamil. Aku semakin takut dibuatnya. Kelihatannya dia serius.

“Kita udah semakin jauh, lautan ini luas banget sampai-sampai pulau lain belum juga ada yang nongol,” kata produser yang biasa kami sapa Pak Mimin. Khawatir.

“Lihat, Pak! Rupanya itu pertanda badai,” teriak Pak Moken, pengemudi kapal ini. Seketika kami semua panik.

Dari arah yang ditunjuk Pak Moken, kami menangkap awan hitam tebal yang berdiri tegak bagai tembok raksasa di atas permukaan laut, seumpama sedang menanti di ujung cakrawala dengan geramnya. Kebisuan terjadi di antara kami, lidah terasa kelu dan tak mampu mengucapkan kata-kata. Raut wajah panik terlihat dengan jelas di sederetan muka kami dengan mata yang seakan enggan berkedip.

“Apa yang harus kita lakukan, Pak Moken?” teriakku penuh ketegangan.

“Ada baiknya kita kembali sebelum badai itu sampai ke sini dan menerjang kapal kita!” jawab Pak Moken seraya memutar balik haluan kapal.

Sekuat mungkin Pak Moken mempercepat laju kapal, namun rupanya badai itu lebih cepat dari apa yang dibayangkan. Gelombang besar merayap dengan ganas, buih-buih putih bagai kapas terombang-ambing. Angin kencang melibas penuh amarah berkobar, tak kenal kasihan. Hujan deras berguyuran menerpa. Kapal ini pun dihantam gelombang, oleng, tak mampu menjaga keseimbangan dan terbalik. Ambruk. Kami terjebur ke lautan bebas, biru, gelap.

***

“Juny … Juny …! Kamu di mana?” teriak Jamil begitu keras. Aku mendengarnya samar-samar. Rupanya aku pingsan dan baru sadar saat mendengar suara Jamil memanggilku. Kami terpisah antara satu dan yang lainnya.

Kubuka mataku yang sayu, melihat sebuah papan kusam sedang memapah diriku di atas laut. Aku berada di atasnya sambil mencoba memperhatikan sekitar, mencari tahu dari mana asal suara Jamil yang tak henti menyerukan namaku.

“Jamil … aku di sini …,” lirihku. Suaraku lemah untuk membalas panggilannya. Aku tetap tak melihat keberadaan Jamil dan yang lainnya. selain puing-puing kapal yang telah hancur berkeping. Kemudian semuanya mendadak gelap.

***

Aku terdampar di sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Kesadaranku kembali saat aku dihempas gelombang, Aku memuntahkan air laut yang sempat tertelan dari dalam perut. Tenggorokanku serak dan perih, membuatku batuk beberapa kali. Tubuhku terasa lemas tak berdaya, tetapi aku berusaha berdiri dan menuju pesisir pantai yang kering. Sedangkan dingin serasa menusuk hingga ke tulang, pun rasa lapar menggeroti perutku.

Aku melangkah tertatih dan bersimpuh di bawah pohon liar yang entah apa namanya, bayang-bayang kejadian itu masih membekas di ingatanku. Seketika aku teringat pada Jamil, menitikkan air mata. Aku tak dapat berbuat apa-apa, bahkan untuk diriku.

Aku mencari sesuatu yang bisa dimakan, sekadar untuk mengganjal perutku yang lapar. Untung saja dari jarak yang tak jauh dar tempatku bersimpuh tadi, aku menemukan buah-buahan. Itu adalah buah jambu hutan yang bentuknya besar dan berwarna merah kehitaman.

Hari-hari berlalu, aku bertahan hidup dengan memakan buah jambu hutan. Tak tahu sudah berapa lama aku berada di sini, yang aku tahu sekarang adalah aku masih hidup, meski dengan mengenakan baju sobek dan lusuh. Badanku juga bertambah kurus. Hingga kini aku tak tahu di mana keberadaan produser dan kawan-kawan yang lain. Apalagi Jamil, mungkin mereka sudah tenggelam ke dasar laut dan menjadi santapan ikan. Gerimis kembali mengalir dari mataku.

Sampai siang hari yang terik, lautan tampak begitu tenang. Taka da ombak yang bergulungan seperti sebelumnya. Aku bersimpuh di atas pasir putih yang bersih sambil memandangi laut lepas. Harapanku, semoga ada nelayan atau kendaraan yang melintas di depan pulau ini. Namun tak ada tanda-tanda keberadaan sesuatu. Dan sejak siang itu, lima hari sudah aku berdomisili di pulau ini. Tanpa teman, tanpa Jamil, dan yang lainnya. Seorang diri. Kadang rasa takut menghantui, terlebih saat tiba-tiba terdengar langkah sdari semak belukar yang berada tepat di belakangku. Aku diam sejenak, memastikan asal suara itu, lalu menoleh perlahan.

“Jamil? Itu kamukah?”

“Juny? Alhamdulillah, ternyata kamu masih hidup,” ucap Jamil seraya memelukku.

Aku membalas pelukannya. “Bagaimana kamu bisa berada di sini, Mil?”

“Aku terdampar di pulau ini, tepatnya di bagian tebing karang. Aku hendak mencari makanan dan menemukan buah jambu hutan di sekitar sini yang salah satunya terdapat ada bekas gigitan. Setelah aku memperhatikan ke sekeliling tempat ini, aku melihat seseorang tengah duduk. Diam-diam aku mendekat dan ternyata itu adalah kamu,” jelas Jamil.

Tak kuat kutahan rasa haru, kembali memeluknya untuk kedua kali. Kini aku telah menemukan orang yang aku cintai, yang sebelumnya kukira telah mati ditelan lautan.

Genap enam hari aku dan Jamil berada di pulau itu. Dan tiba-tiba kami melihat ada kapal bertulisan “PENCARI KORBAN”. Dengan cepat Jamil membuka bajunya, mengikatkan pada sepotong kayu lalu mengayun-ayunkan serupa tongkat yang dipergunakan untuk mengibarkan bendera.

Aku tersenyum. Setelah penantian panjang, akhirnya aku, bukan, maksudnya kami, menemukan setitik harapan.

Ambon, 1 Agustus 2018

 

Sang Pena Saula, adalah nama pena Ismail Mony. Penulis muda asal Ambon. Negeri Raja-Raja.
FB: Ismail Mony
WA: 082399475421

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita

Leave a Reply